Krisis Palestina, Butuh Negara Adidaya Baru

Opini769 Views

 

 

Oleh : Desi Yunise, S.TP, Institut Kajian Politik dan Perempuan

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Hingga hari ketujuh, sebagaimana dikutip sindonews.com, (17/5/2021), serangan Israel ke Gaza, dilaporkan telah menewaskan 192 warga Palestina. Sebanyak 58 di antaranya anak-anak dan 34 adalah perempuan. Sementara dilaporkan lebih dari 1.200 yang luka-luka.

Sebelumnya, ratusan polisi menyerang secara brutal jamaah yang sedang shalat tarawih di kompleks Masjid Al-Aqsha pada Jum’at (7/5). Bentrokan terjadi dipicu kemarahan warga Palestina terhadap keputusan Mahkamah Agung terkait penggusuran sejumlah rumah di Al Quds Timur.

Pada Jum’at dini hari puluhan ribu warga Palestina terlihat memadati perbukitan di komples Masjid Al Aqsha untuk melaksanakan shalat. Mereka tetap tinggal di kompleks tersebut untuk melaksanakan aksi damai dan unjuk rasa untuk memprotes penggusuran tersebut. Ketegangan terus meningklat di Al Quds dan tepi Barat akibat penggusuran yang dilakukan Israel atas rumah-rumah warga.

Apa yang dilakukan Israel atas jamaah yang sedang melaksanakan shalat merupakan penodaan terhadap Ramadhan, bulan suci umat Islam. Penyerangan brutal oleh polisi Israel atas warga yang melakukan aksi damai cukup menjadi bukti bahwa Israel sesungguhnya adalah teroris.

Warga Palestina yang mempertahankan wilayah mereka atas penggusuran Israel adalah tindakan yang tepat. Warga Palestina berada pada pihak yang benar. Mereka adalah pemilik tanah yang sah atas tanah Palestina. Sejatinya itulah sikap yang harus ditunjukkan atas penjajahan Israel yang ilegal atas bumi Palestina.

Palestina Adalah Tanah Wakaf Umat Islam

Palestina adalah tanah wakaf umat Islam, semenjak dibebaskan oleh Khalifah Sayyidina Umar ibnul Khaththab. r.a. pada 15 H (636 M). Istilah tanah wakaf pertama kali diucapkan oleh Amirul-mukminin Umar bin Al-Khattab ra. tatkala beliau datang ke negeri itu untuk menerima penyerahan kunci Baitul Maqdis dari pemimpin tertinggi umat kristiani sedunia.

Penegasan Palestina merupakan tanah hak umat juga disampaikan oleh Khalifah Sultan Hamid II, sebagai khalifah kaum muslimin.

Pada Juni 1896 M, pemimpin Yahudi internasional Theodore Herzl ditemani Neolanski mendatangi khalifah di konstantinopel. Kedatangan mereka untuk meminta agar khalifah memberikan tanah Palestina kepada Yahudi. Tidak tanggung tanggung mereka memberi iming-iming uang kepada Turki (Khilafah Utsmaniah) dalam jumlah sangat besar. Mereka pun menjanjikan memberi hadiah melimpah bagi orang yang menjadi perantaranya

Namun, khalifah Abdul Hamid menentang keras. Beliau menyatakan, “Aku tidak akan melepaskan, walaupun segenggam tanah ini (Palestina) karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat. Umat ini telah berjihad demi kepentingan tanah ini”.

Setidaknya 6 kali delegasi Herzl mendatangi istana khalifah untuk meloloskan proposal ini, namun semua ditolak oleh khalifah. (As Sulthan Abdul Hamid II, Hal. 88).

Palestina menjadi istimewa, karena di sana terdapat Masjid Al-Aqsha. Masjid ini merupakan kiblat pertama umat Islam dan masjid suci yang ketiga setelah Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Masjid Al Aqsa adalah kiblat pertama umat Islam. Masjid ini menjadi kiblat selama 17 bulan semenjak hijrahnya kaum muslimin ke Madinah Al Munawwarah tahun 624 M. Lebih dari itu, masjid al Aqsha merupakan tempat Rasulullah SAW singgah dalam perjalanan Isra’ Mi’raj.

Dari sini jelas, Palestina memiliki kedudukan yang istimewa bagi umat Islam. Tanah Palestina bukan hanya sebatas milik umat Islam di sana semata, tapi milik umat Islam seluruh dunia. Kewajiban menjaga wilayah Palestina merupakan kewajiban bagi seluruh umat Islam di mana pun mereka berada.

Akar Masalah Krisis Palestina

Akar masalah Palestina adalah pendudukan zionis Israel atas tanah Palestina. Masalah ini dimulai saat zionis Israel mendirikan negara di bumi Palestina. Menyusul kekalahan khilafah Turki Utsmani pada Perang Dunia I (1914 M – 1918 M), Arab dibagi menjadi beberapa wilayah, melalui perjanjian Sykes Picot. Libanon dan Syria di bawah kekuasaan Prancis. Sementara wilayah Palestina yang saat itu dikenal dengan negara Jordan di bawah kekuasaan Inggris.

Lewat jeratan utang, seorang bankir Yahudi Rothschild memutar uang riba untuk menjerat negara negara yang membutuhkan dana besar di saat perang. Ketika Inggris terjerat utang riba, Rothschild meminta tanah untuk bangsanya. Pemerintah Inggris, melalui ratunya memenuhi permintaan tersebut. Akhirnya, menteri luar negeri pemerintah Inggris, yaitu Arthur James Balfour, pada 2 November 1917 mengeluarkan surat kepada Rothschild . Surat ini dikenal dengan nama “Deklarasi Balfour 1917”.

Surat tersebut menyatakan bahwa pemerintah Inggris mendukung rencana-rencana zionis untuk membuat “tanah air” bagi Yahudi di Palestina dan akan menggunakan usaha terbaik mereka untuk memudahkan pencapaian tujuan tersebut.

Akhirnya secara resmi, tanggal 14 Mei 1948 M melalui dukungan Inggris, Amerika Serikat dan PBB diproklamirkan pendirian negara Israel di atas tanah wakaf milik kaum muslimin yaitu Palestina.

Sejak itulah dimulai penderitaan bagsa Palestina di bawah pendudukan zionis Israel. Zionis Israel telah merampas tanah kaum muslimin. Menyusul perampasan itu adalah pengusiran penduduk Palestina secara besar-besaran disertai pembunuhan dan pembantaian.

Hal ini yang terjadi selama 73 tahun secara terus menerus hingga saat ini. Inilah sejarahnya yang tak bisa dilupakan.

Perlu Negara Adidaya Baru

Berbagai upaya untuk menyelesaikan krisis Palestina dilakukan namun tak jua membuahkan hasil. Kekejaman demi kekejaman terang benderang dilakukan oleh yahudi Israel terhadap penduduk Palestina.

Mengapa krisis ini tak kunjung usai? Tak lain karena solusi yang ditawarkan tak menyentuh akar persoalan krisis itu sendiri. Selama zionis Israel masih berada di Palestina maka selama itu juga penderitaan kaum muslimin di sana akan terus terjadi.

Islam telah menetapkan metode syar’i menghadapi invasi musuh. Metode ini disebut dengan jihad. Metode ini pula yang telah digunakan oleh para pahlawan kita untuk mengusir penjajah Belanda sebelum kemerdekaan.

Solusi atas krisis Palestina adalah dengan mengirimkan tentara dari seluruh negeri kaum muslimin untuk mengusir penjajah Israel.

Krisis Palestina berlarut larut, jalan damai tak kunjung menemui ujungnya. Hal ini membuat kita sadar bahwa semua upaya selama ini yang digagas oleh AS, Barat dan PBB sejatinya adalah solusi yang penuh kepura-puraan.

Betapa tidak? Merekalah yang membidani lahirnya negara Israel di Palestina. Terhadap negara-negara Arab pun umat Islam tak bisa berharap banyak, sebab mereka telah tersandera oleh kepentingan politik bersama negara Amerika Serikat maupun Inggris yang mendominasi di Timur Tengah.

Selain itu, negara Arab telah dipecah-pecah menjadi negara bangsa sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Kalaupun ada kepedulian, para pemimpin Arab hanya sebatas mengecam, mengirimkan do’a dan donasi yang tak mampu melenyapkan penderitaan bangsa Palestina.

Setiap muslim bersaudara, karena itulah, serangan terhadap muslim Palestina sama artinya serangan terhadap kaum muslimin sedunia. Karena itulah, umat Islam membutuhkan negara adidaya baru sebagai pemersatu negeri-negeri Islam di seluruh dunia.

Seandainya umat Islam bersatu di bawah satu kepemimpinan internasional sebagaimana dahulu pernah ada, tentu mengusir penjajan zionis Israel bukan perkara yang sulit. Penduduk Israel yang hanya 7,7 juta jiwa sangat mudah dikalahkan. Apalagi potensi kekayaan migas dan sumber daya lainnya sangat berlimpah.

Tanpa persatuan negeri muslim di bawah satu barusan dan bendera, umat Islam akan tetap tercerai berai, tersekat-sekat atas nama negara bangsa (nation state) . Akibatnya mereka sulit mengusir penjajah Israel.

Oleh karena itu, tidak ada solusi jitu yang bisa menuntaskan masalah Palestina selain pengerahan tentara dari negeri-negeri kaum muslimin hingga zionis Israel keluar dari tanah wakaf milik kaum muslimin. Wallahu a’lam bis shawab.[]

____

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat menyampaikan opini dan pendapat yang dituangkan dalam bentuk tulisan.

Setiap Opini yang ditulis oleh penulis menjadi tanggung jawab penulis dan Radar Indonesia News terbebas dari segala macam bentuk tuntutan.

Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan dalam opini ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawab terhadap tulisan opini tersebut.

Sebagai upaya menegakkan independensi dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Redaksi Radar Indonesia News akan menayangkan hak jawab tersebut secara berimbang.

Comment