Penulis: Widya Soviana | Dosen dan Pemerhati Masalah Sosial Masyarakat
RADARINDINESIANEWS.COM, JAKARTA– Pornografi menjadi salah satu konten yang merusak kehidupan dan peradaban manusia. Konten yang secara eksplisit menampilkan aktivitas seksual dengan tujuan merangsang hasrat seksual berdampak pada anak-anak dan remaja usia dini. Dampak pornografi telah merusak perkembangan psikologis, perilaku, dan moral yang tidak hanya terhadap anak-anak namun juga orang dewasa.
Alhasil, peningkatan kejahatan seksual, kecanduan serta distorsi pandangan tentang hubungan dan seksual semakin menjadi-jadi.
Pornografi yang kini sangat mudah diakses melalui ponsel membuat anak-anak menjadi kelompok paling rentan terkena paparan konten tidak pantas dan tidak bermoral tersebut.
Perlindungan yang seharusnya diberikan negara kepada warganya patut dipertanyakan. Bagaimana sanksi dapat ditegakkan jika upaya pencegahan belum dilakukan secara maksimal oleh pemerintah? Hal ini terlihat dari sulitnya menutup situs-situs pornografi yang terus menyebar luas.
Jatuhnya korban pemerkosaan dan pembunuhan terhadap AA (13) oleh sekelompok remaja yang masih duduk di bangku SMP dan SMA telah menjadi momok yang menakutkan bagi orang tua terhadap perlindungan anak-anak mereka.
Berdasarkan berita yang diungkapkan dalam laman cnnindonesia.com (6/9/2024), pelaku kejahatan melakukan aksi bejat setelah menonton video porno untuk menyalurkan hasratnya. Pornografi telah nyata menghilangkan akal sehat sehingga terjerat dalam prilaku keji.
Keadaan generasi yang semakin suram menjadi kenyataan pahit yang harus dihadapi bersama. Kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak, terutama yang dipicu oleh kecanduan pornografi, memperlihatkan betapa krisis moral sedang menggerogoti fondasi masyarakat.
Terlebih di antara pelaku justru merasa bangga dengan tindak kejahatan yang dilakukannya. Masyarakat juga acuh tak acuh terhadap keadaan di sekeliling mereka. Nilai-nilai kebaikan terkikis dalam kehidupan tanpa saling menasehati antar sesama.
Fenomena kejahatan yang disebabkan pornografi menggambarkan bahwa kini anak-anak telah kehilangan masa kecil yang sejatinya diisi dengan kebahagiaan, bermain, dan belajar dalam suasana yang aman dan penuh kasih sayang menjadi masa yang kelam dengan lumuran tangan yang bertindak keji.
Anak-anak tak lagi tumbuh sesuai fitrahnya. Mereka terpapar konten yang merusak dan cenderung semakin liberal dan sulit dikendalikan.
Kasus ini mencerminkan kegagalan sistem pendidikan dalam upaya membentuk karakter dan moral yang kuat bagi anak-anak. Hal ini juga mengindikasikan abainya peran negara menutup akses yang berisiko terhadap masyarakat khususnya terhadap anak-anak.
Dalam perspektif Islam, negara memegang peran penting dalam upaya mencegah kerusakan generasi melalui penerapan aturan Islam dalam segala aspek kehidupan.
Penerapan sistem pendidikan Islam memiliki tujuan membentuk akhlak mulia yang berakidah dan memiliki sakhsiyah Islam, sehingga menuntun para peserta didik untuk bersikap dan berprilaku sesuai dengan tuntunan syariah, yakni memperhatikan halal dan haram, terpuji dan tercela.
Peran pemerintah menyediakan media yang mendidik dan tidak merusak, dan menjatuhkan sanksi yang menjerakan bagi para pelaku kejahatan adalah sebagian dari solusi yang diterapkan. Negara harus menjadi pilar tegaknya aturan Allah agar kerusakan yang menimpa generasi muda dapat diatasi secara efektif dan menyeluruh.
Hukuman dan sanksi wajib dijatuhkan negara tanpa pilih kasih, begitu halnya dengan masyarakat yang telah dibebankan hukum meskipun umurnya tergolong masih anak-anak.
Islam memandang bahwa kejahatan adalah segala bentuk penyimpangan terhadap hukum syariah bagi mereka yang telah terkena beban hukum (baligh). Sehingga, keputusan hukum bagi pelaku pemerkosa dan pembunuhan adalah hukum qishas.
Bila pelaku belum baligh maka dijatuhi hukuman dengan membayar diyat yakni 100 ekor unta. Negara memiliki peran yang kuat dan bertanggung jawab untuk membangun masa depan generasi dan peradaban gemilang.[]
Comment