Krisis Air Bersih Berulang, Sampai Kapankah?

Opini96 Views

 

Penulis: Mira Ummu Tegar | Aktivis Muslimah Balikpapan

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Sejumlah daerah di Kalimantan Timur (Kaltim) mengalami krisis air bersih. Di Kabupaten Paser akibat krisis air bersih Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Paser sudah menyalurkan 940.200 liter air bersih kepada 30 desa/ kelurahan yang membutuhkan air bersih selama musim kemarau.

Hal ini dilakukan sejak 28 Agustus hingga 17 Oktober 2023; dan total sudah ada 210 tangki yang sudah disalurkan. Air bersih yang disalurkan tersebut untuk kebutuhan minum dan memasak bukan untuk kebutuhan mandi dan diharapkan masyarakat bisa memanfaatkan dengan sebaik-baiknya. (Antarakaltim.com 10/10/2023).

Di Penajam Paser Utara (PPU) ratusan santri Ponpes Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dipulangkan imbas dari PDAM tidak mengalir. Seluruh santri dipulangkan pada Selasa (17/10/2023) dan belajar di rumah masing-masing. (Instagram tribunkaltim.com).

Demikian pun di Balikpapan, krisis air masih terus dirasakan hingga Senin (23/10/2023). Solusi jangka pendek yang disediakan PDAM Balikpapan dengan mengadakan air tangki tidak bisa memenuhi kebutuhan warga Balikpapan saat krisis air semakin menjadi lantaran antrian mencapai 696 pelanggan. (Tribunkaltim.com 23)10/2023).

Sementara beberapa daerah di luar Kaltim pun mengalami hal yang sama seperti Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, NTB, NTT dan Lampung. Memang Indonesia saat ini tengah mengalami fenomena iklim El Nino yang mengakibat pemanasan permukaan laut dan berkurangnya curah hujan sehingga berdampak pada kekeringan.

Sementara itu, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan 79% wilayah Indonesia mengalami kemarau imbas dari badai El Nino dan puncaknya di bulan Agustus hingga September dan akan mengalami transisi pada bulan Oktober.

Sejatinya dengan kemajuan ilmu dan teknologi manusia sudah bisa memprediksi kondisi iklim beberapa waktu ke depan dan hal ini seharusnya menjadi warning bagi penguasa untuk melakukan antisipasi dan mitigasi agar masyarakat terhindar dari kesulitan air bersih.

Badai El Nino hanyalah salah satu dari sekian penyebab berkurangnya debit air bersih. Pengelolaan sumber daya alam dan energi, pembangunan perumahan atau gedung yang tidak memperhatikan lingkungan, serta tata wilayah yang tidak memperhatikan daerah resapan air turut andil dalam persoalan ini sehingga ketika kemarau tiba kondisi kekeringan semakin parah.

Dalam kondisi normal dan tidak kemarau saja kesulitan air bersh sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat apalagi ketika kemarau melanda. Kemarau atau kekeringan berimbas pada banyak hal, baik kekurangan air bersih yang berakibat pada kesehatan, pemanasan suhu udara hingga riskan terjadi kebakaran.

Udara pun lebih berdebu dan berpolusi hingga sektor pertanian yang gagal panen dan terganggunya sektor ekonomi adalah hal yang sering kali terjadi dan berulang di saat musim kemarau tiba. Belum lagi terkuras tenaga dan pikiran akibat dari antrian dan menunggu giliran air mengalir berimbas pada perubahan pola perilaku yang berujung pada stress.

Namun mirisnya negara justru menyibukkan diri pada perkara-perkara teknis pragmatis atau kuratif semisal himbauan untuk berhemat air, himbauan waspada rawan terjadi kebakaran, pembagian air bersih kala musim kemarau hingga program imunisasi Retrovirus untuk menurunkan penyakit bawaan kemarau.

Hanya saja hal ini tetap tidak mampu menyelesaikan persoalan krisis air bersih di masyarakat. Ini menunjukkan bagaimana negara belum memahami akar masalah dan mengenal dengan baik wilayahnya terkait dengan adanya perubahan cuaca atau iklim.

Ketidakmampuan serta tidak adanya antisipasi negara dalam menangani kesulitan air bersih jelas semakin membuktikan minimnya kepengurusan terhadap rakyat sehingga hal tersebut berulang di setiap tahun tanpa ada pembelajaran dan pembenahan.

Gagalnya negara mengatasi persoalan krisis air bersih bukanlah tanpa sebab, hal ini dikarenakan sistem kehidupan atau cara pandang negara dalam mengatur masyarakatnya adalah sistem kapitalisme liberal yang memisahkan aturan kehidupan dunia dan agama.

Inilah yang menjadi akar masalah dari semua persoalan yang melanda umat manusia. Sistem yang lahir dari akidah sekuler tersebut mengusung konsep kebebasan, sehingga melahirkan manusia yang egois dan bebas dalam melakukan apa saja yang diinginkannya.

Dalam tataran bernegara sistem ini mengamputasi peran negara hanya pada tataran regulator saja – bahkan tak jarang kemudian menjadi fasilitator para kapitalis oligarki. Kebijakan dan undang-undang yang dibuat tidaklah bersumber dari Allah SWT melainkan manusia itu sendirilah yang menentukan.

Dari sinilah kemudian kapitalis oligarki menancapkan intervensinya pada penguasa. Pada praktiknya, sistem ini melahirkan sistem ekonomi liberalistik yang mengijinkan privatisasi/ kapitalisasi aset milik umat termasuk air dan SDA yang melimpah.

Dengan paradigma konsep pengelolaan seperti ini berdampak pada komersialisasi air bersih. Air bersih akan menjadi mahal dan yang tidak mampu dibuat menikmati kehidupan dalam kondisi air seadanya bahkan tidak layak dan mengancam kesehatan.

Berbeda dengan Islam sebagai diin yang sempurna dan paripurna. Sistem Islam memiliki seperangkat aturan yang berasal dari Allah SWT untuk mengatur seluruh aspek kehidupan dan telah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW serta dilanjutkan para Khalifah setelah beliau.

Sistem pemerintahan Islam yakni Khilafah hadir sebagai pengurus, pelayan dan pelindung rakyatnya. Kemaslahatan rakyatlah yang utama karena sejatinya sistem pemerintahan dalam Islam landasannya adalah riayah su’unil ummah/ mengurusi urusan rakyatnya.

Khalifah sebagai pemimpin kaum muslim bertanggung jawab penuh atas kepemimpinannya, sebagaimana hadits Rasulullah SAW, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan Ia bertanggung jawab atas kepengurusan rakyatnya.” (HR. Al Bukhari).

Dalam Islam pemenuhan kebutuhan pokok individu seperti sandang, pangan, papan dan kebutuhan pokok komunal seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan adalah tanggung jawab negara dan negara pun bertanggung jawab menyelesaikan kesulitan yang dihadapi rakyatnya. Negaralah yang berperan sentral untuk mengelola sumber daya air dan SDA sehingga terwujud pemerataan pemenuhan pada seluruh rakyat.

Selain itu, tanggung jawab negara pula untuk melakukan berbagai kebijakan untuk mitigasi ataupun mengatasi kesulitan air. Mulai dari membiayai riset-risetnya pengembangan teknologi hingga mengimplementasikannya untuk mengatasi masalah.

Semua tanggung jawab tersebut harus dijalankan dan dikelola langsung oleh negara, tidak boleh diserahkan pada pihak lain apalagi korporat oligarki. Negara juga mencegah dan menghentikan tindakan perusakan lingkungan baik atas nama pembangunan, pengelolaan SDA maupun atas nama proyek strategi nasional. Pembangunan hanya akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya, dakwah dan jihad.

Sistem ekonomi Islam memiliki konsep kepemilikan yang jelas dan terbagi menjadi 3 kategori yakni kepemilikan individu, negara dan umum.

Kepemilikan umum seperti air, energi, hutan, laut, sungai dan sebagainya ditetapkan sebagai milik seluruh rakyat wajib bagi negara mengelola dengan prinsip riayah bukan bisnis dan hasilnya diperuntukkan semata-mata bagi kemaslahatan umat sebagaimana hadits Rasulullah SAW, ” kaum Muslimin berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga perkara yaitu air padang rumput, dan api.” (HR. Ibnu Majah).

Demikian Islam dalam hal mengurusi  rakyatnya termasuk pemenuhan akan air bersih. Hanya dengan penerapan Islam secara kaffah hal demikian dapat terwujud. Wallahu a’lam bishowab.[]

Comment