Oleh: Dinda Fadilah, Mahasiswi Universitas Sumatera Utara
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Sepanjang September 2022, 23 napi koruptor telah mendapatkan pembebasan bersyarat (PB) yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM. Dijelaskan oleh Kepala Bagian Koordinator Humas dan Protokol Ditjenpas Kemenkum HAM RI Rika Aprianti, pemberian PB ini sudah memenuhi syarat administratif dan substantif berdasarkan pasal 10 UU 22/2022 tentang pemasyarakatan.
Dilansir dari tempo.co (10/9/22), Napi koruptor yang mendapatkan pembebasan bersyarat salah satunya adalah Mantan Jaksa, Pinangki Sirna Malasari yang tersandung kasus korupsi hak tagih Bank Bali Djoko Tjandra dan menerima suap sebesar US$500 ribu (Rp7,35 miliar).
Vonis 10 tahun, lalu banding 4 tahun dan akhirnya dipenjara sekitar 2 tahun setelah mendapatkan PB.
Selain Pinangki, terdapat empat nama besar lainnya yang bebas bui karena remisi dari kemenkumham. Mereka adalah Mantan Hakim Patrialis akbar, Mantan Gubernur Jambi Zumi Zola, Mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, dan Mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah.
Melihat fenomena ini, peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman mengatakan, korupsi tidak lagi menjadi extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa. Sebab, hanya dengan menjalani pidana badan atau kurungan singkat, pelaku korupsi bisa bebas.
Di sisi lain, kata Zaenur, sebagaimana ditulis Kompas.com, 8/9/22), program pemiskinan koruptor tidak berjalan. Sebab, hingga saat ini undang-undang yang merampas hasil kejahatan belum juga disahkan. Tidak adanya disinsentif secara ekonomi yang keras itu menyebabkan pelaku pidana korupsi itu, potensi keuntungan melakukan korupsi itu lebih tinggi, daripada risikonya.
Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) mengaku kecewa dengan keputusan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) yang memberikan pembebasan bersyarat kepada 23 narapidana tersebut.
Koordinator Maki Boyamin Saiman seperti dikutip CNNIndonesia.com (10/9/22), menganggap kebijakan meringankan tersebut membuat koruptor tidak merasakan efek jera, di saat hukuman sudah ringan kemudian dapat keringanan-keringaan lain bahkan bebas bersyarat yang sebelumnya dipotong remisi.
Senada dengan pernyataan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengkritik pembebasan bersyarat napi koruptor. KPK menyebut sebenarnya korupsi merupakan kejahatan luar biasa atau extraordinary crime yang seharusnya ditangani dengan cara-cara ekstra. Penegakan hukum kepada para koruptor ini menjadi penting agar memberikan efek jera sehingga hal serupa tak terulang dan sebagai pembelajaran kepada masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Namun esensi ini hilang dengan kemudahan yang didapat para napi koruptor untuk lepas dari bui.
Korupsi bagaikan penyakit yang menggerogoti negara sebab perilaku korup sangat mempengaruhi perekonomian suatu negara.
Di negara dengan tingkat korupsi tinggi, masalah kemiskinan, pengangguran, kekerasan, dan kriminalitas turut melingkupi. Korupsi bisa terjadi di mana saja. Sebab hal ini sejalan dengan sistem demokrasi yang berbiaya besar. Setiap pejabat yang mencalonkan diri harus membayar ‘harga’ agar mendapatkan kursi kemenangannya.
Korupsi saat ini sudah menjadi masalah utama negara. Hampir di semua lini terjadi korupsi, mulai level desa hingga pejabat tinggi. Tidak ada lembaga negara yang absen dari kasus korupsi, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Korupsi bahkan seolah sudah membudaya. Jual beli jabatan, proyek, hingga suara seolah hal yang lumrah. Dengan adanya kebijakan ini, keseriusan pemerintah dalam pemberantasan korupsi makin dipertanyakan.
Buah dari sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan mengakibatkan hal haram dipandang sebagai hal biasa. Transaksi haram suap-menyuap menjadi rahasia umum.
Wajar jika korupsi tidak lebih dari lingkaran yang tidak berujung. Belum lagi lemahnya kontrol masyarakat, entah karena akses terbatas atau sikap individualis yang subur dalam sistem saat ini, membuat masyarakat acuh dengan kasus berulang. Akhirnya, korupsi dianggap biasa.
Di sisi lain, pejabat kerap memperoleh perlakuan khusus dan memiliki independensi penuh dalam membuat keputusan. Jadi, meski terdapat sejumlah lembaga yang bertugas melakukan pengawasan, sayangnya hukum kerap kalah dengan fulus. Hingga akhirnya korupsi seolah tak lagi menjadi extraordinary crime. Mengingat mudahnya mereka lepas dari jerat hukuman.
Dari perspektif Islam, Islam memiliki cara tersendiri dalam mencegah dan menangani tindak korupsi. Sebab, dalam sistem Islam, korupsi bukanlah budaya dan kebiasaan yang menjalar di tubuh umat. Ia adalah penyakit yang harus diberantas dengan totalitas hingga seluruh pejabat negara dapat menjalankan amanah rakyat dengan sebaik-baiknya.
Bagaimana Islam memberantas korupsi? Pertama, penanaman akidah setiap individu. Negara akan melakukan pembinaan akidah kepada setiap individu muslim agar terbangun ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan berbekal ketaatan inilah masyarakat akan terjaga dari perbuatan dosa dan maksiat.
Kedua, lingkungan yang mendukung ketaatan. Dengan pembiasaan amar makruf nahi mungkar, masyarakat lah yang menjadi pengontrol dan pengawas setiap perilaku individu. Kehidupan masyarakat Islam yang berorientasi akhirat akan menciptakan individu bertakwa.
Ketiga, pengawasan melekat. Sistem Islam akan membentuk Badan Pengawasan/Pemeriksa Keuangan. Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Amwal fi Daulah Khilafah menyebutkan, untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak maka ada pengawasan yang ketat dari Badan Pengawasan/Pemeriksa Keuangan.
Keempat, pemberian gaji yang layak bagi pejabat. Ketika gaji cukup, para pejabat tidak akan tergoda berlaku curang. Selain itu, Islam menetapkan penghitungan harta pejabat secara berkala. Jika ada penggelembungan harta tidak wajar, negara akan meminta pertanggungjawaban atas harta tersebut apakah mereka mendapatnya dengan cara halal atau curang.
Kelima, pemberlakuan sanksi tegas kepada para pelaku kecurangan. Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman takzir berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.
Islam memiliki cara tersendiri mencegah dan menangani tindak korupsi. Sebab, dalam sistem Islam, korupsi bukanlah budaya dan kebiasaan yang menjalar di tubuh umat. Ia adalah penyakit yang harus diberantas dengan totalitas hingga seluruh pejabat negara dapat menjalankan amanah rakyat dengan sebaik-baiknya. Wallahua’lam.[]
Comment