Penulis: Azizah Nur Fikriyyah | Mahasiswi & Aktivis Dakwah
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah di PT Pertamina (Persero) mengakibatkan kerugian negara hingga Rp193,7 triliun. Kejaksaan Agung telah menetapkan sembilan tersangka, termasuk petinggi Pertamina seperti Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga dan Pertamina International Shipping.
Modus operandi yang digunakan melibatkan penggelembungan volume impor minyak mentah, manipulasi harga, serta pengabaian kewajiban untuk memprioritaskan minyak domestik demi keuntungan pribadi. (beritasatu.com)
Selain itu, biaya transportasi minyak juga diduga sengaja dinaikkan dengan markup mencapai 13%-15%. Menanggapi skandal ini, CEO Pertamina meminta maaf dan berjanji untuk meningkatkan transparansi serta tata kelola perusahaan. Kejaksaan Agung terus melakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengusut kasus ini dan memastikan adanya pertanggung-jawaban dari pihak-pihak yang terlibat. (bbc.com).
Praktik korupsi yang terjadi di Pertamina ini menunjukkan bahwa korupsi bukan sekadar kesalahan individu semata, melainkan gejala sistemik yang terus berulang dalam lingkungan yang mendukungnya. Sistem sekuler kapitalisme yang diterapkan saat ini justru menjadi ladang subur bagi perilaku korupsi.
Korupsi dalam tata kelola minyak mentah di Pertamina bukan sekadar kejahatan individu, tetapi cerminan dari kegagalan sistem yang lebih besar. Mengapa kasus seperti ini terus berulang meskipun berbagai regulasi dan lembaga pengawas telah ada?
Akar masalahnya terletak pada sistem sekuler kapitalisme yang menjadikan keuntungan materi sebagai prioritas utama, tanpa mempertimbangkan aspek moral dan ketakwaan.
Dalam sistem ini, kekuasaan dan uang sering kali lebih diutamakan daripada amanah dan integritas, sehingga membuka peluang bagi pejabat untuk menyalahgunakan wewenang. Selain itu, lemahnya sistem sanksi yang tidak menjerakan membuat koruptor tidak jera dan bahkan terus mencari celah baru.
Tanpa perubahan mendasar dalam paradigma kepemimpinan dan sistem hukum yang diterapkan, skandal korupsi semacam ini hanya akan menjadi siklus yang berulang tanpa akhir. Lalu, sampai kapan kita akan membiarkan sistem ini terus melanggengkan budaya korupsi?
Korupsi, Tradisi dalam Sistem Sekuler Kapitalisme
Korupsi di negeri ini bukan lagi sekadar kasus hukum, tetapi telah menjelma menjadi budaya yang terus berulang. Setiap skandal yang terungkap hanya seperti puncak gunung es, sementara yang tidak terdeteksi masih tersembunyi di balik sistem yang memungkinkan praktik kecurangan terus terjadi.
Dalam kasus Pertamina, modus operandi yang digunakan menunjukkan pola khas korupsi di negara-negara yang menerapkan sistem sekuler kapitalisme: memanfaatkan celah dalam pengadaan barang, manipulasi harga, dan penyalahgunaan kewenangan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Di bawah sistem sekuler kapitalisme, motif utama dalam pengelolaan sumber daya negara bukanlah kesejahteraan rakyat, melainkan keuntungan materi. Prinsip ini tercermin dalam kebijakan dan keputusan bisnis yang sering kali mengesampingkan nilai-nilai moral dan ketakwaan.
Pejabat yang seharusnya berfungsi sebagai pelayan masyarakat justru terjebak dalam mentalitas mencari keuntungan pribadi, baik melalui kolusi dengan pihak swasta maupun penyalahgunaan jabatan. Mereka memanfaatkan lemahnya pengawasan dan sistem hukum yang longgar untuk memperkaya diri sendiri tanpa memikirkan dampak jangka panjang bagi negara dan masyarakat.
Selain itu, sistem ini menciptakan ekosistem di mana uang dan kekuasaan menjadi alat utama dalam mencapai tujuan. Mereka yang memiliki akses ke modal dan jaringan kekuasaan dapat dengan mudah mengatur kebijakan sesuai kepentingannya, sering kali dengan dalih investasi atau efisiensi ekonomi.
Akibatnya, praktik korupsi bukan hanya terjadi di tingkat individu, tetapi juga menjadi bagian dari mekanisme sistemik yang sulit dibongkar. Regulasi yang ada sering kali hanya menjadi formalitas, sementara praktik korupsi terus berkembang dengan modus yang semakin canggih.
Lebih parahnya lagi, sistem sanksi dalam kapitalisme cenderung tidak menjerakan. Banyak kasus korupsi berujung pada hukuman ringan atau bahkan remisi yang mengurangi masa tahanan pelaku. Ini membuat para koruptor tidak jera, karena mereka tahu bahwa risiko yang dihadapi tidak sebanding dengan keuntungan yang didapat.
Tidak heran jika korupsi terus berulang, bahkan dengan pola yang sama, karena para pelaku merasa memiliki jaminan impunitas selama mereka memiliki koneksi dan kekuatan finansial.
Selama sistem ini masih diterapkan, sulit untuk berharap adanya perubahan yang signifikan dalam pemberantasan korupsi. Selama orientasi utama kebijakan dan kepemimpinan masih didasarkan pada kepentingan ekonomi semata, tanpa mempertimbangkan aspek moral dan ketakwaan, kasus-kasus seperti yang terjadi di Pertamina akan terus bermunculan dengan wajah-wajah baru.
Inilah bukti nyata bahwa sekularisme kapitalisme bukan solusi, melainkan akar dari masalah yang terus menumbuh suburkan korupsi di negeri ini.
Solusi Islam, Pilar Penegak Amanah
Islam memiliki mekanisme yang sistematis dan menyeluruh dalam mencegah serta memberantas korupsi. Tidak seperti sistem sekuler yang hanya mengandalkan hukum buatan manusia yang cenderung fleksibel dan dapat dimanipulasi, Islam menerapkan pendekatan yang berbasis pada tiga pilar utama: individu yang bertakwa, masyarakat yang peduli, dan negara dengan sistem sanksi yang tegas.
Ketiga pilar ini bekerja secara simultan untuk menciptakan lingkungan yang menutup celah bagi praktik korupsi, menjadikan integritas sebagai standar utama dalam kehidupan individu maupun pemerintahan.
1. Individu yang Bertakwa. Dalam Islam, setiap Muslim dididik untuk memiliki rasa takut kepada Allah dan kesadaran bahwa setiap perbuatan, baik yang dilakukan secara terang-terangan maupun tersembunyi, akan dipertanggungjawabkan di akhirat.
Dengan ketakwaan yang kuat, seorang pejabat atau individu yang memiliki akses terhadap kekayaan negara tidak akan mudah tergoda untuk melakukan korupsi, meskipun memiliki kesempatan besar untuk melakukannya.
Allah berfirman:
إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا۟ ٱلْأَمَـٰنَـٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعًۭا بَصِيرًۭا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
(QS. An-Nisa: 58).
Dalam ayat ini, Allah menegaskan pentingnya menjaga amanah dan menegakkan keadilan. Korupsi adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah, sehingga seorang Muslim yang bertakwa akan menghindarinya karena sadar bahwa perbuatannya akan diperhitungkan di hadapan Allah.
2. Masyarakat yang Peduli dan Aktif dalam Pengawasan. Islam tidak membiarkan korupsi menjadi urusan individu semata, melainkan menjadikan masyarakat sebagai pengawas aktif dalam mencegah kejahatan ini. Konsep amar makruf nahi mungkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) mendorong masyarakat untuk tidak diam saat melihat kemungkaran, termasuk korupsi.
Allah berfirman:
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌۭ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۚ وَأُو۟لَـٰئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”(QS. Ali ‘Imran: 104)
Dalam sistem Islam, rakyat tidak hanya pasif menunggu aparat penegak hukum bertindak, tetapi juga memiliki tanggung jawab untuk mengawasi para pejabat dan menuntut transparansi dalam pengelolaan harta negara. Budaya diam atau permisif terhadap praktik korupsi tidak akan dibiarkan, karena masyarakat memahami bahwa membiarkan kezaliman berarti turut mendukungnya.
3. Negara dengan Sistem Sanksi yang Tegas dan Menjerakan. Berbeda dengan sistem sekuler yang sering kali menerapkan sanksi ringan bagi koruptor—seperti hukuman penjara yang bisa dikurangi melalui remisi atau hukuman administratif yang tidak menimbulkan efek jera—Islam memiliki sistem sanksi yang tegas dan menjerakan.
Allah berfirman:
وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقْطَعُوا۟ أَيْدِيَهُمَا جَزَآءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَـٰلًۭا مِّنَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌۭ
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai balasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai sanksi dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Ma’idah: 38).
Ayat ini menunjukkan bahwa Islam memiliki sistem hukuman yang keras bagi kejahatan pencurian, termasuk korupsi yang pada hakikatnya adalah mengambil harta yang bukan haknya. Jika tindakan korupsi menyebabkan kerugian besar bagi negara dan rakyat, hukuman bisa mencapai ta’zir berat yang ditentukan oleh penguasa, termasuk penyitaan harta atau bahkan hukuman mati jika dampaknya sangat luas dan merugikan masyarakat.
Dengan sanksi seperti ini, korupsi dapat dicegah sebelum terjadi, karena pelaku akan berpikir berkali-kali sebelum melakukan kejahatan tersebut.
Kesimpulan
Ketiga pilar ini menjadi fondasi yang kokoh dalam memberantas korupsi secara menyeluruh. Tanpa ketakwaan individu, masyarakat yang peduli, dan negara yang menerapkan hukum secara tegas, sulit untuk menghilangkan praktik korupsi yang telah mengakar.
Oleh karena itu, solusi utama dalam memberantas korupsi bukan hanya sebatas reformasi birokrasi atau peningkatan pengawasan, tetapi dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh yang menjadikan ketakwaan, pengawasan sosial, dan hukum yang tegas sebagai mekanisme utama dalam menjaga amanah.
Kasus korupsi yang terus berulang membuktikan bahwa sistem sekuler kapitalisme gagal dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dan amanah. Selama sistem ini masih diterapkan, korupsi akan terus terjadi dalam berbagai bentuk.
Solusi mendasar untuk memberantas korupsi bukan sekadar pergantian individu atau reformasi kebijakan, tetapi perubahan sistem secara menyeluruh menuju sistem Islam yang menegakkan keadilan dan amanah. Wallahu a’lam bish-shawab.[]
Comment