Oleh: Puput Hariyani, S.Si, Penulis dan Pendidik generasi
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Menciptakan institusi yang baik dan sehat merupakan dambaan bagi seluruh negara. Segala macam cara untuk terbebas dari hutang, memiliki kemandirian, maju dan tentunya terhindar dari segala marabahaya termasuk terhindar dari suatu penyakit pasti akan terus diupayakan. Salah satunya adalah penyakit korupsi.
Sebagaimana diungkap oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa ada penyakit yang membuat banyak negara di dunia lumpuh. Penyakit itu sekaligus musuh yang bisa menghancurkan beberapa negara, yakni korupsi.
“Memang korupsi menjadi salah satu penyakit yang banyak sekali di semua negara di dunia melumpuhkan negara tersebut, sering korupsi merupakan musuh yang paling ampuh membuat suatu negara itu hancur,” ujarnya dalam acara Peluncuran Buku Indonesia 2045, Jumat (20/8) seperti diwartakan CNNIndonesia.com.
Namun beberapa waktu yang lalu justru kita jumpai adanya keanehan perihal perlakuan negeri ini terhadap koruptor, pelaku korupsi yang secara nyata merugikan dan membahayakan eksistensi negeri ini tentang remisi terhadap koruptor.
Pembahasan ini ramai diperbincangkan setelah 23 narapidana koruptor kini bebas bersyarat. Masa hukuman para koruptor itu menjadi lebih pendek karena dipotong remisi. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan Remisi artinya pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana yang memenuhi syarat.
Koordinator ICW Adnan Topan Husodo menilai bahwa pemberian remisi koruptor tidak masuk akal. Menurutnya pemberian remisi kepada para koruptor semakin menunjukkan kejahatan korupsi dianggap sebagai kejahatan biasa.
“Ada pemberian remisi yang itu tentu dari akal sehat kita sebagai masyarakat melihat bahwa korupsi sebenarnya merupakan kejahatan yang serius, kejahatan kerah putih, kejahatan karena jabatan, itu kemudian dianggap sebagai sebuah kejahatan yang biasa,” ujar Adnan di kanal YouTube Populi Center, Rabu (7/9/2022).
Publik kembali bertanya-tanya ketika eks napi korupsi atau koruptor yang ternyata masih mendapat kesempatan menjadi calon anggota legislatif (caleg) di DPR, DPRD, dan DPRD pada Pemilu 2024 mendatang. Hal ini dikarenakan tidak adanya regulasi yang melarang secara tegas bagi eks koruptor untuk menjadi caleg.
Pasal 240 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mengatur soal persyaratan yang mesti dipenuhi untuk menjadi bakal caleg baik di tingkat DPR, DPRD provinsi, hingga DPRD kabupaten/kota. Hanya saja, pasal tersebut tidak spesifik melarang eks napi, termasuk dari kasus korupsi, untuk kembali maju menjadi caleg.
Sementara itu, Pasal 45A ayat (2) PKPU Nomor 31 Tahun 2018 memberikan penjelasan lebih lanjut soal syarat bagi eks koruptor bila hendak maju sebagai caleg pada pemilu. Syarat tersebut yakni memberikan lampiran keterangan soal statusnya (Beritasatu.com).
Regulasi yang ada tentu mencederai nurani masyarakat. Ketika pemerintah berdalih bahwa remisi koruptor sesuai dengan aturan, padahal di sisi lain masyarakat tidak mendapat cukup alasan pembebasan bersyarat pada pelaku korupsi.
Terlebih mantan koruptor diberi hak untuk mencalonkan diri dalam kontestasi politik untuk menduduki jabatan tinggi di mata public. Kondisi ini menegaskan betapa system yang diterapkan saat ini sangat ramah dan memberi kelonggaran regulasi serta kesempatan yang besar terhadap para koruptor untuk kembali memimpin rakyat.
Pertanyaannya adalah apakah rakyat kembali akan memilih mereka? Apakah rakyat tidak mengambil pelajaran setelah berganti kepemimpinan untuk yang ke sekian kalinya namun peyakit korupsi tak juga bisa diberantas?
Masyarakat semestinya semakin cerdas dalam berpolitik, negeri ini bukan saja membutuhkan sosok pemimpin yang amanah dan takut kepada Allah semata, namun juga aturan yang shalih yang akan menjadi benteng bagi pemimpin ketika menjalankan roda kepemimpinan.
Sistem shalih itu kita kenal dengan system Islam yang berasal dari Dzat Penggenggam jiwa manusia. Wallahu’alam bi ash-shawab.[]
Comment