Korupsi di Tengah Jutaan Rakyat Miskin dan Etika Politik Demokrasi

Opini159 Views

 

Penulis: Siti Nurhalizah, M.Pd., Gr |
Pendidik

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA Kejaksaan Agung memprediksi kerugian negara mencapai Rp 968,5 triliun. Jumlah yang sangat Fantastis belum lagi ditambah kerugian negara yang diakibatkan oleh PT Timah sebesar 300 triliun di awal tahun ini (kompas.com, 27-02-25).

Dari kasus korupsi Pertamina saja

Jika uang korupsi Pertamina disalurkan ke rakyat maka dapat menghidupi seluruh rakyat miskin di Indonesia hingga 35 tahun lamanya. 968,5 triliun bukanlah sekedar nominal angka.

Sudah saatnya masyarakat mulai menyadari bahwa angka triliunan dari kasus korupsi merupakan pelanggaran terhadap aspek kemanusiaan yang teramat dalam.

Pasalnya ada puluhan juta masyarakat miskin yang terangkat dari belenggu kemiskinan jika politik bersih dari perilaku korup triliunan tersebut.

968,5 triliun dibagi dengan total penduduk miskin di Indonesia berdasarkan data BPS 2024 yaitu 24,06 juta orang, maka masing-masing individu miskin berpotensi mendapatkan penghidupan berupa 2.624 kg beras. Satu individu hanya menghabiskan 75 kg beras dalam setahun. Maka 2.624 kg tersebut baru akan habis 34,98 tahun kemudian.

Artinya 24,06 juta masyarakat miskin di Indonesia dapat terjamin kebutuhan pangan utamanya selama 35 tahun, jika dana korupsi yang dinikmati segelintir orang tersebut dianggarkan untuk mengenaskan kemiskinan.

Namun nasi sudah menjadi bubur, keserakahan elit politik telah membunuh nilai kemanusiaan dengan membiarkan jutaan masyarakat kelaparan.

Berdasarkan hasil penelitian terakhir dari Organisasi Pangan Dunia (FAO) tahun 2015, diperkirakan sebanyak 19,4 juta penduduk Indonesia masih mengalami kelaparan. Berdasarkan data The Global Hunger Index Pada tahun 2023, Indonesia menduduki peringkat ke-2 tertinggi tingkat kelaparan se-ASIA.

Mengapa korupsi terus terjadi? Inilah pertanyaan masyarakat yang sampai detik ini belum terpecahkan dan tersolusikan. Benarkah sekedar kurangnya akuntabilitas dan transparansi publik?

Faktanya AS merupakan salah satu negara dengan tingkat transparansi tinggi, namun masih signifikan kasus korupsinya. Tentu transparansi publik bukan satu-satunya penyebab korupsi.

Berdasarkan data dari penelitian sebelumnya, penyebab perilaku korupsi meliputi kebutuhan finansial (Merton, 1938), kurangnya pengawasan (Becker, 1968), budaya korupsi (Hofstede, 1980), kurangnya pendidikan (Transparency International, 2020), pengaruh kekuasaan (Milgram, 1963), kurangnya akuntabilitas (World Bank, 2019), faktor ekonomi (Klitgaard, 1988), faktor psikologis (Bandura, 1977), kurangnya partisipasi masyarakat (Putnam, 1993), dan kurangnya penindakan (Becker, 1968).

Namun dari beberapa faktor tersebut dapat disimpulkan terdapat 3 faktor besar korupsi tetap terjadi, yaitu: pertama, faktor internal atau dorongan dalam diri yang berkeinginan untuk menikmati kekayaan yang lebih; kedua,  faktor eksternal yaitu lemahnya pengawasan dan penindakan terhadap kasus korupsi; ketiga, adanya pengaruh kekuasaan.

Faktor pertama dan kedua tidak akan berarti apa-apa jika tidak memiliki kekuatan berupa kekuasaan. Jika kekuasaan merupakan faktor terkuat perilaku korup, kemudian korupsi sudah membudaya, maka masyarakat mesti mulai menguji kelayakan dari figure dan sistem pemerintahan yang menjadi dasar pijakan dalam mengelola kekuasaan tersebut.

Jika mengevaluasi sekedar figure, maka masyarakat sudah terlalu sering tertipu. Meski tampang kandidat begitu menawan dan tampak baik di awal denga janji-janji kampanye masing-masing, namun hanya sedikit yang tidak terjerat kasus korupsi.

Bahkan korupsi terkadang dilancarkan oleh semua pihak, mulai kepala desa, kedinasan terkait, dan kementerian terkait sebagaimana banyak kasus di Indonesia, misalnya kasus pagar laut. Artinya evaluasi sudah semestinya ditingkatkan ke tahap sistem pemerintahan yakni demokrasi liberal yang didukung kapitalisme.

Apakah sistem demokrasi penyebab besarnya ruang perilaku korupsi?
Sistem demokrasi tidak bisa terlepas dari pemilihan umum, karena pemilu merupakan metode baku dalam sistem perwakilan kekuasaan demokrasi.

Sistem ini memerlukan biaya politik yang mahal selama berkompetisi dalam pemilu, sehingga partai politik mencari sumber dana yang tidak sah, seperti korupsi dan kolusi.

Selain itu, praktik “money politics” atau politik uang juga dapat menyebabkan korupsi, karena calon legislatif harus memiliki dana yang cukup besar untuk memenangkan pemilu. Inilah yang disebut ruang besar perilaku korupsi dalam sistem demokrasi.

Tentu ruang besar ini didukung oleh lemahnya hukum yang berlaku, pemangkasan fungsi lembaga pemberantas korupsi, serta dibungkamnya masyarakat yang kritis. Maka dengan demikian, hari ini korupsi telah menjadi tradisi yang membudaya di negeri ini.

Jauh sebelum itu, islam sudah memberikan metode menghapus perilaku korupsi hingga akar melalui seleksi kandidat pemimpin terbaik sesuai standar hukum syara’
serta sistem politik berbiaya murah.

Penerapan Islam yang meniscayakan penerapan syariat Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan, termasuk kepemimpinan.

Penguasa dan para pejabat terpilih adalah yang bertakwa dan zuhud, sehingga mereka dapat menjalankan tugas dengan amanah dan tidak tergoda oleh kepentingan materi.

Dalam mengurusi rakyat pun, sepenuh hati dan jiwa sesuai dengan tuntutan syariat Islam, bukan politik transaksional seperti hari ini yang mana penguasa mengurusi karena dibayar oleh rakyat, rakyat diurusi karena bayar pajak dan premis serupa lainnya. Selain itu, islam menerapkan sanksi tegas yang berefek jera.

Hukuman tegas tersebut bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. Dengan demikian, korupsi dapat dicegah dan diatasi secara efektif, sehingga terwujud masyarakat sejahtera.

Bahkan tidak hanya sekedar minim korupsi namun bangunan moralnya juga dapat hancyr sebagaimana negara-negara yang sepi korupsi hari ini. Islam benar- benar memformulasikan kesejahteraan sesuai dengan fitrah manusia.

Kesejahteraan tidak hanya dipandang dari segi materi yang salah satu indikatornya minim korupsi –  sehingga masyarakat terpenuhi kebutuhannya –  akan tetapi sejahtera menurut islam adalah di mana manusia dapat memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kualitas hidupnya di semua aspek baik ekonomi, sosial, politik, pergaulan, kesehatan, dan pendidikan.[]

Comment