Oleh: Ema Fitriana Madi, S.Pd, Pemerhati Media Sosial Politik
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Tidak bisa dimungkiri bahwa keteladanan pemimpin hari ini adalah sesuatu yang sangat mahal harganya. Bak berlian, jika saja ada pejabat maupun pemimpin yang mampu bersikap ideal mengundurkan diri lantaran takut mengkhianati amanah. Gambaran seperti itu, hampir tidak pernah kita temukan. Mengapa demikian? Karena figur pemimpin serta pejabat hari ini banyak membuat rakyatnya mengelus dada.
Perilaku hidup mewah para pejabat, yang bahkan dipamerkan di ruang medsos mereka, menjadi pemandangan sehari-hari yang harus ditelan pahit oleh rakyat yang tengah berjuang di era krisis ini.
Di sisi lain, pemberitaan mengenai korupsi pun tak kalah ramai. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaporkan, jumlah tersangka kasus korupsi sebanyak 149 orang sepanjang tahun 2022. Jumlahnya meningkat 34,23 persen dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 111 tersangka. Bahkan, hingga pertengahan Maret 2023 saja, kasus korupsi terus mewarnai pemberitaan baik kalangan pejabat maupun civitas akademik.
Seperti diketahui, belum lama ini terbongkar adanya transaksi mencurigakan sebesar Rp300 triliun yang terjadi di Kementerian Keuangan atau Kemenkeu. Kendati begitu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD menyebut, bukan merupakan korupsi, tapi termasuk Tindak Pidana Pencucian Uang atau TPPU (tempo.co, 14/3/2023).
Kemudian, Kejaksaan Agung hingga saat ini telah menyita Rp10 miliar termasuk aset dan properti dalam kasus dugaan korupsi tower Base Transceiver Station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukung paket 1, 2, 3, 4, dan 5 BAKTI Kominfo 2020-2022 (tempo.co, 16/3/2023).
Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Sekretaris Daerah Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, Ridwansyah Taridala yang telah ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus korupsi PT Midi Utama Indonesia mencapai Rp1,1 miliar. (antaranews.com, 14/3/2023).
Begitu miris, korupsi mewarnai negeri ini seakan tak pernah ada habisnya. Terus saja bermunculan. Itu yang ketahuan. Bagaimana dengan yang tidak atau belum ketahuan? Memang benar, upaya telah banyak dilakukan. Pemerintah pun menetapkan Aksi Pencegahan Korupsi (Aksi PK) Tahun 2023-2024. Namun, penting untuk sama-sama memahami apa sebenarnya akar masalah korupsi tersebut.
Korupsi adalah penyakit dalam sistem kehidupan kita. Seperti parasit yang akan terus merugikan elemen masyarakat. Korupsi bukan hanya soal pencurian. Jika pencurian hanya berdampak pada ekonomi, namun korupsi berdampak holistik. Jika korupsi ada di sistem pemerintahan, maka semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara akan rusak.
Ini semua terjadi karena diterapkannya sistem kapitalisme yang merusak akal manusia, sehingga manusia rakus dengan kekayaan. Mereka tidak menjadikan halal dan haram sebagai tolok ukur perbuatan. Sehingga, bagi mereka, apa pun bisa dilakukan asal bisa mendapatkan keuntungan secara materi, termasuk melakukan tindak korupsi. Terlebih, meski para koruptor tertangkap, faktanya tetap tidak memberikan efek jera. Karena, hukum bisa dibeli. Akibatnya, tak sedikit koruptor yang divonis bebas.
Alih-alih memberantas korupsi, sistem yang memanjakan koruptor ini justru menjadi penyebab maraknya korupsi dengan munculnya koruptor-koruptor baru. Namun, beda perlakuan terhadap orang yang mencuri kayu ataupun barang yang harganya murah dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan rasa laparnya. Dalam hal ini, pengadilan memberikan hukuman yang sangat berat. Ini semua bukti bahwa sistem kapitalisme merupakan biang dari kemaksiatan, kerusakan moral, kerakusan, serta kesengsaraan.
Sebelumnya, ada beberapa hal yang harus diperhatikan bahwa seharusnya pemimpin ataupun pejabat menunjukkan keteladanan dalam pemberantasan korupsi. Mereka harus memiliki jiwa yang wara’ dan zuhud dari mengambil harta yang tidak halal. Kita bisa belajar dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz, demi menjaga agar tidak mencium bau tanpa ada hak baginya, beliau sampai menutup hidungnya saat membagi minyak wangi kesturi kepada kaum muslimin (al ihya’, al Ghazali).
Pemimpin dan pejabat juga perlu mencegah agar tidak ada anggota keluarganya yang memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadinya. Seperti Khalifah Umar yang menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin Umar, karena digembalakan bersama beberapa unta lain di padang rumput baitul maal. Hal ini dinilai oleh Umar ra. Sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan negara.
Keteladanan yang paling penting adalah dalam hal larangan menerima suap dan hadiah. Suap biasanya diberikan sebagai imbalan atas keputusan atau jasa yang berkaitan dengan suatu kepentingan, yang semestinya wajib diputuskan dan dilakukan oleh seorang pegawai tanpa imbalan apapun karena ia telah digaji.
Adakalanya suap juga diberikan agar pegawai tidak melakukan kewajiban, misalnya dibidang pengawasan sebagaimana mestinya agar menguntungkan pemberi suap.
Abdullah bin Rawahah, ketika menjalankan perintah Nabi saw. untuk membagi dua hasil bumi Khaibar (separuh untuk orang Yahudi separuh lagi untuk kaum Muslim), datang orang Yahudi mencoba menyuap dirinya dengan sejumlah perhiasan agar Abdullah mau memberikan lebih dari separuh kepada mereka. Tawaran itu ditolak keras seraya berkata;
“Suap yang kalian tawarkan adalah haram dan kaum Muslim tidak memakan suap”. Mendengar ini, orang Yahudi menyahut, “Karena itulah (ketegasan Abdullah) langit dan bumi tetap tegak.” (Imam Malik dalam AI-Muwaththa’).
Berkat kejujuran Abdullah bin Rawahah sebagai birokrat, keadilan dan kebenaran akan tegak berdiri. Tentang hadiah kepada pejabat negara Rasulullah ﷺ berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR Ahmad).
Adapun ghulul (perbuatan curang), pada umumnya, hadiah itu mempunyai maksud-maksud tertentu yang intinya agar pejabat yang diberi hadiah bertindak menguntungkan pemberi hadiah. Sebab, buat apa memberi hadiah bila tanpa maksud di belakangnya? Bila untuk sedekah, mengapa justru diberikan kepada pejabat yang biasanya sudah hidup lebih dari cukup, bukan kepada fakir miskin?
Rasulullah ﷺ dalam hadis riwayat al-Bukhari pernah mencela keras lbnul Atabiyah lantaran menerima hadiah dari orang-orang Bani Sulaim dalam tugasnya mengumpulkan zakat dari kabilah tersebut. Ketika kembali dengan membawa sejumlah harta zakat, kata orang itu, “Ini untukmu dan ini hadiah yang dihadiahkan kepadaku.” Mendengar itu Rasulullah ﷺ menukas, “Apakah tidak lebih baik jika kamu duduk-duduk saja di rumah ayah atau ibumu sampai hadiah itu datang padamu?”
Pada kesempatan lain, Rasul juga menegaskan, “Siapa saja yang kami beri tugas melakukan sesuatu pekerjaan dan kepada dia telah kami berikan rezeki (gaji), maka yang diambil oleh dia selain itu adalah kecurangan (ghulul).” (HR Abu Dawud).
Hadis di atas tegas melarang pegawai mengambil lebih banyak dari apa yang berhak mereka terima dari gaji dan tunjangan resmi lainnya. Praktik suap dan pemberian hadiah sangat besar pengaruhnya terhadap birokrasi. Hal itu akan merusak kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Pegawai akan bekerja tidak sebagaimana mestinya, hingga menerima suap.
Di bidang peradilan, hukum akan ditegakkan secara tidak adil atau cenderung memenangkan pihak yang mampu memberikan suap atau hadiah. Birokrat yang menerima suap dan hadiah telah bertindak curang. Pada Hari Kiamat kelak, ia akan mendapat azab. Rasulullah ﷺ berkata, “Laknat Allah atas penyuap dan penerima suap.” (HR Abu Dawud). Di dunia ia mendapat hukuman yang keras selain hartanya disita.
Dengan teladan dari pemimpin, tindak penyimpangan akan terdeteksi secara dini. Penyidikan dan penindakan tidak sulit dilakukan. Sebaliknya, apa jadinya bila justru pemimpin itu yang melakukan korupsi dan melindungi korupsi yang dilakukan bawahannya? Lalu, dengan kewenangannya bukan memperkuat lembaga pemberantasan korupsi, tetapi malah memperlemah. Semua upaya apa pun menjadi tidak ada artinya sama sekali.
Akibatnya, pemberantasan korupsi hanya berhenti sebatas retorika kosong belaka.
Teladan pemimpin penting diperkuat dengan pengawasan masyarakat yang dapat berperan dalam menyuburkan atau menghilangkan tindak penyelewangan di kalangan birokrat. Masyarakat yang bermental instan (ingin serba cepat) akan cenderung menempuh jalan pintas untuk mendapatkan pelayanan cepat dari birokrat atau mencapai tujuan-tujuan pribadi dengan mengiming-imingi sejumlah uang atau pemberian lain.
Sebaliknya, masyarakat mulia akan turut mengawasi jalannya pemerintahan termasuk para birokratnya. Mereka akan menolak bila oknum birokrat mengajak mereka berbuat menyimpang. Pengawasan masyarakat akan mempersempit ruang gerak penyimpangan kaum birokrat.
Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi birokrat, Khalifah Umar pada awal kepemimpinannya mengatakan, “Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskan aku walau pun dengan pedang.” Menyambut seruan Umar, berdirilah seorang laki-laki yang dengan lantang berkata, “Kalau begitu, demi Allah, aku akan meluruskanmu dengan pedang ini.” Melihat itu, Umar amat bergembira. Bukan malah menangkap atau menuduh dirinya menghina kepala negara.
Jadi, satu-satunya cara mengatasi korupsi selain penataan sistem adalah teladan dari pucuk pimpinan. Sistem yang baik cenderung akan membuat para pegawai menjadi baik dan tercipta pula lingkungan kerja yang baik. Apalagi disertai teladan dari para pemimpin. Niscaya tindak korupsi dan penyelewengan jabatan akan dapat dihapus atau setidaknya ditekan. Bukan malah semakin berkembang seperti sekarang ini.
Cita-cita terbentuknya pemerintahan bersih (clean government) insya Allah dapat diwujudkan. Bukan menjadi sebuah ilusi oleh karena pemerintahan telah dikendalikan oleh sebuah kekuatan oligarki dan gurita korupsi.Wallahu a’lam bishawab. [SP]
Comment