Oleh: Novita Darmawan Dewi, Mahasiswi
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Menurut BMKG Fenomena El Nino atau kemarau panjang diperkirakan akan berlangsung sampai Agustus 2023. Bahaya kekeringan maupun krisis air bersih pun mengancam kota-kota di Indonesia.
Potensi krisis air bersih ini diperparah dengan penurunan muka tanah yang berlangsung dari tahun ke tahun. Selain itu, jumlah warga yang bisa mengakses air bersih ke Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) masih terbatas.
Di Kota Bandung, misalnya, produksi air bersih PDAM Tirtawening seperti ditulis bandungbergerak.id hanya 2.200 liter per detik atau 3,2 juta kubik per bulan. Angka ini masih jauh di bawah kebutuhan air masyarakat Kota Bandung yang mencapai 7.000 – 8.000 liter per detik atau 7 – 8 juta kubik per bulan
Akar Masalah
Indonesia merupakan negara terkaya ke-5 dalam ketersediaan air tawar, yaitu mencapai 2,83 triliun meter kubik per tahun. Dari jumlah besar ini kuantitas air yang dimanfaatkan baru sekitar satu per tiganya, yaitu 222,6 miliar meter kubik dari 691 miliar meter kubik per tahun. Untuk memanfaatkan potensi tersebut, diperlukan konsep pengelolaan yang benar serta pembangunan infrastruktur dengan teknologi yang terbaik.
Namun sayang, tata kelola sumber daya air (SDA) dan lingkungan kurang terkonsep secara signifikan sehingga SDA yang berlimpah tidak memberikan manfaat besar bagi rakyat bahkan jutaan rakyat harus merasakan krisis air bersih setiap tahun.
Konsep pengelolaan SDA dijalankan dengan prinsip kapitalisme sekuler yang melahirkan kebijakan politik demokrasi neoliberal dan politik ekonomi kapitalistik. Paradigma kapitalisme neoliberal telah memosisikan air sebagai komoditas ekonomi. Akibatnya, air menjadi objek bisnis yang bisa dikelola siapa pun untuk mencari untung.
Akhirnya dengan kebijakan privatisasi, berbagai sumber mata air dikuasai korporasi penyedia air bersih maupun korporasi air minum. Kooptasi sumber mata air oleh korporasi menyebabkan tertutupnya akses mayoritas rakyat terhadap mata air. Berikutnya rakyat harus membayar mahal untuk sumber daya air yang telah dikuasakan kepada korporasi, baik air bersih maupun air untuk diminum.
Seiring liberalisasi sumber daya air, kebijakan politik yang berlaku menunjukkan minimnya perhatian pemerintah mengelola pemenuhan air bersih bagi rakyat. Kapitslisme telah memposisikan peran pemerintah sebagai regulator dan fasilitator saja, tidak secara langsung terjun dalam pengelolaan.
Untuk pengadaan berbagai infrastruktur penyediaan air bersih diserahkan kepada korporasi yang ujung-ujungnya dikelola secara komersil.
Komersialisasi inilah yang menjadi karakter korporasi kapitalis dan membuat rakyat kesulitan mengakses air bersih. Sedangkan untuk daerah yang minim sumber daya air, akan terus menerus dilanda krisis.
Minimnya profesionalisme dalam tata kelola oleh negara juga terlihat dengan ketidaktegasan sikap terhadap tindakan perusakan lingkungan yang terus terjadi. Baik perusakan pada sumber air baku permukaan (seperti sungai, danau, waduk) akibat pembuangan limbah industri yang massif maupun perusakan akibat deforestasi dan perubahan tata guna lahan yang memicu peningkatan intensitas kekeringan.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan massifnya laju deforestasi sebagai faktor ketidakseimbangan dan perubahan iklim yang pada akhirnya merusak keseimbangan siklus hidrologi yang kemudian berkonsekuensi pada krisis air bersih yang makin parah.
Selain itu, pengelolaan air bersih ala kapitalisme juga menimbulkan ketimpangan akses. Sebagai contoh kita bisa lihat, pembangunan instalasi air bersih di daerah Labuan Bajo NTT yang dilakukan untuk mendukung korporasi kapitalis yang akan mengelola kawasan tersebut sebagai destinasi pariwisata super premium. Sementara mayoritas masyarakat NTT yang sudah puluhan tahunan dilanda krisis air bersih tidak mendorong pemerintah untuk serius mengatasinya.
Begitu pula krisis air bersih yang dialami masyarakat di Bali, DIY, DKI Jakarta juga karena ketimpangan akses di mana korporasi swasta yang mengelola perhotelan, gedung perkantoran atau tempat wisata memperoleh keistimewaan akses terhadap air bersih dibanding masyarakat menengah ke bawah.
Solusi Hakiki
Penerapan sistem kapitalisme neoliberal sudah nyata menyebabkan berbagai krisis yang semakin intens termasuk krisis air bersih. Bahkan dunia telah diprediksi akan menghadapi krisis yang semakin buruk dan kesulitasn air bersih di masa yang akan datang.
Harapan berakhirnya krisis air bersih hanya menjadi fatamorgana selama pemerintah masih menggunakan konsep kapitalistik neoliberal. Lalu apa solusi pasti terhadap persoalan ini? Solusi hakiki yang bisa diharapkan rakyat hanyalah solusi yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada Rasulullah Saw yakni syariat Islam.
Islam sebagai agama dan ideologi memiliki konsep unggul dan paripurna di seluruh aspek kehidupan. Apalagi sejumlah kebijakan yang diambil pemerintah selama ini hanyalah tindakan jangka pendek – tidak menyentuh persoalan mendasar untuk menyelesaikan masalah.
Solusi dan kebijakan yang diambil baru sebatas dropping air bersih ke daerah dan lokasi terdampak kekeringan, dan ini juga sering terkendala bagi daerah yang lokasinya jauh. Bahkan embung, ataupun bendungan yang digencarkan pembangunannya tidak bisa mengatasi kesulitan air yang dirasakan rakyat.
Penyelesaian krisis air bersih hanya akan teratasi dengan konsep Islam yang tampak dalam kebijakan politik dan ekonominya. Secara politik, Islam menegaskan bahwa negara harus hadir sebagai pengurus dan atau penanggung jawab dan pelindung rakyat sebagaimana ditegaskan Salam sebuah hadits:
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ».
_“Imam/Khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.”_ (HR Bukhari dan Muslim).
Untuk itu pemerintah bertanggung jawab memenuhi kebutuhan dasar rakyat dan menyelesaikan seluruh problems dan kesulitan yang dihadapinya. Tanggung jawab ini akan meniscayakan negara melakukan berbagai kebijakan mitigasi dalam upaya mengatasi kesulitan air mulai dari membiayai riset-riset, pengembangan teknologi hingga implementasi atasi masalah. Tanggung jawab ini harus dijalankan langsung oleh pemerintah, tidak boleh dialihkan kepada pihak lain apalagi korporasi yang hanya mencari benefit ekonomi.
Selain itu, pemerintahan dalam konsep Islam menghentikan tindakan perusakan lingkungan walaupun atas nama pembangunan atau proyek strategis nasional. Sebab dalam Islam pembangunan harus berpijak pada landasan yang tidak menimbulkan kemudharatan.
«لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ»
_“Janganlah memberikan kemudaratan pada diri sendiri, dan jangan pula memudarati orang lain.” (HR Ibnu Majah dan Daruquthni).
Sebaliknya, pemerintah menggunakan prinsip-prinsip sahih yang sesuai syariat Islam di mana pembangunan dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan memenuhi kewajiban dakwah dan jihad. Di samping tetap memperhatikan karakter alamiah alam sehingga keselamatannya tetap terjaga. Jika pembangunan dijalankan di atas prinsip syariat pasti akan membawa kemaslahatan.
Di sisi lain, pemerintahan dalam konsep Islam juga menerapkan sistem ekonomi Islam secara kafah termasuk dalam hal pengelolaan harta – di mana Islam menetapkan bahwa air termasuk harta milik publik sebagaimana halnya energi, hutan, laut, sungai dsb. Kekayaan alam (SDA) tersebut adalah milik seluruh rakyat dan negara wajib bertindak sebagai pengelola agar harta tersebut berdampak terhadap kesejahteraan dan bisa dinikmati rakyat.
Prinsip pengelolaan ini semata-mata untuk pelayanan bukan berbisnis. Pemerintah tidak diperbolehkan menyerahkan pengelolaan apalagi kepemilikannya kepada swasta yang akhirnya digunakan untuk kepentingan ekonomi belaka.
Dengan menggunakan paradigma dan prinsip pengelolaan sumber daya air dan lingkungan sesuai Islam, ditambah peran politik negara yang sahih maka sumber daya air berlimpah yang dianugerahkan Allah akan termanfaatkan dengan optimal dan kebutuhan rakyat akan terpenuhi. Wallahu a’lam.[]
Comment