RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Setiap muslim pasti meyakini bahwa rezeki datangnya dari Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya bahwa tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.
Namun, bagaimana memperoleh rezeki kerap mengundang perbedaan pendapat dari banyak orang. Hal ini pula pernah menjadi perdebatan ulama besar Imam Maliki dan Imam Syafi’i yang merupakan guru dan murid.
Dikisahkan, ketika dalam satu majelis ilmu, Imam Malik (wafat 179 H) yang merupakan guru dari Imam Syafi’i (wafat 204 H) mengatakan bahwa rezeki itu datang tanpa sebab. Seseorang cukup bertawakkal dengan benar, niscaya Allah akan memberikannnya rezeki.
“Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutnya biarkan Allah mengurus lainnya,” demikian pendapat Imam Malik.
Imam Malik menyandarkan pendapatnya itu berdasarkan sebuah hadis Rasulullah:
لَو أنكُم توكَّلْتُم علَى اللهِ حقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُم كما يَرْزُقُ الطَّيْرَ تغدُو خِمَاصًا وتَروحُ بِطَانًا
“Andai kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-benar tawakkal niscaya Allah akan berikan rizki kepada kalian, sebagaimana Dia memberikan rizki kepada burung yang pergi dalam keadaan lapar lalu pulang dalam keadaan kenyang”.
Ternyata Imam Syafii memiliki pandangan lain. Beliau mengemukakan pendapat kepada sang guru. “Ya Syeikh, seandainya seekor burung tidak keluar dari sangkarnya, bagaimana mungkin ia akan mendapatkan rezeki?” kata Imam Syafii.
Imam Syafii menyampaikan pendapat bahwa untuk mendapatkan rezeki dibutuhkan usaha dan kerja keras. Rezeki tidak datang sendiri, melainkan harus dicari dan didapatkan melalui sebuah usaha.
Guru dan murid yang merupakan pendiri mazhab itu bersikukuh pada pendapatnya masing-masing. Hingga suatu ketika, saat Imam Syafii berjalan-jalan, beliau melihat serombongan orang sedang memanen buah anggur. Beliau pun ikut membantu mereka. Setelah pekerjaan selesai, Imam Syafi’i mendapat imbalan beberapa ikat anggur sebagai balas jasa.
Imam Syafi’i senang bukan main. Beliau senang bukan karena mendapatkan anggur, tetapi karena memiliki alasan untuk menyampaikan kepada Imam Malik bahwa pendapatnya soal rezeki itu benar.
Dengan bergegas Imam Syafi’i menjumpai Imam Malik yang sedang duduk santai. Sambil menaruh seluruh anggur yang didapatnya, Imam Syafi’i menceritakan pengalamannya seraya berkata: “Seandainya saya tidak keluar pondok dan melakukan sesuatu (membantu memanen), tentu saja anggur itu tidak akan pernah sampai di tangan saya”.
Mendengar itu, Imam Malik tersenyum, seraya mengambil anggur dan mencicipinya. Kemudian Imam Malik berucap pelan. “Sehari ini aku memang tidak keluar pondok, hanya mengambil tugas sebagai guru, dan sedikit berpikir alangkah nikmatnya kalau dalam hari yang panas ini aku bisa menikmati anggur. Tiba-tiba engkau datang sambil membawakan beberapa ikat anggur untukku. Bukankah ini juga bagian dari rezeki yang datang tanpa sebab? Cukup dengan tawakkal yang benar kepada Allah niscaya Allah akan berikan rezeki. Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutnya biarkan Allah yang mengurus lainnya”.
Imam Syafi’i langsung tertawa mendengar penjelasan Imam Malik tersebut. Sang Guru dan murid itu kemudian tertawa bersama. Begitulah, dua Imam mazhab mengambil dua hukum berbeda dari hadits yang sama.
Imam Malik dan Imam Syafii mengajarkan kepada umat Islam bagaimana menyikapi perbedaan. Keduanya tak saling menyalahkan lalu membenarkan pendapatnya sendiri. Begitulah indahnya Islam apabila saling menghormati dan saling berkasih-sayang.
Kisah Ibrahim bin Adham
Dalam kisah lain diceritakan, suatu hari Ibrahim bin Adham (100-165 H), ulama sufi yang terkena zuhud. Beliau juga seorang pedagang yang sukses. Ketika beliau melakukan perjalanan, di tengah jalan beliau menemukan seekor burung yang sayapnya patah, tidak bisa terbang dan terpuruk di tempatnya. Seketika beliau menyuruh rombongannya berhenti.
“Demi Allah, aku mau melihat akankah ada burung yang mendatanginya membawa makanan atau akankah dia mati,” ucap beliau.
Setelah menunggu lama, tiba-tiba datang seekor burung lalu dia menempelkan paruhnya ke paruh burung yang sakit itu, lalu dia memberinya makanan. Sontak saja, Ibrahim bin Adham langsung berikrar bahwa ia akan meninggalkan dagangnya dan duduk tenang di rumah dengan terus beribadah kepada Allah, sebab ia telah menyaksikan sifat Maha Dermawan-Nya Allah dan pemberian rezeki-Nya tanpa diduga-duga.
Kemudian kabar itu didengar oleh Imam As-Syibli, seorang sufi yang zuhud juga pada masanya. Lalu beliau mendatangi Ibrahim bin Adham dan berkata:
“Kenapa kamu meninggalkan daganganmu dan duduk di rumahmu seperti ini?”
Ibrahim bin Adham menceritakan kisah yang dialaminya tentang perihal burung itu. Lalu As-Syibli menjawab dengan ucapannya yang mengena: “Hai Ibrahim! Kenapa engkau malah memilih menjadi burung yang lemah itu bukan memilih menjadi burung yang membawakannya makan?”
Mungkin yang dimaksud oleh Imam as-Syibli adalah Hadis Nabi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA :
المؤمن القوي خير وأحب إلى الله من المؤمن الضعيف
“Seorang mukmin yang kuat (mampu) lebih baik dan lebih Allah suka daripada seorang mukmin yang lemah.”
Terkait mengenai rezeki ini, Ulama besar Mesir Syeikh Mutawalli as-Sya’rowi pernah berkata: “Al-Jawarihu ta’mal, wal Qulub tatawakkal” yang artinya tubuh harus tetap berusaha tanpa menyerah, tapi hati selalu tawakkal (pasrah) kepada Allah.
(rhs)
Comment