Calon Pendeta Maria Sugiyarti |
RADARINDONESIANEWS.COM, SURABAYA – Di antara puluhan guru SMK Muhammadiyah 2 Surabaya, terselip nama Maria Sugiyarti. Dari namanya, mudah ditebak kalau ia berasal dari keluarga Kristiani. Ibu lima anak ini mengaku “tersesat” di jalan yang benar.
Maria kecil adalah gadis tomboy. Perilakunya seperti anak laki-laki. Suka naik pohon, dan naik gunung. Hobi berolahraga, dan bermain di kali. Seperti umumnya anak tomboy, ia tidak bisa menyimpan rasa ingin tahu dan tidak suka diatur-atur, termasuk dalam soal agama.
Lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga Kristiani, sejak kecil ia sudah dididik menjadi penganut Kristen fanatik. Lebih dari itu, orang tuanya menginginkan Maria jadi pendeta. Sehingga terus dilatih menghafal Injil.
Tapi lain keinginan orang tua, lain pula yang dipikirkan sang anak. Jalan hidup Maria seperti puisi Kahlil Gibran. “Anakmu bukanlah anakmu… mereka lahir darimu, tapi bukan milikmu… pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan fikiranmu… karena mereka memiliki fikiran sendiri ….”
Bagi Maria, hubungan antara orangtua dan anak hanya sebatas memberikan arahan dan bimbingan. Bukan memaksakan keinginan dan pemikirannya. Karena anak semakin dipaksa, makin berontak. Ia misalnya, kerap mempersoalkan sistem keimanan Kristiani yang meyakini bahwa tuhan itu tiga, tapi ruhnya satu.
“Seperti segitiga sama sisi, yang memiliki tiga sisi tapi sejatinya satu,” kata dia, menirukan ilustrasi yang diberikan sang pendeta. Sayangnya setiap dia minta penjelasan lebih logis, tidak ada jawaban memuaskan, kecuali hanya doktrin bahwa beragama harus diimani, tidak boleh protes.
Perempuan kelahiran Wonogiri pada 1 Juni 1969, ini pun terus berontak dan tak henti melakukan pencarian. Apalagi dirinya punya pengalaman spiritual menarik semasa usia belia.
Ceritanya, waktu duduk di kelas tiga Sekolah Dasar (SD), setiap ada pelajaran agama Islam, murid yang Kristen keluar. Dasar tomboy, ia tidak ikut bermain di luar, tapi justru duduk di jendela kelas, sambil melihat guru agama Islam mengajarkan agama. “Guru tersebut, Pak Marsam, cara mengajarkan agama tidak menggurui, tapi dengan cerita-cerita indah,” kenang Maria.
Di antara yang diingat, kisah mengenai sahabat Umar bin Khathab yang kelihatan keras, ternyata hatinya lembut. Juga Ali bin Abu Thalib yang tidak mau menggunakan fasilitas publik untuk kepentingan pribadi. Termasuk ajaran tidak boleh membunuh semut. “Semut itu kecil. Kalau dibunuh, kita tidak ada bangganya,” kata dia mencontoh ucapan sang guru.
Ia tertegun, kagum atas keindahan ajaran Islam. Selanjutnya, ketika surat-surat pendek dibacakan, terasa ada kekuatan yang mendorong dirinya untuk mendengarkan. “Demikian pula kalau terdengar kumandang adzan, saya mesti ingin menangis,” ungkapnya sembari menyeka airmata yang mengalir di pipinya.[PWMU]
Comment