Khutbah Idu Fitri 1444H: Merajut Silaturrahim, Menggapai Pertolongan Allah SWT

 

 

Oleh: Dr. Mukhaer Pakkana, S.E, MM, Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta

_________

 

Jamaah Shalat Idul Fitri, Rahimakumullah,

Di hari yang penuh berkah ini, patut kiranya kita berucap syukur kehadirat Allah yang telah begitu banyak melimpahkan nikmat-Nya, yang
menerangi hati dari kegelapan, yang
menuntun jiwa dari kegalauan dan yang telah membekali akal sehingga dapat terlepas dari kesesatan, dan alhamdulillah kita tetap terpilih sebagai pemeluk agama Islam.

Shalawat dan salam semoga tetap dicurahkan oleh Allah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah diutus Allah bagi seluruh alam, sebagai uswah hasanah (tauladan terbaik) bagi umat manusia.

Jamaah Shalat Idul Fitri Rahimakumullah

Kala mentari tenggelam pada petang kemarin, lembayung sutera di langit senja pun berangsur-angsur menjadi gelap. Tak terasa bulan suci nan mulia itu telah meninggalkan kita. Bulan kesabaran dan latihan, Bulan
rahman dan ampunan, Bulan Qur’an dan bulan Qiyamul la’il, Bulan kemuliaan dan keberkahan, Bulan di mana terdapat malam kemuliaan yang lebih baik dari seribu bulan.

Tak terasa, Syawal telah menyambut kita. Bulan berganti, Ramadhan berlalu. Kita belum tahu, mungkinkah tahun esok kita masih menjumpainya. Namun, yang patut kita renungi, apa yang telah kita perbuat pada bulan Ramadhan yang sudah lewat?

Di kala masjid-masjid saling bersahut-sahutan takbir, haruskah kita duduk merenung, menyesali atau bahkan menangisi kelalaian kita. Ramadhan seolah berlalu, tanpa kita dapat berbuat banyak untuk mengisinya dengan amal kebaikan. Pantaskah kita merayakan kemenangan sejati pada hari yang
fitri ini, atau kita hanya menjadi pemenang palsu, karena kita meraih kemenangan tanpa ikut lelah dalam berperang melawan hawa nafsu?

Allahu Akbar.. Allahu Akbar..
Laa ilaha illahu Wallahu Akbar. Allahu Akbar wa lillahilhamd..

Hari Raya Idul Fitri selalu dijadikan
momentum oleh kaum muslimin untuk saling berkunjung, bersilaturrahim, bersalam-salaman dengan orang tua, sanak saudara, paman, bibi, kakek, nenek, kerabat, handai tolan, tetangga, guru, teman-teman untuk saling meminta maaf dan memaafkan kesalahan, melupakan segala ganjalan yang kemungkinan ada dalam hati, merajut kembali tali persaudaraan yang pernah kusut di antara mereka, baik antara kakak dan adik, atau di antara menantu dan mertua, membangun
kembali keharmonisan yang pernah terusik, mempertebal kembali rasa kebersamaan yang pernah luntur dengan mempererat silaturrahim.

Silaturrahim bukan sekadar berjabatan tangan atau memohon maaf, tetapi silaturrahim memiliki makna yang lebih hakiki. Silaturrahim memiliki aspek mental dan keluasan hati, sesuai dengan asal kata dari silaturrahim itu sendiri, yakni kata shilah yang berarti menyambungkan atau menghimpun,
dan ar-rahiim yang berarti kasih sayang.

Hidup ini tidak akan merasakan ketenangan dan mendapatkan keberkahan kalau silaturrahim terputus, karena dengan terputusnya silaturrahim, di dalam hati seseorang tersimpan kebenciaan dan rasa permusuhan. Apabila dalam suatu lingkungan masyarakat ada orang-orang yang sudah tidak saling tegur sapa, saling menjauhi, saling membelakangi, saling menggunjing dan memfitnah, maka yakin rahmat Allah akan semakin jauh dari masyarakat seperti itu.

Silaturrahim adalah kunci terbukanya rahmat dan pertolongan Allah SWT. Dengan terhubung dan terpeliharanya silaturrahim, maka ukhuwah Islamiyah akan terjalin dengan baik. Bagaimana pun besarnya umat Islam secara
numerikal (jumlah), sama sekali tidak akan ada artinya bila di dalamnya tidak ada persatuan yang kokoh dan kerjasama untuk menyelesaikan permasalahan umat dan bersama-sama menta’ati Allah.

Ada pemeo Arab mengatakan: “Kebenaran yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir”.

Ihwal ini makin ditegaskan pula dalam QS As-Shaf ayat 4. Artinya:”Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.”

Ayat ini menegaskan bahwa untuk
membangun umat yang kokoh atau
terorganisir, maka dibutuhkan keeratan
silaturrahim antara kita, antara keluarga dan antara orang-orang Islam. Di antara kerugian duniawi yang akan menimpa pemutus tali silaturrahim, dia akan terputus dari kasih sayang Allah, sebagaimana firman-Nya dalam hadits qudsi: Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

“Sesungguhnya penamaan rahim itu diambil dari (nama Allah) Ar Rahman, lalu Allah berfirman: Barangsiapa menyambungmu (silaturrahmi) maka Akupun menyambungnya dan barangsiapa memutuskanmu maka
Akupun akan memutuskannya. (HR. Bukhori).

Seorang yang senantiasa menjalin
silaturrahim dijanjikan oleh Rasulullah dengan keluasan riski dan usia yang panjang dan penuh berkah, sebagaimana sabdanya:

“Barang siapa menginginkan untuk diluaskan riskinya serta dipanjangkan usianya; hendaklah ia menjalin silaturrahim”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Jamaah Shalat Idul Fitri Rahimakumullah,  Beberapa bulan lalu, saya terkesima membaca sebuah hasil penelitian yang menyingkap hikmah dari sebuah kebiasaan silaturrahmi.
Penelitian yang dilakukan oleh dua ahli
epidemi penyakit, melihat gaya hidup dan kesehatan penduduk Alameda County, California AS. Dengan mengambil data survei 15.000 orang dewasa berusia antara 18-28.

Dalam penelitian yang diterbitkan British Journal of Psychology, menyebutkan bahwa angka kematian tiga kali lebih tinggi pada orang yang tertutup hidupnya, dibandingkan
orang-orang yang rajin bersilaturrahmi dan menjalin hubungan.

Biaya kesehatan lebih rendah pada keluarga yang suka bersilaturrahmi, dan keluarga yang seperti ini jauh lebih sehat dibandingkan keluarga-keluarga lain. Manusia usia lanjut (manula)
bisa bertahan hidup lebih lama, karena mereka kerap bersilaturrahmi dengan keluarga & kerabat serta rajin hadir dalam pertemuan￾pertemuan.

Selain itu, riset seorang sosiolog kenamaan dari Harvard University Amerika Serikat, Mark Granovetter pada tahun 1980, menyimpulkan bahwa mereka yang memiliki banyak teman
rata-rata berusia 7 tahun lebih lama. Secara umum hubungan persahabatan akan memberikan dampak yang positif bagi kehidupan manusia.

Manusia adalah mahluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa orang lain. Jadi, perbanyak teman dan rawat hubungan dengan mereka. Penelitian ini menyimpulkan, orang tua atau lanjut usia (lansia) yang sering berilaturrahmi
atau interaksi sosial lebih panjang umur
dibandingkan mereka yang lebih banyak
sendirian, terisolasi secara sosial.

Lalu bagaimana kaitan silaturrahmi bisa
menambah riski! Riski bisa mudah dicari selagi kita punya hubungan baik dengan sesama. Karena suka berbuat baik terhadap orang lain, maka mereka pun akan berbuat baik kepada kita.

Inilah yang seterusnya berkembang
menjadi trust, kepercayaan, amanah.
Bagaimana seseorang akan mempercayakan hatanya kepada kita untuk diurus dan dikelola, kalau kita tidak mempunyai hijubungan baik kepadanya?

Allahu Akbar.. Allahu Akbar…
Laa ilaha illahu Wallahu Akbar. Allahu Akbar wa lillahilhamd.

Saat ini di tengah kehidupan yang semakin modern dan revolusi teknologi informasi yang melanda masyarakat, maka munculnya gejala pemutusan tali silaturrahim kerap kali kita dengar di tengah masyarakat, tentu terjadi
karena beberapa sebab;

Pertama: Hidup Individualis. Sebagian orang lebih suka hidup sendirisendiri, tidak memiliki rasa senasib dan sepenanggungan, tidak lagi
suka untuk mengunjungi sanak keluarga dan tetangganya, tidak peduli dengan kondisi kerabatnya, serta tidak mau membantu menutupi kebutuhan atau mengatasi penderitaan saudaranya.

Hal ini awalnya terjadi karena menunda-nunda untuk bersilaturrahim kepada mereka, kemudian hal itu terulang terus
sampai akhirnya terputuslah hubungan
dengan mereka. Iapun terbiasa dengan hal itu karena kesibukannya dan menikmati keadaannya yang jauh dari keluarga.

Kedua: Kesombongan. Sebagian orang, jika sudah mendapatkan kedudukan yang tinggi atau kehidupan yang lebih mapan dari sebelumnya, ia berubah menjadi tinggi hati dan sombong kepada kerabat dekatnya. Dia menganggap mengunjungi keluarganya yang
kurang mampu bahkan miskin merupakan kehinaan, karena ia memandang, hanya dirinya saja yang lebih berhak untuk didatangi
dan dikunjungi.

Ketiga: Pelit Dan Bakhil. Ada sebagian orang, jika diberi riski oleh Allah berupa harta, ia akan menghindar dan menjauh dari kaum kerabatnya, ia lebih memilih menjauhi mereka dan memutuskan silaturrahim daripada membukakan pintu buat kaum kerabatnya,
menerima mereka jika bertamu, membantu mereka sesuai dengan kemampuan dan meminta maaf jika tidak bisa membantu.

Padahal, apalah artinya harta jika tidak bisa dirasakan oleh kerabat. Mudah-mudahan dengan ramadhan yang telah sama-sama kita laksanakan, dapat mengikis sifat itu semua.

Jamaah Shalat Idul Fitri Rahimakumullah,

Oleh sebab itulah pada saat idul fitri ini,
marilah kita saling menjalin silaturrahim, memaafkan dan mengikhlaskan kesalahan kita
masingmasing, melupakan segala kesalahan saudara kita yang pernah membuat kita sakit hati dan terluka.

Memaafkan adalah sikap mulia yang
menghiasi akhlak para nabi dan orang-orang shaleh, mema’afkan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang bersih hatinya, saat Idul Fitri menjadi momen yang tepat untuk itu, saat hati kita sudah disucikan maka akan semakin ringan pula kita meminta maaf dan memaafkan.

Ada sebersit rasa haru dan penyesalan yang muncul di hati khususnya mereka yang telah ditinggal oleh kedua orang tua, suami, istri, sanak saudara atau orang-orang yang dicintai.

Terbayang ketika mereka masih hidup, biasanya kita datang dan duduk bersimpuh di pangkuan ayah dan bunda seraya menyampaikan permohonan ampun serta maaf atas kesalahan dan kekhilafan kita sebagai anak yang sering melukai hati mereka.

Maka sewajarnya pada hari ini, hari suci (fitri), saat mereka semua masih ada, sang anak meminta maaf pada ayah ibunya, yang muda meminta maaf kepada mereka yang tua, istri
meminta maaf kepada suaminya, adik
meminta maaf kepada kakaknya, murid
meminta maaf kepada guru-gurunya, tetangga saling bersilaturrahim dan memaafkan dan mengikhlaskan semua khilaf dan perselisihan yang pernah terjadi.

Dengan demikian akan turunlah rahmat Allah kepada kita semua. Cukuplah Nabi Muhammad SAW menjaditeladan kita dalam memaafkan, beliau memaafkan orang-orang yang telah melemparnya dengan kotoran, mencacinya, menghinanya bahkan beliau menyerahkan sorbannya sebagai tanda maafnya kepada Wahsyi, yang telah membunuh pamannya
tercinta, Hamzah.

Allahu Akbar.. Allahu Akbar…
Laa ilaha illahu Wallahu Akbar. Allahu Akbar wa lillahilhamd,

Sebelum khutbah ini kita tutup, kiranya
sebuah kisah tentang suatu hari di hari lebaran Rasulullah dapat menjadi bekal pulang kita di hari Idul fitri ini.

Suatu hari, di saat hari raya seperti ini Rasulullah saw keluar dari rumahnya untuk melaksanakan shalat idul fitri, saat itu beliau mendapati seorang anak
dalam keadaan murung dan bersedih hati di antara temantemannya yang sedang asyik bermain, tertawa dan berlari-lari dengan penuh suka cita.
Rasulullah kemudian menghampiri anak itu, didekapnya dan dielus-elus kepalanya, Rasulullah lalu bertanya;

“Wahai anakku, mengapa engkau bersedih hati di saat teman – temanmu bersuka ria pada hari ini? Di
manakah rumahmu? Dan siapakah
orangtuamu?”

Dengan mata nanar anak kecil itu menjawab; “Ayahku telah meninggal dalam suatu peperangan bersamamu membela agama Allah, sedang ibuku menikah lagi dan aku tak tahu di manakah ia kini.”

Mendengar ucapan itu Rasulullah saw
mendekap anak itu lebih hangat lagi, lalu berkata, “Maukah kau menjadikan aku sebagai ayahmu, Aisyah sebagai ibumu, sedang Fathimah dan Ali sebagai bibi dan pamanmu?”

Anak itu mengangguk dan tersenyum.
Lalu Rasulullah membimbing anak itu ke
rumahnya dan meminta agar Aisyah
memandikannya dan memberikan pakaian terbaik kepada anak itu. Anak kecil yang tadi berpakaian dekil dan berwajah muram, seketika berubah menjadi kelihatan bersih danceria, rambutnya tersisir rapih dan memakai
pakaian yang bagus.

Ia keluar dari rumah Rasulullah saw sambil berteriak-teriak kepada temantemannya dengan penuh keceriaan sambil berkata;

“Aku aalah anak paling bahagia hari ini. Rasulullah telah menjadi ayahku, Ibunda Aisyah menjadi ibuku, sedang Fathimah dan Ali menjadi bibi dan pamanku.”

Di hari idul fitri seperti ini seharusnya tidak seorangpun yang bersedih hati. Semua orang layak untuk gembira dan bahagia. Lebih-lebih anak kecil, mereka semua mestinya bersuka cita.

Kalau satu anak yatim saja dapat menghentikan langkah Rasulullah SAW menuju tempat shalat Idul Fitri, kemudian anak tersebut turut berbahagia, lalu mengapa puluhan dan ratusan anak yang mengalami
nasib yang sama seperti anak itu, tidak mampu menggerakkan hati suci kita untuk perduli, menyantuni, dan membahagiakan mereka?

Pada 1 Syawal ini, manusia selalu diingatkan untuk kembali ke fitrah yang suci. Islam sangat optimis memandang manusia dan meyakini setiap individu dilahirkan dalam kondisi fitrah.

Fitrah adalah suatu kesadaran mendalam akan keesaan Tuhan (tauhid) yang tertanam dalam lubuk hati (nurani) yang merupakan pusat kedirian manusia. Fitrah inilah yang membuat manusia memiliki kecenderungan alamiah mencari kebenaran, kedamaian dan kebaikan sehingga manusia disebut juga sebagai makhluk hanif (lurus).

Jamaah Shalat Idul Fitri Rahimakumullah,

Marilah di akhir khutbah ini, bermunajat kepada Allah agar hidup kita di dunia ini senantiasa berada di jalan-Nya, beribadah dan menjalankan tugas kekhalifahan dalam bimbingan-Nya, serta di akhirat kelak menjadi
penghuni Jannatun Na’im dalam ridla dan karunia-Nya. Aamiin ya Rabb al‘Alaamiin.[]

 

__________

Materi khutbah ini disampaikan di Masjid Al- Amin, Komplek Perumahan Pesanggrahan Permai, Petukangan, Jakarta Selatan, Jumat 1 Syawal 1444 H (21/April 2023).

Comment