Ketika Khitbah Dimaknai Walimatul Urs

Opini1017 Views

 

 

Oleh : Hawilawati, S.Pd, Muslimah Peduli Generasi

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Sebagaimana Imam Al- Bukhari rahimahullah berkata dalam kitabnya “Berilmu sebelum beramal”. Artinya melakukan perbuatan harus didasarkan dengan ilmu. Tanpa ilmu maka perbuatan akan terjerumus kedalam kesesatan dan sia-sia

Pentingnya berilmu bagi setiap muslim, tak terkecuali dalam masalah munakahat (pernikahan). Pernikahan tidak hanya urusan rukun nikah saja. Tetapi harus dipahami juga proses pernikahannya (ta’aruf dan khitbah), aktivitas pernikahan itu sendiri (nikah dan walimatul urs) hingga aktivitas pasca pernikahan (hak dan kewajiban suami istri, talaq, Iddah, rujuk, dsb).

Bab pernikahan sebagai salah satu bentuk manifestasi ghorizah an-naw yang tetap harus berada dalam tuntunan syariat dalam pemenuhannya, tidak bisa dibebaskan menurut hawa nafsu.

Proses pernikahan di dalam Islam memiliki ketentuan yang berbeda dengan proses menuju pernikahan ala jahiliyah sekulerisme yang menghalalkan segala cara dengan dalih penjajagan satu dengan lain yang belum tentu akan menjadi sepasang suami istri.

Kholwat (pacaran) bahkan hidup satu rumah tanpa pernikahan dalam sistem jahiliyah Sekuler ini sudah dianggap hal lumrah dan dibiarkan terjadi karena dianggap urusan pribadi.

Sementara di dalam Islam proses menuju ibadah suci pernikahan, tak mengenal istilah kholwat atau pacaran. Islam hanya mengenal dua istilah yaitu ta’aruf dan khitbah.

Ta’aruf (berkenalan) hanya sebatas mengenal satu dengan lainnya, keduanya tetap saling menjaga, tak ada aktivitas berduaan tanpa mahrom.

Sehingga pada kondisi ini ta’aruf bisa di lakukan dengan bantuan mediator (perantara) untuk saling mengenal pribadi seseorang (misal melalui saudaranya, orangtuanya sendiri atau sang guru). Sehingga tak ada celah kedua insan bisa saling berinteraksi lebih dari yang diperbolehkan syariat.

Jika kedua insan sudah saling mengenal dengan baik, bisa diteruskan ke tahapan selanjutnya yaitu khitbah.

Khitbah adalah proses lamaran atau pinangan menuju proses pernikahan. hukumnya adalah mubah atau boleh, selama syarat khitbah dipenuhi. Jika khitbah diterima, maka wanita yang dilamar akan bertatus mukhthubah, yaitu seseorang yang sudah dilamar atau dipinang.

Khitbah bukanlah walimatul urs, aktivitasnya pun tidak harus diviralkan dalam rangka menghindari setiap peluang hasad, yang bisa jadi memicu keinginan untuk mengganggalkan rencana pernikahannya.

Catatan penting, kedua insan yang melakukan khitbah, belum sah layaknya suami istri, sehingga aktivitas keduanya harus bersabar saling menjaga satu dengan lainnya. Sabar untuk tidak jalan bareng, makan bareng, foto berduaan (tanpa disertai mahrom), boncengan, bahkan bermesra-mesraan, pandang-pandangan.

Status laki-laki yang mengkhitbah masih kategori ajnabi (laki-laki asing), yang jika perempuan berjumpa untuk satu keperluan maka harus wajib menutup auratnya secara sempurna.

Zaman now banyak yang salah kaprah, seakan khitbah sudah sah atau halal layaknya suami istri, bahkan banyak fakta ditemukan dua insan yang masih asing ini, sudah memanggil dengan sebutan yang khos, seperti mama papa atau sebutan mesra lainnya.

Aktivitas bermesraan diperlihatkan dihalayak umum, bahkan sampai dibuat konten di sosial media, dianggap sesuatu yang wajar.

Hati-hati aktivitas ini terjerumus ke dalam perbuatan sia-sia tiada maslahat. Jika perbuatan yang tidak sesuai tuntunan syariat tetsebut ditiru oleh pasangan muda mudi yang baru menjalankan khitbah lainnya, maka akan menjadi dosa jariyah. Astaghfirullah wa naudzu billah.

Jika tak sabar untuk menahan aktivitas berduaan dan untuk menghindari segala bentuk maksiat yang tidak disyariatkan Allah, maka bersegeralah menikah agar status suami istri menjadi status sah keduanya. Sehingga keduanya dihalalkan syara untuk bersamanya dalam segala hal, dimanapun dan kapanpun.

Waktu khitbah menuju pernikahan tidaklah terlalu lama, jika keduanya siap secara lahir bathin, bersegera menuju sebuah perjanjian agung Mitsaqan Gholizhon, perjanjian yang tidak main-main, siap menjalankan bahtera rumah tangga dibawah tuntunan syariatNya baik suka dan duka, lapang dan sempit, hidup bersama membangun keluarga yang sakinah mawadah warahmah dengan dibekali ilmu mumpuni terkait  munakahat.

Khitbah merupakan proses menuju pernikahan saja, sehingga Islam tidak melarang jika terjadi pembatalan khitbah atau tidak melanjut ke proses pernikahan.

Meskipun demikian, khitbah tidak boleh di buat main-main agar tidak menyakiti satu dengan lainnya. Dan bagi perempuan yang sudah menerima khitbah seorang laki-laki maka tidak boleh berbarengan menerima khitbah laki-laki lainnya.

Adapun perempuan yang boleh dikhitbah, diantaranya :

1. Perempuan yang belum dikhitbah oleh orang lain.

Dari Ibnu Umar RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah seseorang di antara kamu melamar seseorang yang sedang dilamar saudaranya, hingga pelamar pertama meninggalkan atau mengizinkannya.” (HR Muttafaq Alaihi)._

2. Tiada hubungan mahram,
Laki-laki yang menjadi mahrom seorang perempuan haram untuk dinikahkan, begitupun menjalin ikatan lamaran terhadapnya.

3. Bukan istri orang lain.
Jelas istri sah orang lain tidak boleh dipinang, jika pun ia dicerai suaminya baik cerai mati (suaminya meninggal) maupun cerai hidup, maka wajib menunggu masa iddah selesai.

4. Tidak dalam masa iddah
Perempuan sedang tidak dalam masa iddah. Dalam Alquran Allah SWT berfirman:

“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.” (QS Al-Baqarah: 228)_

Demikian seputar khitbah yang harus kita fahami agar melakukan segala ketentuan menuju pernikahan bernilai ibadah dan mendapatkan ridho Allah Swt, karenanya harus di dasarkan ilmu agar tidak keliru berbuat dan tidak mendapatkan celaan. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata;

العَامِلُ بِلاَ عِلْمٍ كَالسَّائِرِ بِلاَ دَلِيلٍ؛ وَمَعْلُومٌ أنَّ عَطَبَ مِثْلِ هَذَا أَقْرَبُ مِنْ سَلاَمَتِهِ، وَأنَّ قُدِّرَ سلَاَمَتُهُ اِتِّفَاقًا نَادِرًا فَهُوَ غَيرُ مَحْمُودٍ، بَلْ مَذْمُومٌ عِنْدَ العُقَلاَءِ

“Orang yang beramal tanpa ilmu bagai orang yang berjalan tanpa ada penuntun. Sudah dimaklumi bahwa orang yang berjalan tanpa penuntun akan mendapatkan kesulitan dan sulit untuk selamat. Taruhlah ia bisa selamat, namun itu jarang. Menurut orang yang berakal, ia tetap saja tidak dipuji bahkan dapat celaan.” Wallahu’alam bishowab.[]

Comment