Penulus: Nurul Fadillah Margolang, S.Pd | Guru
RADARINDONESIANEWS COM, JAKARTA Sungguh menyayat hati, penderitaan pengungsi Rohingya belum berakhir Hingga kini para pengungsi Rohingya berada dalam kondisi terkatung-katung akibat pengusiran dari negeri asalnya, Myanmar.
Koordinator Kontras Aceh Azharul Husna seperti ditulis tirto.id (19/11/2023) mengatakan, imigran etnis Rohingya berdatangan di kawasan Kabupaten Pidie dan Bireuen, Aceh sejak 14 November 2023. Mereka datang melalui jalur laut menggunakan kapal. Hingga kini, total keseluruhan pengungsi Rohingya berjumlah lebih dari seribu orang yang mendarat di Pidie, Biruen, dan Sabang.
Warga setempat memberikan bantuan kepada pengungsi Rohingya dengan memperbaiki kapal mereka dan memberikan sejumlah makanan dan obat-obatan. Akan tetapi, setelah memberikan bantuan, mereka meminta para pengungsi untuk kembali ke kapalnya. Menurut pengakuan warga setempat, adanya penolakan warga kepada para pengungsi ialah disebabkan karena para pengungsi sering melarikan diri dari tempat penampungan dan tidak mengikuti aturan lokal setempat.
Penanganan pengungsi ini tak lepas dari tanggung jawab negara. Negara lah yang memiliki peran untuk membantu para pengungsi ketimbang warga setempat, karena ini merupakan persoalan lintas negara yang terkait dengan pelayanan masyarakat.
Namun, dunia seolah tutup mata dengan penderitaan pengungsi Rohingya di tengah HAM yang terus digaungkan, namun pada realitanya, dunia yang terbelenggu dalam sistem kapitalisme saat ini tak lagi memiliki rasa kemanusiaan terhadap mereka.
Di Indonesia sendiri, Juru Bicara Kementrian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal seperti ditulis tirto.id (16/22/2023) menyampaikan bahwa Indonesia tak lagi memiliki kewajiban untuk menerima pengungsi Rohingya dan memberikan solusi permanen bagi mereka. Hal itu berdasarkan pada aturan Konvensi 1951 dan Indonesia tidak ikut meratifikasi.
Persoalan penting lain yang terjadi adalah bahwa saat ini mereka tidak memiliki status kewarganegaraan atau Stateless. Hal ini disebabkan adanya pencabutan kartu identitas penduduk yang dikenal dengan Kartu Putih bagi etnis Rohingya oleh pemerintah Myanmar (BBC, 28-06-2015).
Muslim Rohingya telah dijajah oleh pemerintah Myanmar selama berpuluh-puluh tahun. Mereka mengalami genosida, baik oleh Junta Militer maupun pemerintahan pro demokrasi. Sikap kejam rezim Buddha Myanmar disebabkan oleh sentimen ashabiah mereka terhadap etnis muslim Rohingya. Juga permainan politik antara Amerika Serikat dan Cina dalam menancapkan pengaruh di kawasan tersebut.
Ketika mengalami ancaman genosida di Myanmar, muslim Rohingya lari ke Bangladesh, tetapi rezim Hasina mengabaikan mereka. Tempat pengungsian yang disediakan untuk muslim Rohingya pun amat buruk sehingga tidak layak untuk didiami. Nasionalisme telah membelenggu Bangladesh untuk menolong muslim Rohingya secara layak.(Muslimahnews, 21-11-2023).
Mereka juga memiliki resiko menjadi korban TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang). Dari penanganan terhadap pengungsi Rohingnya, teridentifikasi adanya beberapa pihak jaringan penyelundup manusia (people smuggler) yang memanfaatkan hal tersebut dengan mencari keuntungan finansial dari para pengungsi tanpa peduli resiko tinggi yang dihadapi oleh para pengungsi.
Disebabkan adanya sekat nasionalisme (nation state) yang berasal dari sistem kapitalisme mengakibatkan penderitaan yang dialami oleh pengungsi Rohingya, dengan adanya ashabiyah yang membuat para pemimpin negeri tak tergugah hatinya untuk membantu para pengungsi Rohingya. Negara dengan asas manfaatnya, hanya memandang untung rugi saat akan menampung para pengungsi Rohingya. Ketika tidak ada keuntungan materi yang didapat dari hal tersebut, maka Negara tak akan mau untuk menerima para pengungsi.
Selain melihat dari sisi kemanusiaan, sebagai seorang muslim kita melihat para pengungsi Rohingya adalah saudara se-akidah, maka sudah selayaknya kita menolong dan menghentikan penderitaan mereka. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW. mengenai persaudaraan antar sesama Muslim yaitu:
الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan kaum mukmin dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi, dan bahu-membahu, seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya sakit, seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga, dengan tidak bisa tidur dan demam.” (HR Bukhari no. 6011, Muslim no. 2586, dan Ahmad IV/270).
Bak satu tubuh yang ikut merasakan sakit ketika melihat saudaranya sakit. Oleh karenanya, setiap jeritan penderitaan seorang Muslim harus dijawab dengan pertolongan oleh muslim yang lain. Karena persaudaran antar sesama Muslim (ukhuwah islaimiyah) tak memandang perbedaan suku, etnis, bangsa.
Ukhuwah islaimiyah disatukan oleh ikatan aqidah. Maka solusi hakiki bagi muslim Rohinya hanya ada pada pemerintahan yang menerapkan aturan Islam secara keseluruhan.
Sistem pemerintahan islam akan menerima para pengungsi Rohingya dan menerima mereka untuk menjadi warga negara, serta menjamin keamanan dan perhatian bagi mereka. Pemerintshan islam akan menjadi pelindung setiap muslim di manapun berada apalagi yang mendapatkan kedzaliman.
Pemrrintshan islam menjadi perisai dan pelindung setiap muslim, bahkan akan membela dengan mengerahkan kekuatan pada negara yang melakukan kedzaliman karena darah kaum muslimin harus dijaga kemuliaannya.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Sesungguhnya al-imam itu (laksana) perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika seorang imam memerintahkan supaya takwa kepada Allah ’azza wajalla dan berlaku adil, maka dia mendapatkan pahala karenanya, dan jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad). Wallahu ‘alam Bisshowab. []
Comment