RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Lingkungan sekolah dan pondok pesantren ternyata tak menjamin anak tetap aman dari perundungan atau bullying. Banyak terjadi kasus bullying yang terjadi di sekolah dan pesantren. Seperti apa sanksi bagi pelaku bullying di sekolah?
Sebelum membahas sanksi bagi pelaku Bullying, perlu diketahui bullying merupakan tindakan yang dilakukan oleh individu baik sendiri maupun kelompok yang menyakiti secara verbal, fisik, dan psikologis yang membuat korbannya merasa tertekan.
Bullying kerap dilakukan oleh senior kepada juniornya baik di lingkungan sekolah maupun pesantren. Tentu saja, tindakan bullying adalah tindakan yang sangat dilarang, serta terdapat sanksi bagi pelaku bullying.
Dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 35 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, dijelaskan jika anak, terlebih anak di dalam lingkungan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindakan kekerasan, baik fisik, psikis, seksual, dan lain-lain yang dilakukan oleh sesama peserta didik, pendidik, maupun tenaga kependidikan, dan lain-lain.
Pasal 76C dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 mengatur tentang larangan terhadap kekerasan terhadap anak, termasuk dalam konteks bullying di sekolah, baik itu berupa kekerasan fisik maupun verbal.
Siapapun dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak. Jika aturan ini dilanggar, pelaku dapat dijerat Pasal 80 dari UU yang sama.
Konsekuensinya adalah pidana penjara maksimal 3 tahun 6 bulan dan/atau denda hingga Rp72 juta. Jika anak mengalami luka berat, pelaku bisa dihukum dengan penjara maksimal 5 tahun dan/atau denda hingga Rp100 juta.
Sedangkan jika anak meninggal dunia akibat kekerasan, pelaku dapat dihukum dengan penjara maksimal 15 tahun dan/atau denda hingga Rp3 miliar. Apabila pelaku adalah orang tua dari anak yang menjadi korban, sanksinya akan lebih berat.
Bagi pelaku di bawah umur, yang masih dianggap sebagai anak menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), pendekatan keadilan restoratif diutamakan.
Jika pelaku masih di bawah usia 14 tahun, tindakan yang dapat diterapkan termasuk pengembalian kepada orang tua/wali, perawatan di rumah sakit jiwa, atau perbaikan akibat tindakan kejahatan.
Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri, diversi diupayakan dalam kasus tindak pidana dengan ancaman pidana di bawah 7 tahun, bukan pengulangan tindak pidana.
Jenis pidana bagi anak terdiri dari berbagai bentuk, mulai dari peringatan, pembinaan di luar lembaga, hingga penjara. Jenis pidana tambahan termasuk perampasan keuntungan atau pemenuhan kewajiban adat.
Anak dapat dijatuhi pidana penjara di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) jika dianggap membahayakan masyarakat, dengan durasi tidak melebihi setengah dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.[]
Comment