Penulis: Dr H. J. Faisal | Dosen Prodi PAI UNIDA Bogor/ Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Anggota PJMI
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Dalam mentadabburi (merenungkan, memikirkan, mendalami, dan memahami) sirah Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam di bulan kelahiran beliau yang sangat mulia ini, ada dua buah kisah menarik yang dituliskan oleh Dr. Muhammad al-Arifi di dalam bukunya yang berjudul ‘Istamti bi Hayatik’ (Nikmati Hidupmu), tentang bagaimana Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam yang begitu menghargai dan menyayangi orang-orang miskin, dan memotivasi mereka yang sedang terpuruk baik dalam keadaan fisik atau keadaan ekonomi yang lemah.
Dua buah kisah yang sesungguhnya telah melahirkan pola kepemimpinan ‘transaksional’ yang sesungguhnya, yang dengan apik dilakukan oleh Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam.
Kisah yang pertama adalah tentang bagaimana Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam memberikan sebuah motivasi yang kuat kepada Abdurrahman bin Auf, ketika Abdurrahman bin Auf jatuh miskin saat berhijrah bersama Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam ke Madinah di tahun 622 Masehi, atau di tahun ke-10 penyebaran Islam di Mekah.
Dan kisah yang kedua adalah tentang bagaimana Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam begitu menghargai seorang wanita kulit hitam yang bernama Ummu Mahjan, yang selalu membersihkan masjid Nabawi dan selalu menjaga kebersihan keseluruhan masjid yang dibangun oleh Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam beserta para sahabatnya tersebut.
Baiklah, kita akan membahas kisah tentang Abdurrahman bin Auf terlebih dahulu.Kisah Pertama: Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam dan Motivasi yang Kuat Untuk Seorang Abdurrahman bin Auf
Ya, ketika di awal pertama tahun hijrahnya kaum muslimin ke Madinah, seluruh kaum muslimin atau kaum Muhajirin berada dalam keadaan yang sangat miskin. Di antara mereka, tidak ada yang membawa harta bendanya turut serta, dikarenakan mereka telah meninggalkan seluruh harta benda mereka, serta urusan perniagaan mereka di kota Mekah, dikarenakan teror fisik dan mental yang dilakukan kaum kafir Quraisy Mekah terhadap mereka pada waktu itu.
Mereka hanya membawa pakaian seadanya, bahkan yang hanya melekat di tubuh mereka saja. Pada dasarnya, mereka hanya membawa iman di hati mereka. Ya, dikarenakan mereka yang berhijrah bersama Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam ke Madinah pada waktu itu, sesungguhnya adalah para umat muslim yang telah berhak menyandang gelar umat yang beriman (mukminin), dikarenakan keimanan mereka yang telah teruji, serta kekuatan iman mereka yang sudah tidak diragukan lagi.
Karena itulah mayoritas surat di dalam Al Qur’an yang diturunkan di kota Madinah menyebut mereka dengan seruan ‘Ya ayyuhalladzina amanu…’ dikarenakan keimanan mereka yang telah teruji kesejatiannya di hadapan Allah Ta’alla dan Rasul-Nya tersebut.
Berbeda ketika awal mula kaum muslimin masih berada di kota Mekah, Allah Ta’alla lebih banyak menyeru mereka dengan seruan ‘Ya ayuhannas…’ di dalam ayat-ayat-Nya yang turun di kota Mekah, dikarenakan keimanan mereka yang masih harus mengalami ujian kesejatian, dan masih banyak kaum muslimin waktu itu yang masih ‘berada di persimpangan jalan’ antara terus mengikuti Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam dalam menempa tauhid mereka, atau kembali mengikuti ajaran nenek moyang mereka dengan menyembah berhala dan kembali bergabung dengan kaum musyrikin lainnya di kota Mekah dan sekitarnya.
Abdurrahman bin Auf adalah salahsatu sahabat Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam yang ikut hijrah bersama Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam yang juga dalam keadaan sangat miskin pada waktu itu. Beliau meninggalkan seluruh perniagaannya dan semua urusan bisnisnya di kota Mekah. Beliau berhijrah ke kota Madinah dalam keadaan yang miskin papa. Tetapi tentu saja, itu tidak melemahkan semangat beliau dalam berhijrah.
Sesampainya beliau di kota Madinah bersama Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam, beliau pun akhirnya disambut oleh kaum Anshar Madinah. Beliau pun bertemu dengan mitra dagangnya di waktu dulu, yang tinggal di Madinah, yang bernama Sa’d ibn al-Rabi’, yang pada akhirnya, Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam pun mempersaudarakan keduanya.
Dilandasi dengan ukhuwah keimanan yang tulus, akhirnya keduanya pun menjadi sangat dekat. Bahkan Sa’d ibn al-Rabi’menawarkan sebagian harta yang dimilikinya untuk diberikan kepada Abdurrahman bin Auf untuk digunakan sebagai awal modal usahanya. Diketahui pada waktu itu memang Sa’d ibn al-Rabi’ adalah seorang pengusaha yang paling kaya di kota Madinah.
Sa’d ibn al-Rabi’ pun menawarkan Abdurrahman bin Auf untuk mencarikannya seorang istri dari kaum Anshar.
Mendapatkan penawaran yang sangat menggiurkan tersebut, tidak lantas membuat seorang Abdurrahman bin Auf menjadi berada ‘di atas angin’ dan merasa ‘aji mumpung.’ Beliau hanya meminta untuk ditunjukkan jalan ke pasar oleh Sa’d ibn al-Rabi’, agar beliau dapat berusaha secara mandiri.
Dan akhirnya Sa’d ibn al-Rabi’ pun menunjukkan jalan menuju pasar. Dan untuk urusan istri, Abdurrahman bin Auf akan menerima tawaran sahabatnya tersebut jika usahanya sudah menjadi lebih baik.
Abdurrahman bin Auf pun membeli beberapa barang di pasar Madinah secara mencicil, dan kemudian beliau jual kembali barang-barang tersebut secara tunai kepada orang lain di luar pasar. Dengan demikian, beliau mendapatkan keuntungan yang cepat, sekaligus juga mendapatkan kepercayaan dari sesama kolega bisnisnya, dikarenakan kejujuran dan kecerdasannya dalam mengelola perdagannya.
Dan setelah beberapa bulan berusaha, seperti biasa, akhirnya Abdurrahman bin Auf pun mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Beliau pun akhirnya menikah dengan seorang wanita Anshar. Pernikahannya tersebut pun beliau sampaikan langsung kepada Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam.
Melihat pancaran kebahagiaan yang ada pada diri Abdurrahman bin Auf, Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam pun tersenyum dan menggoda Abdurrahman bin Auf. Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam bertanya kepada Abdurrahman bin Auf yang pada waktu itu sangat wangi dengan wanginya parfum Za’faran, yaitu jenis parfum yang umumnya digunakan oleh wanita. Pastinya, karena Abdurrahman bin Auf adalah seorang pengantin baru pada waktu itu.
“Apa kabar? Bagaimana keadaanmu?” tanya Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam dengan penuh senyum.
“Aku baik ya, Rasulullah. Aku ingin mengabarkan kepadamu bahwasannya aku telah menikah dengan seorang Wanita Anshar…” jawab Abdurrahman bin Auf.
“Benarkah…bukankah kita belum lama berhijrah, bagaimana mungkin engkau sudah menikah, ya Abdurrahman?” goda Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam.
“Apakah engkau tidak percaya bahwa aku telah mampu, ya Rasulullah? timpal Abdurrahman bin Auf dengan tersipu.
Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam pun akhirnya tersenyum lebar melihat Abdurrahman bin Auf menjadi salah tingkah seperti itu.
Akhirnya, untuk menyempurnakan kebahagiaan Abdurrahman bin Auf, Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam memerintahkan Abdurrahman bin Auf untuk membuat sebuah walimah meskipun hanya dengan seekor domba. Abdurrahman bin Auf pun menyanggupinya dengan sangat bahagia. Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam pun mendoakan keberkahan dalam harta dan perniagaan Abduraahman bin Auf.
Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam sangat mengagumi sahabatnya yang satu ini, dikarenakan meskipun dalam keadaan miskin atau kaya, Abdurrahman bin Auf tetap menjaga keimanannya dengan sungguh-sungguh, dan tidak pernah berpaling dari Allah Ta’alla dan Rasul-Nya. Dan Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam selalu memberikan motovasi dan sugesti kepada Abdurrahman bin Auf dalam menjalankan perniagaannya agar tetap berada dalam koridor keberkahan Allah Ta’alla.
Suatu saat, Abdurrahman bin Auf pernah berkata kepada Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam, “Karena keyakinanku terhadap Allah dan Rasul-Nya, kalaulah engkau melihat aku mengangkat batu, sebenarnya aku berharap bahwa aku akan merubah batu tersebut menjadi emas atau perak…”
Itulah hasil kuatnya motivasi seorang pemimpin seperti Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam terhadap sosok seperti Abdurrahman bin Auf, seorang sahabat yang cerdas dalam berkegiatan ekonomi, baik dalam keadaan susah maupun senang.
Kisah Kedua: Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam dan Seorang Wanita Pembersih Masjid Nabawi Miskin
Ada seorang wanita berkulit hitam, yang bernama Ummu Mahjan, seorang budak yang telah dibebaskan oleh tuannya. Kini dia menjadi seorang pembersih di masjid Nabawi, masjid yang dibangun oleh Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam beserta para sahabatnya.
Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam sangat kagum dengan ketekunan Ummu Mahjan dalam menjaga kebersihan masjidnya.
Suatu waktu, Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam pun tidak melihat Ummu Mahjan kembali. Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam pun bertanya kepada para sahabat kemana perginya Ummu Mahjan, wanita pembersih masjid tersebut. Para sahabat pun mengatakan bahwa Ummu Mahjan tersebut telah meninggal dunia.
Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam pun bertanya kepada para sahabatnya, mengapa beliau tidak diberitahu. “Ummu Mahjan meninggal di malam hari ya Rasulullah, dan kami tidak berani membangunkan engkau, takut engkau nantinya akan terganggu….”kata salah seorang sahabat.
Bagi para sahabat, mungkin pekerjaan Ummu Mahjan tidaklah terlalu penting, tetapi bagi Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam, pekerjaan yang menurut manusia biasa mungkin tidak ada nilainya, tetapi di hadapan Allah Ta’alla dan Rasul-Nya pekerjaan tersebut sangatlah mulia, termasuk apa yang telah dikerjakan Ummu Mahjan, wanita yang selalu membersihkan masjid tersebut.
Akhirnya, setelah mendengar penjelasan sahabatnya tersebut, Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam pun meminta untuk ditunjukkan dimana kubur wanita tersebut. Sesampainya di depan kubur Ummu Mahjan, Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam pun sholat dan berdoa dengan sangat khusyuk dengan raut muka kesedihan yang tidak dapat disembunyikan oleh beliau.
Tadabbur Sirah Rasulullah Salallahu’alaihi Wassalam
Dari kedua kisah tersebut, Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam adalah seorang pemimpin yang selalu memberikan motivasi dan sugesti positif kepada orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang berada dalam posisi yang lemah. Beliau adalah manusia pilihan yang selalu dapat menguasai perasan dan emosi orang lain. Beliau juga selalu menunggu kesempatan untuk dapat mengambil simpati dan empati orang lain. Beliau selalu dapat membuat orang yang miskin dan lemah menjadi merasa berharga. Beliau membuat mereka merasa selalu diperhatikan dan disayang oleh Allah Ta’alla dan rasul-Nya.
Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam selalu menganggap penting pekerjaan mereka, dan mereka pun akhirnya selalu merasa penting di mata Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam. Tidak ada rasa minder atau kecil hati terhadap yang telah mereka lakukan, meskipun andilnya sangat kecil, karena itulah batas kemampuan mereka.
Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam juga tidak pernah ‘memanfaatkan’ kemiskinan mereka untuk dijadikan alat oleh beliau, dalam menambah simpati mereka kepada beliau, dengan memberikan mereka segala macam jenis bantuan sosial secara cuma-cuma, misalnya.
Dan itulah sebuah tipe kepemimpinan ‘transaksional’ yang sebenarnya. Sebuah hubungan timbal balik dan saling menguntungkan yang dilandasi rasa ketulusan, dan bukan dilandasi oleh kepentingan-kepentingan yang ‘berekor’ dan terselubung.
Jika Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam telah kehilangan mereka, Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam pun selalu menceritakan tentang kebaikan mereka dan apa yang telah mereka lakukan, meskipun andilnya sangat kecil. Dengan demikian, maka para sahabat lainnya pun akan merasa tidak sungkan untuk melakukan kebaikan sekecil apapun, karena pastinya akan dihargai dan diganjar pahala oleh Allah Ta’alla dan Rasul-Nya.
Sungguh sebuah model penghargaan yang tidak ternilai dari seorang pemimpin yang sejati, bukan?
Selamat merenungkan, memikirkan, mendalami, dan memahami, serta mengaplikasikan sirah Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam di bulan kelahiran beliau yang sangat mulia ini, dalam kehidupan kita selamanya, karena inilah solusi atau cara yang paling logis dan rasional dalam mencari jalan penyelesaian dari berbagai macam permasalahan pribadi, keluarga, bangsa dan negara, yang justru sebenarnya tercipta karena kebodohan kita sendiri dan juga karena ‘buta huruf’ kita terhadap panutan kita yang sebenarnya, yaitu Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam.
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ
Wallahu ’allam bisshowab.[]
Comment