Penulis: Cut Intan Sari | Pegiat Literasi
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — “Di antara tanda sebuah negara akan bangkrut – menuju sebuah kehancuran adalah semakin besar dan beraneka ragamnya pajak yang dipungut dari rakyatnya”(Muqaddimah, Ibnu Khaldun).
Di tengah kondisi perekonomian rakyat yang semakin sulit, pemerintah memaksakan kenaikan pajak dengan alasan menaikkan pendapatan negara. Rakyat seakan tidak diberikan ruang untuk bernafas dengan lega.
Dilansir dari CNBC Indonesia, 04/01/25, Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati, membeberkan alokasi pajak yang dipungut dari masyarakat diperuntukkan sebanyak 20% dipakai untuk sektor pendidikan dalam negeri. Anggaran pendidikan di sepanjang 2024 mencapai sebesar 519,8 trilliun, yang mayoritas digunakan untuk pendanaan daerah. Penyataan dari Menteri Keuangan ini dapat dimaknai bahwa mau tidak mau dan rela tidak rela, rakyat wajib membayar pajak.
Ada berbagai macam kenaikan pungutan pajak yang berlaku – tidak hanya untuk barang mewah saja, tetapi berlaku juga untuk sejumlah barang dan jasa yang sehari harinya sering diakses oleh masyarakat seperti membangun dan merenovasi rumah, pembelian kendaraan bekas, jasa asuransi, pengiriman paket, dan lain lain sebagainya (kompas, 3/1/25).
Tahun baru, pajak baru, dan pemimpin baru, tetapi kebijakan tidak berubah bagi rakyat. Pemerintah benar benar merealisasikan kenaikan pajak 12%. Semakin sempurnalah penderitaan yang dialami rakyat saat ini. Dampak kenaikan pajak bisa memunculkan efek domino pada masyarakat, khususnya menengah ke bawah. Hal itu akan memicu kelesuan aktivitas bisnis dan daya beli masyarakat.
Penguasa tidak peduli dengan penolakan rakyat atas kebijakan kenaikan PPN (Pajak Penambahan Nilai) ini meskipun penolakan berdatangan dari berbagai elemen masyarakat baik berupa aksi di jalan, penandatangan petisi, serta sosial media. Suara rakyat tidak menjadi pertimbangan bagi penguasa. Rakyat dipaksa untuk ‘legowo’ menerima kebijakan ini, dengan alasan untuk mendukung pendidikan, kesehatan, infrastruktur yang termasuk di dalamnya fasilitas umum.
Penolakan masyarakat terhadap kenaikan pajak, bukanlah tanpa disertai pengkajian dan fakta yang terjadi di lapangan. Setiap kenaikan pajak, dipastikan berimbas terhadap pengeluaran rakyat yang semakin meningkat. Hal ini akan memicu inflasi yang tinggi dan memperburuk kondisi ekonomi kelompok miskin hingga menengah. Beban hidup masyarakat akan semakin bertambah dengan adanya kebijakan ini.
Penguasa yang pada hakikatnya sebagai pengurus rakyat tetapi tidak mampu menjalankan amanahnya dengan baik. Negara abai untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya. Negara hanya menjadi regulator dan fasilitator bagi rakyat bukan sebagai pengurus. Rakyat dipandang hanya sebagai sasaran berbagai pungutan yang bersifat wajib, sebagai konsekuensi bagi warga negara.
Ironisnya, regulasi yang dikeluarkan penguasa justru lebih berpihak kepada kepentingan para pemilik modal, termasuk juga di dalamnya persoalan pajak. Dana pajak digunakan untuk pembangunan proyek Prestisius yang tidak dapat dimanfaatkan oleh rakyat secara gratis. Hal ini akan menguntungkan para kapitalis/pemilik modal.
Kenaikkan pajak hanya pada barang mewah seperti yang digadang gadang pemerintah, tetapi di sisi lain, pemerintah memberikan amnesti baik itu pengurangan ataupun pengampunan pajak pada para pengusaha. Pemerintah berdalih untuk menarik investasi asing dan para pengusaha yang bermodal besar dengan asumsi para investor akan membuka lapangan pekerjaan yang bermanfaat untuk rakyat.
Tetapi fakta yang terjadi di lapangan bukanlah demikian. Kebijakan pajak yang terjadi dalam sistem ini hanya mengabaikan rakyat biasa. Pungutan pajak jelas menyengsarakan dan menambah kesengaaraan rakyat.
Akar permasalahan sesungguhnya disebabkan watak penguasa dalam penerapan sistem demokrasi liberal di mana penguasa tidak menjalankan amanah pemerintahan sebagai pengayom dan pengurus rakyat. Siapa pun figur yang terpilih, ketika mereka berkuasa tetap dan harus menerapkan sistem ekonomi kapitalisme yang tidak berpihak kepada rakyat.
Kapitalisme menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan negara. Prinsip dalam sistem ini tidak bisa dilepas begitu saja karena penguasa menganggap pajak adalah suatu keniscayaan, dengan berbagai jenis pungutan pajak serta kenaikan pajak yang dibebankan kepada rakyat.
Ketika pajak menjadi sumber pemasukkan negara, ini bisa dikatakan bahwa rakyat pada hakikatnya mengurusi kehidupannya sendiri tanpa pengayom.
Mengutip salah satu filsafat sejarah Islam, sebagai Bapak sosiologi dan ekonomi Islam dalam buku ‘Muqaddimah’, “ketika pajak dinaikkan terlalu tinggi, pendapatan masyarakat menurun, semangat bekerja hilang, dan produktivitas ekonomi melemah. Pada akhirnya hal tersebut merusak fondasi ekonomi negara”.
Sebuah hadist menyebutkan “Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak akan diadzab di neraka”(HR Ahmad, Abu Dawud).
Bagaimana sosok kepemimpinan dalam Islam? Dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya, seorang pemimpin dalam Islam memiliki sumber pemasukan negara yang cukup. Syech Abdul Qadim Zallum dalam bukunya “Sistem Keuangan Negara Khilafah” Pemasukan negara berasal dari fai, kharaj, ghonimah, usyur, jizyah, dan zakat.
Pemimpin dalam Islam, seperti yang terdapat dalam kitab “Syakhsiyah” Al Islam juz 2 halaman 161, karya Syech Taqiyuddin an Nabhani mengatakan bahwa Islam telah memerintahkan agar penguasa memerintah rakyatnya dengan Islam, serta wajib memberi perhatian, memberi nasehat dan memperingatkan rakyat agar tidak menyentuh harta kekayaaan milik umum.
Maknanya adalah negara wajib mengelola harta milik umum, yaitu sumber daya alam yang pengelolaannya tidak boleh diserahkan kepada pihak swasta maupun individu. Hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat – seperti membangun fasilitas umum, pendidikan, dan layanan kesehatan serta keamanan yang memudahkan hidup rakyat.
Pemasukan dan pengeluaran negara ditetapkan sesuai syariat Islam yang tidak berbasis pajak dan utang. Dalam penerapan sistem ekonomi Islam pajak tidak menjadi pemasukan utama negara. Tidak ada wajib pajak bagi kaum muslimin.
Apabila negara dalam sistem Islam mengalami kekurangan atau kekosongan kas baitul mal, maka negara membebankan dhoribah/pajak kepada kaum Muslim yang kaya saja. Bila persoalan keuangan sudah dapat diatasi maka dhoribah pun dihentikan. Sumber lahirnya kebijakan dalam Islam, hanya syariat Islam. Kebijakan yang diambil penguasa akan jauh dari kezholiman yang bisa menyengsarakan rakyat.
Hanya Islam yang mampu memberikan kesejahteraan secara merata kepada rakyat baik islam maupun di luar islam. Wallahu a’lam bisshawab.[]
Comment