Kenaikan Tarif TDL Hanya Menambah Beban Rakyat

Berita407 Views

 

 

Oleh: Suriani, S.Pd.I, Pemerhati Kebijakan Publik

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Pribahasa ini sangat tepat untuk menggambarkan kondisi rakyat Indonesia yang terus dihadapkan pada persoalan hidup.

Seperti diketahui bersama memasuki tahun 2022, kenaikan harga beberapa bahan pokok sudah sangat meresahkan masyarakat. Tahun 2022 ini rakyat harus kembali mengelus dada dan mengencangkan ikat pinggang alias melakukan pengiritan.

Bagaimana tidak, di tahun 2022 ini, pemerintah berencana akan menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) PLN. Sejak tahun 2021 pemerintah sudah mengkaji rencana kenaikan tarif listrik golongan tertentu di tahun 2022.

Pemerintah bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR RI berencana menerapkan kembali tarif adjustment (tarif penyesuaian) di tahun mendatang. Hal tersebut juga dibenarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Rida Mulyana seperti dikutip AntaraNews.com, (01/12/2021) mengatakan, pemerintah sudah menahan tarif listrik untuk pelanggan non subsidi selama empat tahun belakangan. Ia berdalih daya beli masyarakat sedang rendah. Konsekuensinya, pemerintah harus memberi kompensasi kepada PLN yang sudah menjual listrik dengan harga lebih murah dari biaya produksi.

Sebagaimana dilansir tribunenews.com, (10/12/2021), sebanyak 13 golongan masyarakat pelanggan listrik non-subsidi perlu bersiap dengan kenaikan tarif tersebut. Mereka adalah: (1) Pelanggan rumah tangga dengan daya 1.300 VA, (2) Pelanggan rumah tangga dengan daya 2.200 VA, (3) Pelanggan rumah tangga dengan daya 3.500-5.500 VA, (4) Pelanggan rumah tangga dengan daya 6.600 VA, (5) Pelanggan bisnis dengan daya 6.600-200 kVA, (6) Pelanggan pemerintah dengan daya 6.600-200 kVA, (7) Penerangan jalan umum, (8) Pelanggan rumah tangga dengan daya 900 VA Rumah Tangga Mampu (RTM), (9) Pelanggan-pelanggan bisnis daya >200 kVA, (10) Pelanggan industri >200 kVA, (11) Pelanggan pemerintah dengan daya >200 kVA, (12) Layanan khusus, dengan tarif Rp 1.644,52 per kWh dan (13) Industri daya >30.000 kVA.

Menanggapi hal tersebut, pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyanto sebagaimana dikutip tribunbisnis.com, (03/12/2021) mengatakan, rencana mengenai tarif adjustment tersebut memang sudah lama didengungkan. Adjustent atau penyesuaian tarif ini biasanya dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu kurs dollar, inflasi dan juga harga minyak dunia.

Ia juga mengatakan bahwa penyesuain tarif menjadi hal yang wajar dan dapat diterima ketika dibarengi dengan layanan yang ditingkatkan oleh penyedia layanan, dalam hal ini adalah Perusahaan Listrik Negara.

TDL Naik, Rakyat Makin Sulit

Di bawah kapitalisme-sekular yang diterapkan negeri ini, rakyat tidak bisa mendapatkan layanan listrik secara murah bahkan gratis. Tarif listrik dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan. Masyarakat harus mengeluarkan sejumlah bayaran demi mendapatkan layanan tersebut dengan nominal yang kian meningkat. Meski pemerintah telah menerapkan listrik bersubsidi namun tiap tahunnya jumlah subsidi tersebut berkurang.

Rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL) di tahun 2022 ini muncul seiring wacana adanya upaya pemerintah yang akan memangkas subsidi listrik atas PLN sekitar 8,13%.

Dengan pemangkasan subsidi sebagai mana dikutip bisnis.com ( 05/13/2021) tersebut, pemerintah akan membayar PLN untuk menutup selisih tarif dari Rp 61,53 triliun menjadi Rp 56,5 triliun pada 2022. Dampaknya, biaya pokok penyediaan (BPP) listrik yang ditanggung PLN menjadi lebih besar.

Keputusan pemerintah tersebut mengakibatkan PLN harus menaikkan tarif listrik demi menutupi besarnya biaya dan rakyat yang terkena imbasnya. Kenaikan tarif listrik akan semakin menyulitkan kehidupan masyarakat. Beban hidup masyarakat semakin bertambah. Pasalnya, jika tarif listrik naik, maka biaya operasional pun ikut naik. Ujung-ujungnya berdampak juga pada kenaikan harga bahan-bahan pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat.

Kenaikan TDL yang terus menerus melonjak tidak bisa dipisahkan dari liberalisasi kelistrikan yang sudah dimulai sejak Undang-undang Ketenagalistrikan No. 20 Tahun 2002 disahkan. Isi dari UU tersebut salah satunya mengatur tentang unbundling vertical yang memisahkan proses bisnis PLN menjadi beberapa usaha, yaitu pembangkit tenaga listrik, tenaga listrik, transmisi listrik, distribusi listrik dan penjualan tenaga listrik.

Unbundling vertical tersebutlah yang menjadi jalan terjadinya liberalisasi listrik. Sebab UU tersebut menjadi pintu bagi masuknya perusahaan swasta terlibat dalam pengelolaan listrik. Sementara PT PLN sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang seharusnya bertanggung jawab atas penyediaan listrik di Indonesia faktanya hanyalah sebagai regulator saja.

Pemerintah tak ubahnya menjadi pedagang yang menjual listrik kepada rakyatnya sendiri, bahkan dengan harga yang tinggi. Padahal seharusnya pemerintahlah yang menyediakan dan memenuhi segala kebutuhan rakyatnya, termasuk kebutuhan listrik.

Bagaimanapun model UU atau kebijakan pengelolaan energi listrik dibuat oleh pemerintah tetap saja akan memberi beban kepada rakyat sebab mereka tidak bisa mendapatkannya dengan mudah. Hal ini disebabkan karena pengaturan dalam pengelolaan listrik tersebut menggunakan paradigma yang salah dari hulu hingga ke hilir.

Kapitalisme sebagai ideologi negara ini, termasuk dalam pengaturan kebutuhan-kebutuhan publik didasarkan pada capaian keuntungan materi semata. Arahan ideologi kapitalisme dalam hal memberikan pelayanan bagi rakyat menggunakan keuntungan sebagai barometernya, bukan pada prinsip menyejahterakan rakyat.

Pengaturan Kelistrikan Dalam Perspektif Islam

Kebijakan tersebut di atas tentu saja akan memperpanjang deretan beban bagi rakyat. Jika benar kebijakan itu direalisasikan, kesulitan hidup rakyat sudah menanti di depan mata.

Rakyat Indonesia dengan jumlah kaum muslimin terbesar di dunia penting untuk mengetahui bahwa Islam sebagai agama yang sempurna diturunkan oleh Allah Swt tidak hanya mengatur perkara ibadah ritual semata, tetapi mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk mengatur mekanisme kelistrikan.

Dalam pandangan Islam, listrik adalah milik umum dan juga menjadi kebutuhan rakyat. Hal tersebut tercakup dalam dua aspek yakni: Pertama, listrik sebagai bahan bakar yang masuk kategori api yang merupakan milik umum atau rakyat. Rasulullah Saw bersabda:

“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal; air, padang rumput dan api.”(HR. Ahmad)

Tercakup di dalamnya segala sarana dan prasarana penyediaan listrik seperti tiang listrik, gardu, mesin pembangkit listrik dan lain sebagainya. Kedua, sumber energi yang digunakan sebagai pembangkit listrik baik yang digunakan oleh PT PLN ataupun oleh swasta.

Sebagian besar berasal dari barang tambang yang depositnya besar seperti migas dan batu bara yang juga merupakan milik umum atau rakyat.

Rasulullah Saw pernah menyerahkan sebuah tambang garam kepada Abyadh bin Hammal. Mengetahui hal itu seorang sahabat Nabi Saw berkata, “Tahukah Anda, bahwa apa yang Anda berikan itu tidak lain laksana air yang terus mengalir.” Mendengar hal itu, Rasulullah Saw lantas menarik tambang garam itu dari Abyadh bin Hammal. (HR. Abu Dawud)

Hadits di atas bermakna bahwa tambang garam yang memiliki kandungan laksana air yang mengalir tidak boleh diserahkan untuk dimiliki oleh individu. Karenanya, dalam Islam setiap kepemilikan umum termasuk migas dan batu bara haram dikelola untuk dikomersialkan baik oleh individu, perusahaan milik negara ataupun swasta. Termasuk haram mengkomersialkan hasil olahannya seperti listrik.

Dengan demikian Islam melarang menyerahkan pengelolaan listrik kepada swasta apapun alasannya. Negara sebagai pelayan rakyat yang harus mengelola dan hasilnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat.

Termasuk negara wajib menjamin baik dari sisi kualitas maupun kuantitas kebutuhan rakyat akan listrik terpenuhi secara maksimal dengan harga yang sangat murah bahkan gratis. Seluruh rakyat  baik muslim maupun non muslim, di kota ataupun di pedalaman, semua berhak mendapatkannya.

Dalam pandangan Islam negara bukanlah regulator, melainkan eksekutor yakni institusi yang tegak dalam rangka melayani rakyat dan menyiapkan seluruh sarana dan prasarana dalam menyediakan kebutuhan rakyat. Bukan seperti dalam pandangan kapitalisme-sekular di mana seakan pemerintah menjadi pedagang dan rakyat menjadi pembeli, mereka mengurusi rakyat dengan prinsip untung rugi.

Dalam Islam, memperoleh listrik dengan harga murah bahkan gratis bukanlah utopia. Olehnya itu, mempertimbangkan aturan Islam sebagai solusi atasi harga TDL yang terus mencekik sangat layak dilakukan oleh kaum muslimin termasuk pemerintah.[]

Comment