Kenaikan Harga Minyak dan Gula, Pantaskah?

Opini141 Views

 

 

Penulis: Irohima | Pegiat Literasi

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Minyak dan gula merupakan bagian dari bahan pokok kebutuhan masyarakat yang sangat penting. Dalam kehidupan sehari-hari, minyak dan gula digunakan masyarakat untuk memasak. Kebiasaan masyarakat ini seolah-olah menjadi sebuah keharusan dan menjadi salah satu bahan pokok yang wajib dibeli. Namun apa jadinya jika kebutuhan yang wajib diadakan menjadi sulit untuk didapatkan karena harga minyak dan gula kerap mengalami kenaikan?

Di tengah perekonomian yang semakin sulit, maraknya PHK, daya beli masyarakat yang menurun, dan naiknya biaya pendidikan, masyarakat kembali dikejutkan dengan fakta bahwa untuk ke sekian kalinya harga minyak dan gula kembali mengalami kenaikan.
Badan Pangan Nasional memperpanjang relaksasi Harga Acuan Pemerintah atau HAP pembelian gula konsumsi yang naik dari Rp 15.500/kg menjadi Rp 17.500/kg hingga waktu yang tidak ditentukan. Kebijakan menaikkan HAP gula diambil karena untuk menjaga keamanan stok gula dan juga dikarenakan perkembangan nilai tukar rupiah yang makin melemah (tirto, 30/06/2024).

Sementara itu, relaksasi Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng rakyat atau Minyakita disarankan pihak Kementerian Perdagangan naik menjadi Rp 15.700 dari harga sebelumnya Rp 14.000. Usulan ini muncul karena menurut Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, relaksasi HET Minyakita perlu dilakukan mengingat HET Rp 14.000 sudah tidak sesuai dengan harga biaya pokok produksi yang terus berubah (ANTARA, 28/06/2024).

Minyak dan gula adalah bagian dari sembako yang telah melekat dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Namun sayang, negara membuat rakyat makin sulit mengakses bahan pokok tersebut, apalagi di tengah perekonomian yang carut marut seperti saat ini.

HET adalah batas atas harga barang yang diperbolehkan untuk dijual secara eceran kepada masyarakat sebagai konsumen terakhir. Aturan HET berbeda-beda, tergantung jenis barang yang dijual. Yang berhak menentukan HET adalah pemerintah melalui kementerian-kementerian yang sesuai dengan bidangnya. Meski peraturan pemerintah merupakan dasar acuan dalam menetapkan HET, namun untuk situasi yang sifatnya kondisional, presiden bisa melakukan intervensi langsung melalui Peraturan Presiden.

Tujuan diterapkannya HET adalah untuk melindungi masyarakat sebagai konsumen terakhir dan memastikan seluruh lapisan masyarakat mampu membeli barang yang dianggap penting untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.

Keberadaan HET dan HAP sebagai bentuk perlindungan kepada masyarakat, rupanya tak berjalan efektif dan dirasakan sia-sia karena adanya kebijakan relaksasi harga yang terus menerus dilakukan. Harga acuan menjadi tidak berarti karena nyatanya harga di pasaran kerap berubah dan naik sesuai selera. Sebagai konsumen terakhir, rakyat sama sekali tidak mendapat perlindungan, malah justru menjadi korban kebijakan yang tak mendatangkan kemaslahatan. Rakyat semakin sulit memenuhi kebutuhan ditambah dengan negara yang tidak berperan dalam periayahan (pengurusan) saat harga kebutuhan pokok menukik tajam.

Kebijakan HAP dan HET sejatinya tak mendatangkan keuntungan buat rakyat, pihak yang mendapat angin segar dari adanya regulasi ini justru adalah para kapitalis oligarki yang menguasai distribusi barang kebutuhan pokok di level nasional. Selain mendapat keuntungan, mereka juga menjadi pengendali harga di pasaran, hingga tak heran, harga di pasaran kerap naik dan sulit untuk kembali turun. Karena para kapitalis tentu tak akan mau merugi. Mereka akan terus berupaya meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan menaikkan harga sesuka hatinya tanpa peduli kesulitan yang rakyat alami.

Di sisi lain, negara tidak bisa berbuat banyak, karena dalam kapitalisme, peran negara sebagai pengurus urusan rakyat tak dilakukan dengan optimal, negara hanya berperan sebagai pembuat regulasi, itu pun regulasi yang hanya berorientasi pada kepentingan para kapitalis oligarki. Inilah salah satu dampak buruk dari sistem kapitalisme, di mana distribusi bahan pangan bisa dikendalikan oleh sang “Pemilik Uang”.

Berbanding terbalik dengan kapitalisme. Islam menjadikan negara sebagai pengurus dan penanggung jawab seluruh urusan rakyat tanpa terkecuali. Para oligarki kapitalis tak akan pernah diberi ruang dan peluang. Negara dalam Islam akan menjamin pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat secara individu per individu. Negara juga akan memberikan akses yang mudah bagi rakyat dalam memperoleh barang-barang kebutuhan pokok.

Negara menerapkan mekanisme dalam pemenuhan kebutuhan pokok rakyat dengan menjamin ketersediaan barang yang cukup juga distribusi yang adil dan merata, negara juga akan memberantas praktik kecurangan dalam pasar seperti monopoli, oligopoli, dan penimbunan barang.

Dengan langkah demikian, kelangkaan barang yang sering terjadi saat ini bisa diatasi, dan kenaikan harga barang tidak akan menjadi tradisi. Negara melakukan pengawasan ketat terhadap operasional mulai dari produksi hingga distribusi juga melakukan edukasi terkait fikih muamalah, agar masyarakat memiliki kesadaran dan pemahaman yang benar sesuai tuntunan agama.

Dalam upaya menjamin tersedianya pangan yang cukup, negara melakukan revitalisasi lahan tidur dan modernisasi pertanian. Negara dalam konsep Islam juga memberi modal, pelatihan keterampilan, dan alat-alat pertanian bagi rakyat yang tidak mampu. Bagi rakyat yang lemah seperti lansia, anak yatim dan lain sebagainya, negara memberi bantuan secara rutin dan berkelanjutan.

Dengan mekanisme seperti yang dijalankan Islam, kesejahteraan yang selama ini hanya sekedar impian akan sangat mungkin menjadi kenyataan. Maka dari itu, tak ada alasan lagi untuk mendebat Islam sebagai satu-satunya solusi bagi seluruh persoalan kehidupan. Wallahu a’lam bishawab.[]

Comment