Kemiskinan Melanda Islam Solusinya

Opini599 Views

 

Oleh : Diana Nofalia, Entrepreuneur

_________

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Bank Dunia merekomendasikan kepada pemerintah Indonesia agar mengubah acuan tingkat garis kemiskinan yang diukur melalui paritas daya beli atau purchasing power parity.

Menurut mereka, seharusnya garis kemiskinan di Indonesia diukur dengan paritas daya beli melalui besaran pendapatan sebesar US$ 3,20 per hari, bukan dengan ukuran yang pemerintah gunakan sejak 2011 sebesar US$ 1,9 per hari.

Merespon hal itu, Sri Mulyani mengatakan, ukuran garis kemiskinan yang disarankan Bank Dunia itu belum bisa menggambarkan kondisi perekonomian masyarakat Indonesia. Selain itu, jika ukuran garis kemiskinan di naikkan malah menyebabkan 40% masyarakat tergolong orang miskin.

“Ibu Satu Kahkonen (Country Director World Bank Indonesia) katakan di speechnya ketika anda dapat menurunkan kemiskinan ekstrem menjadi nol tapi garis kemiskinan anda adalah US$ 1,9, anda harus gunakan US$ 3. Seketika 40% kita semua menjadi miskin,” kata Sri Mulyani dalam acara World Bank’s Indonesia Poverty Assessment di The Energy Building, SCBD, Jakarta, Selasa (9/5/2023) seperti ditulis CNBC Indonesia.com.

Bank Dunia merekomendasikan acuan garis kemiskinan di Indonesia disesuaikan dengan global, yaitu sebesar US$ 3,2 PPP per hari. Akibatnya penduduk Indonesia yang miskin naik menjadi 40 %. Tentunya timbul sebuah pertanyaan sudah benarkah acuan yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia selama ini? Apakah demi data yang memuaskan, acuan yang digunakan tidaklah relevan.

Jika demikian, negara sejatinya zalim ketika menetapkan standar kemiskinan dengan sangat rendah. Hal itu menunjukkan bahwa negara abai terhadap kondisi rakyatnya, bahkan seolah bukti bahwa kesejahteraan rakyat bukan hal utama yang diperhatikan oleh negara.

Islam menjadikan penguasa untuk mengurus rakyat dan menjamin kesejahteraan orang per orang sehingga dapat hidup layak dan tercukupi semua kebutuhan dasarnya. Islam memilki mekanisme untuk menjamin kesejahteraan rakyat dan menjuhkannya dari kemiskinan.

Untuk mencapai kesejahteraan seluruh rakyat, sistem ekonomi Islam sangat memperhatikan sistem distribusi kekayaan. Dalam pandangan sistem ekonomi Islam, buruknya distribusi kekayaan di tengah masyarakat itulah yang membuat timbulnya kemiskinan dan ketimpangan ekonomi.

Dalam ekonomi Islam, distribusi kekayaan terwujud melalui mekanisme syariah, yaitu mekanisme yang terdiri dari sekumpulan ketentuan syariah yang menjamin pemenuhan barang dan jasa bagi setiap individu rakyat. Mekanisme syariah ini terdiri dari mekanisme ekonomi (aktivitas yang bersifat produktif) dan mekanisme non ekonomi (aktivitas non- produktif, misalnya dengan jalan pemberian zakat, hibah, sedekah, dan lain-lainnya).

Distribusi non-ekonomi mencakup pula sejumlah larangan, antara lain tindak korupsi, pemberian suap dan hadiah kepada para penguasa; yang ujung-ujungnya menyebabkan penumpukan harta hanya di tangan orang kaya dan pejabat saja.

Islam menjamin kesejahteraan merata secara adil sehingga bisa dinikmati oleh setiap individu rakyat. Dalam hal ini negara berperan besar dalam distribusi kekayaan agar berjalan baik dan rakyat terpenuhi kebutuhan pokok, baik kebutuhan dasar individu (sandang, pangan dan papan), maupun kebutuhan dasar masyarakat (keamanan, kesehatan dan pendidikan). Pemenuhan kebutuhan pokok individu dengan cara memastikan penerapan hukum nafkah (ahkam an-nafaqat).

Jika hukum ini sudah diterapkan dan individu tetap tidak mampu, barulah negara berperan langsung untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Adapun terkait kebutuhan dasar masyarakat, negara berperan secara langsung dengan menyediakan ya secara cuma-cuma.

Keberhasilan sistem Islam dalam kaitan mensejahterakan masyarakat bukanlah tanpa bukti. Fakta sejarah membentang selama lebih 1400 tahun bukti nyata kemampuan Islam untuk mensejahterakan rakyatnya, baik muslim maupun non-muslim.

Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang hanya 3 tahun (99-102 H/818-820 M) sebagaimana ditulis oleh Ibnu Abdil Hakam dalam Siroh Umar bin Abdul Aziz, kesejahteraan juga dirasakan oleh seluruh rakyat. Hal ini tergambar dari ucapan Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu. “Saat membagikan zakat, saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan.”

Kemampuan Islam mensejahterakan rakyatnya diakui pula oleh penulis non-muslim yang jujur. Will Durant, dalam The Story of Civilization, vol. XIII, menulis: “Para khalifah itu juga telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah itu juga menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas.”

Dengan demikian hanya dengan sistem Islamlah sesungguhnya masyarakat akan mendapat kehidupan yang layak dan sejahtera. Bagaimana mungkin kita meragukan sistem ini yang bersumber dari Pencipta manusia dan tentunya pasti akan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia itu sendiri. Berbeda dengan sistem lainnya yang bersumber dari kecerdasan manusia yang pada hakikatnya terbatas. Wallahu a’lam.[]

Comment