Kemiskinan, Bukan Karena Malas dan Mindset yang Salah

Opini318 Views

 

 

Oleh : Arifa Hilma, Ibu Rumah Tangga

_________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Berbicara tentang kemiskinan,  seringkali kita mendengar opini yang mengatakan bahwa miskin itu karena kurang kerja keras atau mindsetnya yang salah. Opini publik ini bahkan tidak jarang dilontarkan oleh motivator dan publik figur yang dianggap sukses. Padahal secara logika dan realita, opini tersebut perlu dikaji ulang sehingga tidak menjadi pernyataan yang mengandung cacat logika.

Cacat logika yang dimaksud di sini adalah bahwa kita sering memberi solusi individual terhadap persoalan yang bersifat global. Kemiskinan merupakan sebuah fenomena dan persoalan global sedangkan kerja keras dan mindset adalah lingkup individu. Padahal secara realita, kemiskinan baik yang dialami masyarakat Indonesia secara lokal merupakan kemiskinan struktural yang diakibatkan oleh perilaku global.

Kemiskinan seperti diungkap BPS adalah ketidakmampuan seseorang mencapai standar hidup minimum. Bila kita melihat, standar miskin yang digariskan pmerintah umsebesar Rp472.525 per kapita per bulan atau sebesar Rp15.750 per kapita per hari (BPS 2022).

Berbeda standar dengan BPS, Bank Dunia juga memiliki standar garis kemiskinan. Standar Bank Dunia adalah sebesar Rp984.360 perkapita perbulan atau setara Rp32.812 perkapita perhari. Perbedaan standar ini membuat sekitar 16 juta masyarakat Indonesia kelas menengah bawah terkategori menjadi masyarakat miskin (CNN).

Tidak sekedar kurang kerja keras

Kemiskinan struktural membuat orang-orang yang terjebak di dalamnya sulit keluar, karena mereka kesulitan mengakses sumber daya. Misalnya akses pendidikan dan kesehatan yang berkualitas, dan juga akses kredit (SMERU Institute).

Dua modal dasar yang diperlukan manusia mandiri adalah akses kesehatan dan pendidikan yang memadai. Menjangkau pendidikan yang berkualitas menjadi sulit bahkan tidak mungkin dicapai jika biaya pendidikan semakin mahal. Minimnya akses pendidikan membuat masyarakat sulit mengakses literasi dan sumber pendapatan yang layak. Begitu juga kesehatan.

Selain rentan terkena penyakit, kualitas kesehatan yang buruk juga membuat anak-anak dari kalangan keluarga miskin tidak tumbuh optimal, kecerdasan di bawah rata-rata dan menghasilkan sumber daya manusia berkualitas rendah.

Dalam upaya keluar dari kemiskinannya, mereka terkadang memerlukan pembiayaan (kredit) di luar pendapatannya –yang hanya cukup untuk kebutuhan pokok. Akses kredit dengan suku bunga ringan memerlukan penghasilan minimum yang sulit dicapai masyarakat miskin. Akibatnya, masyarakat miskin mau tidak mau harus meminjam uang kepada rentenir atau pinjaman liar seperti pinjol yang hanya membutuhkan syarat minimum tetapi membebankan bunga yang fantastis (SMERU Institute).

Itulah mengapa, dikatakan biaya menjadi orang miskin sangat mahal. Karena mereka bisa mengeluarkan hingga 182 persen uang lebih banyak daripada pemasukan. Selain itu, akses ke sumber daya lain seperti air bersih juga tidak terjangkau oleh warga miskin.

Pada 2018, Anies Baswedan seperti dikutip kompas.com mengatakan bahwa hanya 57% warga Jakarta yang memiliki akses air bersih melalui PAM. Sisanya, mereka menggunakan air seadanya, menggali air tanah, membeli air galon isi ulang atau membeli air bersih dari pihak swasta yang harganya bisa 4x lipat harga air PAM.

Betapa tidak adil dan tidak meratanya pembangunan dan fasilitas seringkali dirasakan oleh masyarakat miskin.

Bukan sekedar tentang mindset

Memang benar, mindset atau pola pikir berkembang (growth mindset) akan menjadi penggerak individu dalam melakukan perubahan besar. Namun seringkali mindset ini dijadikan kambing hitam atas masalah kemiskinan struktural. Seolah-olah mereka miskin karena memiliki mindset yang tidak berkembang. Padahal, kemiskinanlah yang membentuk mindset. Jadi, daripada mencoba menyalahkan pola pikir yang sudah mengakar pada masyarakat, lebih baik mengentaskan kemiskinan secara sistemik, sehingga pola pikir masyarakat akan berubah. Karena kemiskinan mengandung 4 dari 6 faktor pembentuk mindset, yaitu pendidikan, pengalaman, kultur, dan lingkungan (Youngontop.com).

Masalah sistemik tentu membutuhkan solusi sistemik pula. Solusi sistemik ini memerlukan banyak stakeholder, utamanya pemerintah. Sayangnya, kebijakan yang ditawarkan pemerintah belum menyentuh semua sisi, sehingga problem multidimensi ini tidak terselesaikan secara sistemik.

Dikutip dari web ditjen perbendaharaan kemenkeu RI (djpb.kemenkeu.id) Pemerintah mengeluarkan tiga program utama dalam mengentaskan kemiskinan, yaitu 1) penyediaan kebutuhan pokok, 2) pengembangan sistem jaminan sosial, dan 3) pengembangan budaya usaha.

Bila divermati, karakteristik bantuan yang dikucurkan pemerintah tidak bersifat holistik. Contohnya, alih-alih memberikan akses pendidikan dan kesehatan yang mudah dan gratis, pemerintah memberikan kedua akses tersebut hanya sebagai subsidi dan bersifat transaksional, seperti BPJS. Layaknya asuransi pada umumnya, peserta BPJS harus membayar
iuran setiap bulan. Sayangnya, tidak seperti pemegang asuransi swasta, praktik BPJS di lapangan masih jauh dari kata ideal, dan kurang menguntungkan baik bagi peserta maupun tenaga medis.

Tidak bisa dipungkiri, memberikan bantuan untuk mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh tanpa bersifat transaksional terdengar absurd bagi sistem kapitalis. Bagaimana mungkin akses pendidikan dan kesehatan diberikan secara cuma-cuma kepada setiap individu tanpa melihat status? Dari mana sumber dananya?

Dalam sejarah kejayaan Islam, hal tersebut memungkinkan, karena sumber daya alam milik negara dimiliki sepenuhnya oleh negara. Tidak seperti hari ini, di mana pendapatan negara sebagian besar bersumber dari pajak yang mencekik rakyat. Sumber pendapatan di luar pajak seperti SDA juga tidak bisa diandalkan karena kekakayaan negara tersebut sebagian besar dimiliki para pemilik mofal dan oligarki.

Sudahlah sumber pemasukan mencekik rakyat, pengelolaannya tidak bisa dipertanggungjawabkan, dan hasilnya masih belum dapat dirasakan oleh rakyat sebagaimana amanat undang undang dasar. Lengkaplah sudah beban dan derita masyarakat miskin.

Kemiskinan struktural merupakan masalah multidimensi dan sistemik. Sehingga solusi individualistik seperti bekerja keras dan mengubah mindset semata tidak bisa memberantas akar masalahnya secara tuntas. Alih-alih, pernyataan tersebut mencerminkan sikap kita yang gagal membaca realita, kurang empati, dan cenderung apatis.[]

Comment