,
Oleh: Sri Yulia Sulistyorini, S.Si,b Praktisi Pendidikan
_________
RADARI ENEWS.COMBelakangan ini, ramai pembicaraan di media sosial terkait kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan, remaja, dan anak-anak.
Masyarakat geram dan marah dengan peristiwa yang terjadi. Berbagai pendapat muncul sebagai respon dengan memberikan solusi agar kasus tidak berulang kembali. Lantas, bagaimana seharusnya agar berbagai kasus kekerasan seksual bisa ditanggulangi dan tidak berulang kembali?
Berbagai Pandangan tentang Kekerasan Seksual
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni berharap agar pelaku pemerkosaan terhadap belasan santri di Bandung dihukum seberat-beratnya dan para korban diberikan konseling. Selain itu, Sahroni menyambut baik draft Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Menurutnya, ketika sudah disyahkan nanti, harus segera disosialisasikan dan dibuat aturan turunan yang disesuaikan dengan lembaganya masing-masing. (nasional.sindonews.com, 10 Desember 2021).
Sementara, beberapa ormas Islam yang tergabung dalam Majelis Ormas Islam (MOI) menyatakan suara terkait berbagai kasus seksual yang mengerikan. Pertama, bunuh dirinya mahasiswa yang berpacaran dengan oknum polisi karena frustasi setelah hamil dan menggugurkan kandungan. Kedua, kasus guru pesantren yang memperkosa 13 santri sampai 8 di antaranya melahirkan.
Ini sungguh biadab, hukuman mati adalah hukuman yang setimpal. MOI meminta agar dalam penyusunan suatu undang-undang, jangan sampai meninggalkan panduan ajaran agama. Pemerintah dan DPR diharapkan mengesahkan RUU TPKS lebih komprehensif dalam menanggulangi kasus-kasus seksual yang jahat baik saling setuju(perzinahan) atau tidak.( Hidayatullah.com, 9 Desember 2021).
Paradigma Liberal dalam RUU TPKS
Rentetan kasus tentang mahasiswa yang bunuh diri dan santri yang hamil dan melahirkan tampaknya dijadikan alasan untuk mendesak disyahkannya RUU TPKS. Padahal RUU TPKS ini juga masih banyak pihak yang mengecam, lantaran terdapat beberapa hal yang dinilai tidak menjadikan agama sebagai rujukan. RUU ini memuat pasal bermasalah dan kontroversial.
Ketua Umum Aliansi Indonesia Cinta Keluarga(AILA), Rita Soebagio menyatakan pihaknya tetap komit menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. RUU ini dinilai menabrak Pancasila dan agama.
Sementara, Ketua Masyarakat Peduli Keluarga (MPK) Nur Widiana juga menilai RUU PKS bertentangan dengan nilai religius bangsa dan sila pertama Pancasila, karena tidak mencantumkan asas agama dalam penyusunannya. Materi muatannya lebih bernafas liberal radikal, bertentangan dengan sosiologis rakyat Indonesia (jpnn.com, jum’at, 20 September 2019).
Hingga saat ini fraksi Golkar belum mau melanjutkan pembahasan RUU TPKS karena masih perlu mendalami isi draft nya. Sementara itu fraksi PKS juga tetap menolak RUU TPKS karena tidak ada aturan tentang larangan perzinahan dan penyimpangan seksual dalam RUU TPKS (mediaindonesia.com, Rabu, 8 Desember 2021).
Akar Masalah Terjadinya Kekerasan Seksual
Jika kita teliti lebih mendalam terkait terjadinya kasus kekerasan seksual yang semakin merebak, maka akan kita dapati fakta-fakta penyebab munculnya kasus tersebut. Contohnya, tentang kasus bunuh diri mahasiswi yang frustasi setelah hamil dan menggugurkan kandungan. Awalnya adalah adanya aktivitas pacaran antara mahasiswi dengan oknum polisi.
Namanya juga berpacaran, biasanya pernah berduaan, karena di masyarakat kita tidak ada norma yang melarang pacaran. Pacaran dianggap hal yang lumrah dan tidak ada yang berani menegur karena malah akan dipermasalahkan di hadapan hukum karena melanggar hak asasi manusia.
Jadi, akar masalahnya adalah tidak adanya aturan yang tegas terhadap aktivitas yang memungkinkan terjadinya tindakan asusila atau bahkan kekerasan. Contoh yang lain adalah kasus santri yang hamil dan melahirkan dengan pelakunya adalah oknum ustadz.
Kasus ini dapat terjadi karena aktivitas yang tidak terkontrol, di mana terjadi interaksi antara santri perempuan dengan lelaki yang berada di suatu tempat dan tidak terpisah. Atau hal-hal lain yang mungkin menjadi penyebabnya, yang jelas jaminan keamanan tidak didapatkan bagi santri perempuan.
Memang, kasus-kasus tersebut membutuhkan solusi agar tidak berulang. Tentunya dengan aturan yang tegas dan bisa memberikan efek jera pada pelakunya.
Kasus-kasus ini sebenarnya bisa dicegah dengan menerapkan pengaturan interaksi laki-laki dan perempuan di tengah-tengah masyarakat. Namun, hal ini tidak dimiliki oleh masyarakat yang menerapkan sistem sekuler yang menjauhkan agama dalam mengatur kehidupan.
Islam Mengatur Interaksi Sosial di Masyarakat
Menurut pandangan Islam, Interaksi antara laki-laki dan perempuan di masyarakat tidak dibiarkan begitu saja, bebas melakukan segala sesuatu semaunya.
Islam mempunyai batasan-batasan dalam berinteraksi (atuan dalam berinteraksi/ Tandzimus Shillat). Tidak ada aktivitas pacaran di dalam Islam, karena di dalamnya terdapat pembiaran aktivitas berdua-duaan(khalwat) antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, sebagaimana dalam hadist:
“Tidaklah sekali-kali seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita, melainkan yang ketiganya adalah syaitan.” (HR. At-Tirmidzi, no. 1171, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam shahih Sunan At-Tirmidzi )
Selain itu, Islam juga melarang aktivitas perzinahan. Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’ , 17:32 sebagai berikut:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰۤى اِنَّهٗ كَا نَ فَا حِشَةً ۗ وَسَآءَ سَبِيْلًا
Artinya: “ Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”
Sedangkan, terkait dengan hukuman terhadap pelaku zina adalah dengan rajam atau dilempari batu sampai mati bagi yang sudah menikah. Sementara, bagi yang belum menikah adalah dengan dicambuk sebanyak 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Sebagaimana yang terdapat dalam Al- Qur’an surat An- Nur ayat 2
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
اَلزَّا نِيَةُ وَا لزَّا نِيْ فَا جْلِدُوْا كُلَّ وَا حِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَّلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِا للّٰهِ وَا لْيَوْمِ الْاٰ خِرِ ۚ وَلْيَشْهَدْ عَذَا بَهُمَا طَآئِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
Artinya: “Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari Kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nur 24: Ayat 2).
Solusi Kekerasan Seksual Bukan Dengan RUU TPKS
Berbagai permasalahan yang terjadi di masyarakat memang membutuhkan aturan untuk diterapkan. Termasuk, masalah kekerasan seksual. Namun, aturannya bukan dengan RUU TPKS. Bagaimanapun terlihat baik di mata manusia tetap saja ada kelemahannya.
Apalagi, RUU TPKS yang cenderung liberal dan tidak menjadikan agama sebagai rujukannya. Padahal, masyarakat mayoritas muslim, tapi tidak menggunakan aturan Islam dalam kehidupannya. Sementara, hanya Allah satu-satunya Dzat yang berhak mengatur manusia, karena Allah pula yang menciptakannya.
RUU TPKS hanya solusi parsial yang tidak akan menyelesaikan persoalan kekerasan seksual secara tuntas. Tidak menutup kemungkinan kalaupun RUU ini disyahkan akan tetap ada kasus-kasus yang serupa atau bisa jadi lebih parah lagi. Apalagi, jika tetap ada definisi pelecehan seksual hanya bisa ditindak manakala ada paksaan. Jika tidak ada paksaan atau suka sama suka, maka tidak akan dijerat. Maka akan semakin merajalela aktivitas perzinahan.
Hanya Aturan Islam yang Bisa Menghapus Kekerasan Seksual
Ketika tidak ada aturan lain yang bisa menjadi solusi tuntas atas kasus kekerasan seksual, maka hanya dengan kembali kepada aturan Islam permasalahan ini dapat terselesaikan. Dengan aturan Islam, negara dapat menghilangkan hal-hal yang dapat menyebabkan pelecehan atau kekerasan seksual.
Tempat-tempat yang memungkinkan terjadinya interaksi yang diharamkan oleh Islam akan ditutup. Peluang-peluang yang memungkinkan terjadinya pergaualan bebas akan dilarang. Sangsi yang diberikan kepada pelaku kejahatan tentunya bisa memberikan efek jera dan sesuai petunjuk dari sang Pencipta, Allah SWT.
Maka, sudah sepatutnya kita tinggalkan kehidupan sekuler yang menjauhkan Islam sebagai pengatur manusia. Islam bukan sekedar ibadah ritual semata yang diadopsi, melainkan seluruh aturan yang sempurna dan paripurna haruslah ditegakkan.[]
Wallahu A’lam Bis-Showwab.
Comment