Penulis: DR. H. Busyairi Ali, S.H.I, M.H.I
Dosen dan Praktisi Hukum
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Pemerintahan Bashar al-Assad yang tumbang menandai titik balik bagi Suriah, yang kini berada di ambang transformasi menuju fragmentasi politik ala Libya—negara yang terpecah menjadi wilayah-wilayah kekuasaan kelompok bersenjata—ketimbang menjadi negara di bawah dominasi satu kelompok tunggal seperti Taliban di Afghanistan.
Pergeseran ini tidak hanya menciptakan dinamika baru dalam lanskap geopolitik regional, tetapi juga memupus ambisi kelompok Takfiri pengusung Khilafah yang memimpikan Suriah sebagai pusat kekuasaan Islam global.
Kejatuhan Assad mempertegas bahwa masa depan Suriah akan lebih ditentukan oleh fragmentasi internal dan intervensi eksternal daripada visi utopis Khilafah yang diharapkan oleh para pendukungnya.
Krisis Internal: Fondasi Runtuh dan Kekuasaan Terpecah
Berbeda dengan Afghanistan yang relatif homogen di bawah kendali Taliban, Suriah adalah mosaik kompleks dari berbagai kelompok etnis, sektarian, dan politik. Kejatuhan Assad akan mempercepat pecahnya negara ini menjadi kantong-kantong kekuasaan lokal. Komunitas Alawi, Sunni, Kurdi, dan minoritas lain tidak akan tunduk pada satu kekuatan sentral, melainkan menciptakan struktur pemerintahan yang terfragmentasi.
Situasi ini mencerminkan pola yang terjadi di Libya setelah jatuhnya Muammar Qaddafi, di mana negara terpecah menjadi wilayah-wilayah yang dikendalikan oleh kelompok bersenjata dengan dukungan aliansi dan sponsor internasional.
Di Suriah, dinamika ini akan terlihat dalam kolaborasi antara Turki, Israel, dan Amerika Serikat untuk mendukung faksi-faksi tertentu, sementara Iran dan Rusia akan memainkan peran berbeda dalam mempertahankan pengaruh mereka. Persaingan ini tidak hanya akan memperburuk fragmentasi internal, tetapi juga memperumit setiap upaya rekonsiliasi nasional, yang membutuhkan konsensus dari berbagai aktor domestik dan eksternal yang berkepentingan.
Kemenangan dan Keuntungan Israel
Dengan bantuan penuh Amerika Serikat, Israel mendapatkan keuntungan besar dan memiliki dua agenda strategis utama sekaligus terkait Suriah:
1. Mengakhiri Pengaruh Iran
Israel berupaya menghapus kehadiran Iran di Suriah untuk memutus dukungan finansial dan militer kepada Hizbullah. Dalam konteks Rusia, Israel tidak terlalu peduli apakah Rusia tetap hadir atau mundur, kecuali jika dukungan Moskow terhadap Assad memungkinkan keberlanjutan pasokan militer Iran ke Hizbullah.
Selain itu, Israel mendorong pemisahan wilayah tertentu di Suriah demi keuntungan aktor seperti Turki atau kelompok Kurdi, atau bahkan untuk dikuasai langsung, seperti yang terjadi di Dataran Tinggi Golan.
2. Pecah-Belah Suriah
Israel juga menginginkan Suriah terpecah menjadi negara-negara kecil berdasarkan agama dan etnis, menciptakan konflik yang berkepanjangan.
Untuk mencapai tujuan ini, kemunculan kelompok teroris Takfiri seperti ISIS menjadi instrumen penting. Dengan kekerasan sistematis, kelompok ini menghancurkan harmoni sosial dan memecah-belah masyarakat. Hayat Tahrir al-Sham (HTS) adalah salah satu representasi nyata dari strategi destruktif ini.
Hayat Tahrir al-Sham: Ambisi Terbentur Realitas
Salah satu aktor utama yang berusaha mengisi kekosongan kekuasaan adalah Hayat Tahrir al-Sham di bawah kepemimpinan Mohammad al-Jolani. HTS, yang awalnya terafiliasi dengan jaringan al-Qaeda, kini mencoba mengubah citra mereka menjadi kekuatan Sunni moderat yang dianggap mampu memimpin Suriah pasca-Assad.
Transformasi ini terlihat jelas pada gaya kepemimpinan al-Jolani, termasuk penampilannya yang mulai menyerupai simbol-simbol pemimpin Barat, seperti Volodymyr Zelensky. Bahkan, perubahan hingga ke detail uniform yang dikenakannya tampaknya sejalan dengan strategi untuk menarik legitimasi internasional.
Langkah ini tak lepas dari pengaruh sponsor-sponsor eksternal yang memiliki kepentingan di balik runtuhnya kekuasaan Assad, menjadikan HTS sebagai salah satu kendaraan politik dalam konfigurasi baru Suriah.
Namun, ambisi HTS terbentur realitas politik Suriah yang sangat terfragmentasi. Lebih dari 35 kelompok bersenjata aktif di negara itu, masing-masing memiliki agenda sendiri. Upaya HTS untuk menyatukan mereka di bawah satu visi nasional menghadapi resistensi kuat, baik dari faksi lokal maupun aktor eksternal.
Model Libya: Perpecahan Berakar pada Kepentingan Eksternal
Kemungkinan besar, Suriah akan mengadopsi model pemerintahan terfragmentasi seperti Libya, di mana wilayah-wilayah tertentu dikendalikan oleh kelompok berbeda yang bergantung pada dukungan eksternal. Kurdi, misalnya, sudah membangun pemerintahan semi-otonom di utara dengan dukungan Amerika Serikat. Di wilayah lain, faksi Sunni mungkin membangun struktur pemerintahan yang lebih dekat dengan model Turki atau protektorat Barat.
Namun, visi ini jauh dari impian Khilafah yang diidamkan kelompok Takfiri seperti ISIS dan para pendukungnya di Indonesia. Bagi mereka, fragmentasi Suriah adalah kekalahan ideologis, karena tidak ada satu pun faksi yang mampu mengonsolidasikan kekuasaan untuk mewujudkan visi negara Islam global.
Poros Perlawanan: Pukulan Strategis di Timur Tengah
Kejatuhan Assad juga akan mengguncang Poros Perlawanan yang meliputi Iran, Hizbullah, dan kelompok bersenjata di Irak serta Yaman. Assad adalah sekutu strategis Iran, dan Suriah selama ini berfungsi sebagai jalur logistik utama bagi Hizbullah. Jika Suriah jatuh ke dalam fragmentasi, Poros Perlawanan akan kehilangan pijakan vital mereka di Timur Tengah.
Hizbullah mungkin tetap mampu bertahan karena struktur mereka yang mandiri di Lebanon, tetapi Kelompok Perlawanan di Irak dan Yaman akan menghadapi tekanan lebih besar. Kehilangan dukungan dari Suriah akan mempersulit kemampuan mereka untuk bertahan di tengah tekanan internasional dan regional.
Euforia Pengusung Khilafah: Harapan yang Bakal Pupus
Kelompok pengusung Khilafah di Indonesia dan dunia mungkin merayakan kejatuhan Assad dengan euforia, tetapi mereka akan segera menghadapi kenyataan pahit. Suriah pasca-Assad tidak akan menjadi pusat kekuasaan Islam yang mereka impikan. Sebaliknya, negara itu akan terpecah-belah menjadi entitas-entitas semi-otonom, dengan model pemerintahan yang lebih inklusif tetapi jauh dari visi monolitik Khilafah.
HTS sendiri, meski menjauh dari ideologi Takfiri, tidak memiliki kapasitas untuk membangun negara tunggal yang stabil. Realitas ini akan mempermalukan kelompok pengasong Khilafah, yang selama ini mengagungkan Suriah sebagai “tanah janji” bagi negara Islam global.
Suriah sebagai Cermin Perpecahan Timur Tengah
Kejatuhan Assad adalah awal dari tantangan baru, bukan akhir dari krisis Suriah. Fragmentasi politik yang menyerupai Libya akan menciptakan instabilitas yang berkelanjutan, dengan aktor lokal dan internasional terus bersaing memperebutkan pengaruh. Sisi lain, Poros Perlawanan akan menghadapi tekanan besar, sementara kelompok pengasong Khilafah harus menerima kenyataan memalukan bahwa Suriah tidak akan menjadi simbol kejayaan mereka.
Di tengah kekacauan ini, masa depan Suriah akan sangat bergantung pada kemampuannya untuk merekonstruksi identitas nasional yang inklusif, yang mampu menyatukan keragaman etnis dan sektarian, sekaligus memitigasi intervensi eksternal.
Namun, dinamika fragmentasi internal yang semakin kompleks dan rivalitas geopolitik global membuat upaya ini tampak jauh dari realisasi. Seperti halnya Libya, Suriah mungkin akan tetap menjadi medan pertempuran kepentingan geopolitik, di mana faksi-faksi lokal dan kekuatan asing terus bersaing, sementara rakyat Suriah tetap menjadi korban utama.
Lebih jauh lagi, dampak dari konflik ini meluas hingga ke Palestina dan Gaza. Dukungan terhadap perjuangan Palestina dari dunia Muslim akan melemah. Gaza, yang sudah porak-poranda akibat blokade dan agresi, akan semakin terisolasi tanpa keberadaan sekutu strategis yang kuat di Kawasan. Situasi ini memperlihatkan bagaimana konflik Suriah tidak hanya menghancurkan negara itu sendiri, tetapi juga melemahkan solidaritas Muslim dalam menghadapi penindasan yang terus berlangsung di Palestina.[]
Comment