Keganjilan di Balik Klaim Pertumbuhan Ekonomi Tujuh Persen

Opini632 Views

 

 

 

Oleh. Yuli Farida, Aktivis Dakwah Kampus

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Di tengah realita kelesuan ekonomi yang dirasakan publik, pemerintah mengumumkan pertumbuhan dengan angka fantastis. Banya publik menganggap klaim ini tidak sesuai dengan kondisi ril, karena fakta yang diindra masyarakat justru menunjukkan Hal sebaliknya dengan semakin besarnya jumlah pengangguran dan penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat.

Partai Demokrat Indonesia Perjuangan melontarkan serangan keras kepada Pemerintahan Jokowi. Kali ini terkait pertumbungan ekonomi kuartal II-2021 sebesar 7,07 persen. Pengumunan itu justru dianggap hanya merupakan klaim sepihak pemerintah.

Akan tetapi, hal itu sama sekali tak sejalan dengan kondisi riil di lapangan saat ini. Sebaliknya, pengumuman pertumbuhan ekonomi tersebut dianggapnya akan membuat publik bertanya-tanya. Alasannya, antara fakta dan kondisi riil jauh berbeda dengan klaim tim ekonomi Jokowi itu berbeda. Atas alasan tersebut, perbaikan ekonomi yang hanya dilihat dari besaran growth di kuartal II itu hanya sekadar klaim pemerintah.

Kendati demikian, ia sepakat bahwa pertumbuhan ekonomi keuartal II-2021 mengalami lonjakan yang tinggi. Karena ia melihat perbandingan dari pertumbuhan ekonomi yang tumbuh hingga 7,07 persen adalah kuartal II-2020, yang justru terkontraksi hingga minus (-) 5,32 persen.

“Ya pasti bertumbuh. Menurut saya ini capaian yang lumayan 7,07 persen year on year (yoy)” .

“Jika dibandingkan dengan kuartal II-2020 pasti naik banyak karena 2020 lagi kontraksi di kuartal yang pertumbuhan ekonominya mati – 5.32 perse. Perusahaan harus hati-hati menyusun business plan. Jangan merasa pertumbuhan ekonomi 7 persen itu membuat pelaku usaha membuat asumsi yang ambisius”.

Anak buah Megawati Soekarnoputri ini mengakui, pertumbuhan ekonomi ini merupakan langkah Pemerintah membangkitkan optimisme publik. Namun, jika itu tidak dibarengi pencerahan memadai, maka justru akan menjadi blunder di kemudian hari.

Semestinya, pemerintah memberikan data dengan penjelasan yang akurat agar tidak menciptakan persepsi yang salah. Penjelasan kondisi ekonomi nyatanya tidak baik karena pandemi Covid-19 menciptakan ketidakpastian di bidang ekonomi.

Apalagi, klaim pertumbungan ekonomi ini jelas bertolak belakang dengan nalar publik yang tengah kesulitan di tengah pandemi Covid-19 sekarang. Kendati klaim pertumbuhan ekonomi itu didukung dengan data akurat. (fajar.new 08/08/2021 ).

Ekonomi Indonesia mencatat pertumbuhan memuaskan pada kuartal II (Q2) 2021. Di mana pertumbuhan tercatat 7,07% dibanding Q2 2020 5,3%. Namun sayangnya, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai pertumbuhan ini adalah “pertumbuhan ekonomi semu”. Karena menggunakan base rendah di tahun 2020, Menurut INDEF di Q2 2020 pemerintah melakukan PSBB.

Sementara di Q2 2021 pelonggaran PPKM terjadi. “Hal ini menyebabkan pertumbuhan tinggi melebihi rata-rata pertumbuhan kuartalan Indonesia sebesar 5%,” kata lembaga itu dalam pernyataan yang diterima CNBC Indonesia.

Indef juga menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi belum kembali ke kondisi normal. Jika dibandingkan dengan rerata pertumbuhan sebelum pandemi (2018-2019), Q2 2021 hanya tumbuh 3,87%. INDEF juga menyamakan hal yang terjadi di Indonesia dengan negara lain.

Tidak hanya Indonesia, negara mitra dagang juga sama setelah setahun sebelumnya mengalami kontraksi yang lebih dalam. Bahkan China bisa tumbuh sebesar 18,3 % (QI 2021) dari sebelumnya -6,8 % (Q1 2020), Singapore 14% (Q2 2021) dari sebelumnya -13,3 % (Q2 2020) dan tumbuh 12,2 % (Q2 2021) dari sebelumnya -9,1 % (Q2 2020).

“Jadi wajar kalau pertumbuhan karena low base effect (dasar perhitungan rendah) memang menjadi faktor utama pertumbuhan ekonomi kita, sama seperti negara-negara di atas,” papar lembaga itu.( CNBC Indonesia0 7/08/2021).

Sistem ekonomi kapitalis hanya bisa mencatatkan angka-angka kemajuan dan pertumbuhan yang minim pengaruh pada kesejahteraan rakyat luas.

Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) berharap pemerintah tetap memperhatikan stabilitas ekonomi di tengah pemulihan ekonomi yang sudah tergolong cepat. Wakil Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Anggawira mengapresiasi langkah pemerintah yang telah mempu mendongkrak pertumbuhan ekonomi lebih dari 7%.

Namun, pemerintah diharapkan tetap memperhatikan kestabilan ekonomi yang tergolong cukup mengkhawatirkan dengan semakin tingginya utang pemerintah dan tetap naiknya angka pengangguran.

Pertumbuhan ekonomi 7% memang bagus, tapi bagaimana dengan utang pemerintah dan pengangguran. Itu jangan sampai diabaikan.

Dia berharap pemerintah lebih cepat lagi mempercepat program vaksinasi. Selain itu, program vaksinasi juga diharapkan ke depan lebih inovatif dengan mengajak semua lapisan masyarakat untuk berpartisipasi. Hanya dengan vaksinasi dan herd imunity, kinerja ekonomi bisa lebih sehat. Bukan hanya dengan subsidi atau mengandalkan pertumbuhan kinerja komodotas batu bara.(Bisnis.com 07/08/2021). .

Angka pertumbuhan ekonomi yang demikian tinggi amat kontras dengan realitas masyarakat. Di masa pandemi ini, banyak orang kena PHK, sehingga ekonomi keluarga pun kembang kempis. Para pelaku usaha juga terpukul, hingga ada yang tutup.

Ketika realitas perekonomian masyarakat demikian pahit, angka pertumbuhan ekonomi nan fantastis tersebut hanyalah pemanis. Padahal, rakyat butuh realitas, bukan sekadar angka cantik di atas kertas, namun realitasnya tak ada.

Ukuran kesejahteraan
Angka pertumbuhan ekonomi jamak digunakan sebagai alat ukur kesejahteraan rakyat. Telah banyak para ekonom mengkritik terkait hal ini. Mengukur kesejahteraan hanya dari pertumbuhan ekonomi dan Produk Domestik Bruto (PDB), tetapi mengabaikan fakta ketimpangan ekonomi di tengah masyarakat.

Eric Maskin (penerima penghargaan Nobel Ekonomi tahun 2007) dan Kaushik Basu (Guru Besar Ekonomi Universitas Cornell, Amerika Serikat) menyatakan bahwa hanya mengandalkan PDB tidak akan menyelesaikan persoalan ketimpangan yang melebar meskipun pertumbuhan ekonomi sangat tinggi. (kompas.com, 5/9/2012).

Seperti kita lihat saat ini, di masa pandemi, banyak rakyat yang kehilangan pencaharian. Di sisi lain, para kapitalis makin kaya raya, pendapatan mereka makin besar. Jika mengacu pada PDB, pendapatan semua rakyat akan ditotal dan dirata-rata, sehingga seolah-olah semua rakyat mengalami kenaikan pendapatan yang terindikasi dari naiknya konsumsi. Padahal, realitasnya, yang kaya makin kaya, yang miskin makin sengsara.

Ketimpangan kian menganga, yang terindikasi dari naiknya rasio gini.
Pada era modern ini, dibandingkan angka pertumbuhan ekonomi, aspek-aspek seperti umur harapan hidup, angka kematian bayi, dan angka partisipasi sekolah dipandang lebih efektif untuk mengukur kesejahteraan.

Alasan mengapa angka pertumbuhan ekonomi masih digunakan untuk menilai kesejahteraan adalah karena metode ini mudah dilakukan, tidak perlu sensus dan survei yang njlimet, cukup dengan hitungan matematika yang sederhana, sudah didapat angka pertumbuhan ekonomi.

Standar Islam
Islam memiliki standar baku dalam mengukur tingkat kesejahteraan secara tepat, yaitu terpenuhinya kebutuhan pokok yakni sandang, pangan, dan papan secara makruf (layak). Proses pengukuran ini dilakukan secara terus-menerus, dengan aktivitas patroli oleh Khalifah.

Dalam memantau rakyatnya, Khalifah mengacu pada data riil, bukan angka cantik di atas kertas.

Islam mewajibkan penguasa untuk memiliki visi riayah atas rakyatnya. Penguasa harus tulus ikhlas mengurus rakyatnya satu persatu, meski rakyatnya itu ada di sudut kampung, di tengah hutan, maupun di puncak gunung.

Penguasa seperti ini benar-benar telah dibuktikan saat kejayaan islam. Salah satunya adalah Khalifah Umar bin Khaththab ra.

Suatu hari, Umar ra. sedang patroli melihat langsung kehidupan rakyatnya. Ia mengetuk sebuah rumah kecil yang dihuni oleh seorang nenek tua.

“Wahai nenek, bagaimana pendapatmu tentang Khalifah Umar?” tanya Umar ra. kepada nenek tua tersebut.
“Semoga Allah tidak memberikan ganjaran kebaikan kepadanya,” jawab sang nenek.
Mendengar jawaban si nenek tersebut Umar ra. tersentak. “Mengapa engkau berdoa demikian, wahai Nenek?” tanya Umar ra.
“Karena ia tak pernah datang kemari dan memberiku uang,” jawab si nenek.
“Tapi jarak rumah Umar kemari sangat jauh,” kata Umar.
“Dia seorang khalifah. Seharusnya ia tahu kondisi rakyatnya di mana pun rakyatnya tinggal.”

Khalifah Umar bin Khaththab seketika itu juga langsung meneteskan air mata. Batinnya tersentuh mendengar jawaban jujur dari nenek yang ada di hadapannya tersebut.

“Nek, bagaimana jika aku membeli dosa dan kesalahan dari Khalifah Umar kepadamu senilai 25 dinar?” tanya Umar ra.

“Kamu jangan bergurau denganku,” jawab si nenek sambil tersenyum.
“Aku tidak bergurau, wahai Nenek. Kasihan Umar jika harus menanggung dosa karena menelantarkanmu. Kasihan Khalifah Umar jika kelak menanggung siksa di akhirat karena kelalaiannya kepadamu.”
“Baiklah, terserah padamu saja,” kata nenek tua itu dan akhirnya dia menerima uang dari Umar.

Belum sempat Umar ra. berpamitan dengan si nenek tersebut, tiba-tiba seorang sahabat mendekat dan mengucapkan, “Assalamu’alaikum, wahai Amirulmukminin.”

Mendengar ucapan sahabat tersebut, sang nenek terkejut dan ketakutan. Ia baru tahu jika orang yang telah mengajaknya bicara adalah Khalifah Umar bin Khaththab.

“Oh, Tuan. Maafkan aku yang telah lancang mencacimu,” ucap si nenek sambil gemetar.
“Tidak apa-apa, wahai nenek. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu. Dosaku kepadamu telah aku tebus. Kelak, jangan menuntutku di akhirat,” jawab Umar kepada nenek tersebut. Nenek tersebut tidak lagi merasa bahwa Umar telah zalim kepadanya (Sumber: 77 Cahaya Cinta di Madinah).

Demikianlah gambaran penguasa dalam sistem Islam. Saatnya kita hijrah dari sistem saat ini menuju sistem Islam yang menyejahterakan, Allahu a’lam bishshawab.[]

Comment