Kedudukan Para Pendidik Dalam Islam

Opini354 Views

 

 

Penulis: Sri Riski Tamher | Mahasantriwati Cinta Quran Center

 

RADARINDONESIANEWS COM, JAKARTA – Kita ketahui bersama bahwa yang berperan penting dalam penyebaran ilmu adalah seorang guru/dosen. Dari para guru ilmu-ilmu itu mengalir – ilmu itu ibarat air dan pasti ada yang mengalirkannya. Dialah guru, hingga mampu membentuk kepribadian yang baik bagi setiap murid, dari jenjang sekolah dasar hingga jenjang perkuliahan. Generasi perlu pendidik untuk menjalankan peran dengan sebaik-sebaiknya. Namun realita memukul kita jauh ke belakang.

Mari kita lihat hasil penelitian Serikat Pekerja Kampus atau SPK yang mengungkap mayoritas dosen menerima gaji bersih kurang dari Rp 3 juta pada kuartal pertama 2023. Termasuk dosen yang telah mengabdi selama lebih dari enam tahun.

Sekitar 76 persen responden atau dosen mengaku harus mengambil pekerjaan sampingan karena rendahnya gaji dosen. Pekerjaan itu membuat tugas utama mereka sebagai dosen menjadi terhambat dan berpotensi menurunkan kualitas pendidikan.

Selain itu, dosen di universitas swasta jauh lebih rentan terhadap gaji rendah. Peluangnya tujuh kali lebih tinggi untuk menerima gaji bersih kurang dari Rp 2 juta. Sebanyak 61 persen responden merasa kompensasi mereka tidak sejalan dengan beban kerja dan kualifikasi mereka.

Anggota tim penelitian dan pengembangan SPK, Fajri Siregar mengatakan beberapa dosen merasa kurang dihargai.

Oleh karena itu, SPK mengharapkan kesejahteraan dosen dan pekerja kampus. Mereka mengimbau kepada pemerintah agar terjadi peningkatan gaji pokok dosen, terutama bagi mereka yang berstatus pegawai negeri sipil seperti ditulis laman www.tempo.com.

Pengelolaan terhadap pendidik begitu jauh dari kata baik dan layak. Meremehkan peran guru sama artinya meremehkan pendidikan. Dosen di gaji dengan bayaran yang begitu rendah. Padahal untuk menjadi seorang guru mereka begitu banyak mengorbankan banyak hal. Mulai dari waktu, tenaga, pikiran, bahkan biaya transportasi semata-mata untuk mencerdaskan anak bangsa. Bukankah itu sebuah tugas yang sangat mulia? Di sisi lain ketika orang-orang yang menebar hal yang kurang bermanfaat bahkan tidak bermanfaat malah dibayar mahal.

Rendahnya gaji dosen menggambarkan rendahnya perhatian dan penghargaan negara atas profesi yang mempengaruhi masa depan bangsa. Dosen adalah profesi mulia, menyebarkan ilmu dan membangun karakter mahasiswa sebagai agen perubahan dan calon pemimpin masa depan.

Jika kita tidak mampu memberi waktu untuk mendidik para calon pemimpin masa depan, maka cukup dengan memberi fasilitas/gaji yang layak untuk mereka para pendidik. Ini akan menjadi bagaian suport sistem mereka.

Kerusakan di dunia ini bisa diubah dengan ilmu, tentu ilmu yang dilandasi keimanan. Kalau mau dilihat penyebab dari minimnya perhatian terhadap dosen/guru karena kehidupan kita saat ini berada dalam payung sekularisme kapitalis, memisahkan agama dari kehidupan.

Asas manfaat, untung rugi menjadi patokan dalam segala aspek kehidupan yang telah menggerus penghargaan atas jasa besar para dosen, karena prinsip materi sebagai suatu hal yang berharga, hidup dalam habitat kemanfaatan sebatas materi. Para dosen memang tidak bisa memberi hal-hal yang berupa materi, tapi dari tangan merekalah, para generasi itu terbentuk.

Islam menghargai ilmu dan menjunjung tinggi para pemilik ilmu apalagi yang mengajarkan ilmu, sebagaimana Allah swt berfirman yang artinya: “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”.(QS. Al-Mujadilah[58]:11).

Dikutip dari tabloid Media Umat, dikatakan bahwa terlebih posisi strategis dosen sebagai pendidik calon pemimpin peradaban masa depan yang mulia.

Sejarah islam mencatat bagaimana pemuliaan Islam terhadap para dosen. Penulis teringat dengan salah satu sosok hebat yang menjadi penakluk kota konstatinopel, sebuah kota yang telah di janjikan oleh Allah swt untuk kaum muslimin. Janji itu diucapkan oleh manusia termulia, Rasulullah saw.

Kota konstatinopel akan ditaklukan oleh sebaik-baik pemimpin dan sebaik-baik pasukan, terlepas dari peran orang tua Muhammad Al-Fatih, ternyata ada sosok guru yang berhasil mendidik Muhammad Al-Fatih untuk menjadi bagian dari bisyarah Rasulullah saw.

Sejak kecil Al-Fatih selalu dikelilingi ulama-ulama terbaik di zamannya. Beragam disiplin ilmu: Ulumul Qur’an, Tsaqofah Islam, Fiqh, hingga ilmu-ilmu bumi seperti bahasa, astronomi, matematika, kimia, fisika di serapnya. Termasuk ilmu tentang militer dan perang. Muhammad Al-Fatih dididik oleh guru terbaik di zamannya, Syeikh Ahmad al-Kurani dan Syeikh Aaq Syamsudin.

Dari hasil didikan beliau-beliau inilah Muhammad Al-Fatih berhasil menaklukan Konstatinopel 29 Mei 1953, Allahu Akbar. Begitu juga ketika Hiroshima di bom, membumi hanguskannya, Kaesar Hiroito mengimbau kepada para jendralnya untuk mengumpulkan seluruh guru yang tersisa di seluruh pelosok Jepang.

Mereka menyadari, Jepang tidak akan bisa menjadi negara adidaya jika tidak belajar. Ini menunjukan peran guru/dosen bukanlah hal remeh. Posisi ini harus dimuliakan. Apa artinya kehidupan ini jika tanpa ilmu dan guru?

Maka dalam Islam profesi seorang guru sangat dimuliakan. Semakin banyak kemanfaatan yang dihasilkan untuk umat negara akan memberikan fasilitas/gaji yang cukup. Hidup di dalam naungan Islam, menjadikan Allah sebagai satu-satunya pembuat aturan, segala aspek kehidupan, termasuk pengurusan terhadap para pendidik akan memakai hukum-hukum Allah. Indah bukan? Jika kita sebagai manusia yang lemah ini di atur oleh Zat yang Maha tinggi, Zat yang begitu sayang kepada seluruh makhluk ciptaan-Nya.

Hal itu dibuktikan dalam romantisme sejarah Islam ketika Islam memimpin selama 13 abad lalu menggunakan hukum-hukum Allah, para kholifah memberikan bayaran yang sangat luar biasa kepada para pengajar.

Imam Ibnu Hazm mengatakan dalam kitabnya Al-Ahkam bahwa kepala negara (Kholifah) berkewajiban menyediakan pendidikan, sistem pendidikan, dan menggaji para pendidiknya. Di masa Umar bin Khattab beliau sebagai pemimpin sangat memiliki kepedulian terhadap ilmu. Beliau menggaji setiap guru satu bulan 15 dinar kalau di rupiahkan sekitar 33.870.000.

Demikian juga di masa Salahuddin al-Ayubi, menggaji guru sekitar 40 dinar setara dengan 170 gram emas, kalau di rupiahkan setara dengan 102.000.000. Sangat berbanding terbalik dengan gaji guru hari ini bukan?

Karena Islam memandang ilmu bukan komoditas akan tetapi, ia adalah jiwa kehidupan. Pendidikan menjadi salah satu kebutuhan mendasar yang wajib di fasilitasi oleh negara. Dengan adanya fasilitas terbaik dan tercukupi seperti ini, para pengajar akan lebih fokus dalam mendidik para generasi, tidak perlu lagi mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Sungguh kehidupan yang layak, termasuk pengaturan gaji terhadap pengajar hanya akan didapatkan dalam peradaban Islam, dalam naungan Islam Kaffah. Kamu merindukannya? Tentu penulis pun juga demikian.

Maka dari itu tugas kita adalah memperjuangkan Islam agar menjadi rujukan segala hal untuk mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat.Wallahu ‘alam bishowab.[]

Comment