Penulis: Widya Hartanti, S.S | Aktivis Dakwah Muslimah
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Pemerintah resmi memberlakukan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% per 1 Januari 2025. Kenaikan tarif PPN dari sebelumnya 11% menjadi 12% merupakan amanat Undang-Undang nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Hal ini sesuai dengan kesepakatan antara Pemerintah dengan DPR untuk menaikkan tarif secara bertahap sejak April 2022.
Kenaikan PPN tersebut awalnya hanya ditujukan untuk jasa dan barang mewah, seperti beras premium, ikan salmon, daging , dan tarif listrik untuk pelanggan 3500-6600VA.
Namun hal ini dibantah oleh Direktorat Jendral Pajak. Beliau memastikan bahwa kebijakan kenaikan PPN juga berlaku untuk semua barang dan jasa yang sebelumnya dikenakan tarif 11 persen, termasuk gula, tepung, pulsa, dan langganan streaming. (KalanganJambi.com, 26-12-2024)
Ragam penolakan pun dilakukan masyarakat lewat berbagai cara. Baik lewat petisi di media sosial maupun turun ke jalan. Hingga Senin (23/12), sebanyak 117 ribu orang telah menandatangi penolakan kenaikan PPN tersebut. Meski demikian, pemerintah terlihat enggan untuk membatalkan kebijakan tersebut.
Kebutuhan biaya besar untuk mendanai proyek Ibu Kota Negara (IKN), program makan bergizi, dan utang negara menjadi alasan mengapa kebijkan ini tetap dijalankan.
Kenaikan PPN Hadiah Awal Tahun
Kebijakan kenaikan pajak ini tentunya bukanlah kebijakan popuper. Dapat dipastikan bahwa kebijakan ini akan ditolak oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Kenaikan pajak tentu saja akan berdampak luas pada kenaikan semua harga barang.
Daya beli masyarakat yang saat ini sedang lesu pasti akan semakin menurun. Orang-orang akan menahan uangnya untuk membeli sesuatu. Jika jumlah penjualan menurun maka biaya produksi menjadi meningkat. Ujung-ujungnya akan terjadi gelombang pemecatan terhadap para tenaga kerja. Naiknya harga-harga dan kehilangan pekerjaan tentu saja akan semakin memperparah kehidupan masyarakat.
Sayangnya, kebijakan yang tak pro rakyat ini selalu dilakukan dalam setiap kepemimpinan di negeri ini. Kenaikan pajak seolah menjadi hal yang lumrah dan logis. Seolah tak ada solusi lain yang bisa diterapkan selain menaikkan pajak. Penolakan rakyat tak digubris, teriakan masyarakat dianggap angin lalu, penderitaan rakyat tetap diabaikan.
Pemerintah, dengan dalih mengurangi dampak kenaikan PPN akan memberikan beragam bansos. Di antaranya adalah diskon tarif listrik sebesar 50% selama dua bulan untuk daya terpasang 450-2200 VA, pemberian beras kemasan 10 kg selam 12 bulan kepada 16 juta keluarga, percepatan program bansos seperti Program Keluarga Harapan yang awalanya dijadwalkan pada akhir triwulan I dipercepat menjadi awal 2025.
Guyuran bansos ini seolah memang telah disiapkan untuk menyamput kenaikan PPN 12 %. Padahal jelas, beragam bansos yang diberikan pada sebagian kecil rakyat tak mampu meredam dampak kenaikan pajak yang dirasakan oleh seluruh masyarakat.
Pungutan Pajak dalam Sistem Kapitali VS Sistem Islam
Banyaknya pungutan Pajak yang diikuti kenaikan nilainya hampir di setiap tahun merupakan konsekuensi logis dari penerapan sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini.
Dalam sistem kapitalisme pajak dianggap sebagai salah satu sumber pendapatan negara. Negara sangat kreatif memburu setoran pajak dari rakyatnya. Di Indonesia sendiri, ada banyak jenis pajak yang ditetapkan. Di antaranya Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Materai, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Dijadikannya pajak sebagai sumber pendapatan negara tercermin dari apa yang dikatakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Konfrensi Pers: RAPBN dan Nota Keuangan tahun 2024. Ia mengatakan bahwa postur RAPBN ditargetkan tumbuh 8,9% dengan target penerimaan perpajakan Rp2.307,9 triliun. Ia juga mengharapkan agar peneriamaan perpajakan semakin konsisten antar berbagai sumber pajak. (pajak.go.id) .
Ditetapkannya beragam pungutan pajak sejatinya merupakan pemalakan pada rakyat dengan dalih membangun negara secara gotong royong. Sayangnya, kebijakan penguasa sering kali tak berpihak pada rakyat bahkan cenderung menzhalimi. Padahal mereka digaji dari hasil keringat rakyat melalui pungutan yang dilegalkan bernama pajak.
Dalam Islam, pajak (dharaib) bukanlah sumber pendapatan negara. Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya An NIzham Al-Iqtishady fi Al _islam menjelaskan bahwa sumber pendapatan Baitul Mal adalah fai, ganimah, anfal, kharj, jizyah, dan pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya.
Pemasukan harta milik negara, usyur, khumus, rikaz, dan harta zakat. Namun, harta zakat diletakkan di bagian khusus yang tidak akan diberikan selain kepada delapan asnaf.
Selain menetapkan sumber-sumber pendapatan negara Islam juga menentukan pos-pos pengeluaran. Pemasukan harta dari hak milik umum dimasukkan di bagian khusus Baitul mal dan tidak boleh dicampurkan dengan harta lain karena harta tersebut menjadi hak milik seluruh kaum muslimin yang akan diberikan untuk kemaslahatan kaum muslimin.
Adapun harta-harta lain yang menjadi hak Baitul Mal akan diletakkan di dalam Baitul Mal dengan harta lain dan dibelanjakan untuk urusan negara dan umat -termasuk delapan asnaf.
Jika harta di dalam Baitul Mal tersebut cukup untuk membiayainya maka cukup hanya menggunakan harta itu saja. Apabila tidak, maka negara boleh menarik pajak (dharaib) untuk menunaikan tuntutan dari pelayanan urusan umat.
Tata cara pemungutan Pajak juga telah ditetapkan. Pajak hanya akan diambil dari sisa nafkah (kebutuhan hidup) dari orang kaya. Harta orang kaya tersebut adalah merupakan sisa dari kebutuhan primer serta kebutuhan sekunder yang ma’ruf.
Artinya, penarikan pungutan pajak hanya pada orang kaya saja dan tidak menyasar ke seluruh rakyat. Hal ini tentu saja berbeda dengan apa yang sedang diterapkan di negeri ini.
Penarikan pajak di dalam Islam hanya bersifat temporal, yaitu saat kas negara benar-benar kosong bukan menjadi agenda rutin dan digunakan untuk membiayai pengeluaran wajib negara.
Demikianlah, kesempurnaan dan kecemerlangan sistem Islam akan melahirkan pemimpin yang amanah dalam mengatur dan menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyat, meringankan beban, dan menjauhkan rakyat dari kesulitan ekonomi.
Karakter pemimpin seperti ini akan mustahil kita dapatkan selama masih menerapkan sistem Kapitalis. Justru, kita akan dipimpin oleh pemimpin dan rakus dan minim empati. Wallahu ‘A’lam bis Shawab.[]
Comment