Penulis: Rizki Utami Handayani, S.ST | Pengajar Ma’had Cinta Quran Center
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Kesehatan adalah salah satu kebutuhan pokok masyarakat yang sangat krusial, karena sehat merupakan modal utama seseorang mencapai sebuah produktifitas.
Namun kesehatan kini seperti barang mahal, yang membutuhkan tidak sedikit biaya untuk mempertahankannya. Apalagi jika sudah jatuh ke dalam kondisi sakit hingga membutuhkan perawatan dari mulai yang ringan hingga intensif.
Baru baru ini pemerintah meluncurkan program pemeriksaan kesehatan gratis bagi seluruh rakyat di hari ulang tahun.
Dikutip dari beritasatu.com, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan, program cek kesehatan gratis mulai diluncurkan pekan kedua Februari 2025. Sebanyak 10.000 puskesmas dan 20.000 klinik swasta dilibatkan dalam program tersebut.
Anggaran program tersebut sebanyak Rp 4,7 triliun yang bersumber dari anggaran pendapatan belanja negara (APBN). Selain itu, sebanyak 10.000 puskesmas dan 20.000 klinik swasta akan dilibatkan dalam program tersebut untuk terlibat dalam program cek kesehatan gratis ini.
Sikutip dari kompas.com, pemerintah mengimbau masyarakat untuk mengunduh dan membuat akun pada aplikasi SATUSEHAT Mobile. Di aplikasi tersebut, pemilik akun akan mendapatkan tiket pemeriksaan, dilengkapi dengan notifikasi yang dikirim H-30, H-7, H-1, dan pada hari H ulang tahun.
Pada H-7 sebelum ulang tahun, Anda akan menerima kuesioner skrining kesehatan yang perlu diisi secara mandiri. Tiket pemeriksaan tersebut dapat digunakan di Faskes Tingkat Pertama maksimum 30 hari setelah hari ulang tahun (H+30).
Kebijakan ini seolah tampak pro-rakyat di tengah berbagai kebijakan lain yang jauh lebih berat. Kenaikan harga listrik, gas, bahan bakar minyak (BBM), dan semakin sulitnya akses terhadap layanan publik yang menjadi hak dasar rakyat adalah beberapa contoh nyata dari ketimpangan kebijakan yang terjadi.
Dalam konteks ini, kebijakan yang tampaknya populis justru dapat menjadi alat pengalihan isu dari realita yang lebih besar, termasuk permasalahan dalam sektor kesehatan yang hingga hari ini masih menjadi tantangan besar di Indonesia.
Salah satu tantangan terbesar dalam layanan kesehatan di Indonesia adalah keterbatasan fasilitas kesehatan, terutama di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T). Selain itu, kekurangan tenaga medis dan minimnya sarana prasarana menjadi masalah yang terus menghambat akses layanan kesehatan yang layak bagi seluruh masyarakat.
Infrastruktur yang belum merata juga menjadi faktor yang kian memperburuk situasi ini, karena banyak masyarakat di daerah terpencil harus menempuh perjalanan jauh dan sulit untuk mendapatkan layanan kesehatan dasar.
Memang benar bahwa pemerintah berencana untuk melaksanakan perbaikan layanan kesehatan secara bertahap. Namun, dengan melihat tingginya angka korupsi serta keberpihakan pembangunan yang sering kali hanya menguntungkan kelompok tertentu, ada banyak risiko yang dapat menghambat realisasi program ini.
Dalam sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini, peran negara lebih banyak difokuskan sebagai fasilitator dan regulator, bukan sebagai penyedia utama layanan kesehatan. Akibatnya, pembiayaan kesehatan sering kali bersumber dari utang dan pajak, yang pada akhirnya justru semakin membebani rakyat. Kalaupun program ini tetap berjalan, ada kemungkinan besar bahwa rakyat akan menghadapi tambahan beban finansial, seperti kenaikan iuran atau pajak baru yang dibebankan kepada mereka.
Dalam Islam, kesehatan merupakan bagian dari layanan publik yang harus dijamin oleh negara sebagai hak dasar warga negara. Negara wajib menyediakan layanan kesehatan yang berkualitas dan gratis bagi seluruh rakyat, baik yang kaya maupun miskin, Muslim maupun non-Muslim.
Hal ini merupakan implementasi dari peran negara sebagai “ra’in” (pengurus urusan rakyat) dan “junnah” (pelindung rakyat). Prinsip ini didasarkan pada berbagai dalil dalam Islam, di antaranya hadis Rasulullah saw., “Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam Islam, pembiayaan layanan kesehatan tidak selalu bergantung pada pajak atau utang luar negeri, tetapi berasal dari Baitulmal, khususnya dari bagian kepemilikan umum.
Sumber pemasukan negara dalam sistem Islam sangat besar dan berasal dari sumber daya alam yang merupakan kepemilikan umum, seperti tambang minyak, gas, dan hasil bumi lainnya. Dengan pengelolaan yang benar dan sesuai syariat, pemasukan ini akan mampu mencukupi kebutuhan pembiayaan kesehatan rakyat.
Hal ini sangat berbeda dengan sistem kapitalisme saat ini, di mana sumber daya alam dikuasai oleh segelintir pihak, baik perusahaan swasta maupun asing, sehingga manfaatnya tidak dirasakan oleh rakyat secara langsung.
Selain itu, dalam Islam, negara sangat menekankan pentingnya upaya promotif dan preventif dalam kesehatan. Upaya ini mencakup edukasi kepada masyarakat tentang pola hidup sehat, kebersihan, pencegahan penyakit menular, dan sebagainya.
Dengan pendekatan ini, angka kesakitan dapat ditekan, sehingga beban layanan kesehatan juga menjadi lebih ringan. Rasulullah saw. sendiri telah memberikan banyak tuntunan mengenai pola hidup sehat, seperti menjaga kebersihan, mengatur pola makan, dan berolahraga.
Salah satu hadis beliau yang sangat terkenal dalam bidang kesehatan adalah, “Perut adalah rumah penyakit, dan menjaga pola makan adalah obat utama” (HR. Thabrani).
Prinsip ini menunjukkan bahwa Islam memiliki perhatian besar terhadap kesehatan masyarakat sejak dini, sehingga tidak hanya berfokus pada pengobatan tetapi juga pencegahan.
Konsep layanan kesehatan dalam Islam juga menekankan bahwa pelayanan harus diberikan dengan mudah, cepat, dan profesional. Negara memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa setiap rakyat mendapatkan layanan kesehatan terbaik tanpa diskriminasi.
Hal ini juga didukung oleh sejarah peradaban Islam, di mana rumah sakit-rumah sakit Islam pada masa kekhalifahan dikenal sebagai pusat pelayanan medis yang sangat maju dan terbuka bagi semua orang, termasuk non-Muslim.
Beberapa rumah sakit Islam di masa lalu, seperti Bimaristan di Baghdad dan Kairo, tidak hanya memberikan layanan kesehatan gratis tetapi juga dilengkapi dengan fasilitas pendidikan medis yang menghasilkan tenaga kesehatan yang berkualitas.
Sebaliknya, dalam sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini, layanan kesehatan sering kali diperlakukan sebagai komoditas yang dijual dengan harga tinggi. Akibatnya, hanya masyarakat kelas menengah ke atas yang dapat menikmati layanan kesehatan yang berkualitas, sementara masyarakat miskin harus berjuang dengan keterbatasan akses dan fasilitas yang seadanya.
Asuransi kesehatan yang diterapkan dalam sistem ini juga tidak menjamin akses kesehatan yang merata, karena pada akhirnya tetap ada biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat, baik melalui premi, iuran, atau biaya tambahan lainnya.
Kondisi ini semakin diperparah dengan sistem pengelolaan kesehatan yang berbasis keuntungan. Rumah sakit swasta sering kali lebih mengutamakan pasien yang mampu membayar, sementara rumah sakit pemerintah menghadapi berbagai keterbatasan, seperti kurangnya tenaga medis, fasilitas yang kurang memadai, serta antrean panjang yang membuat pasien harus menunggu lama untuk mendapatkan pelayanan.
Sistem ini jelas tidak berpihak pada kepentingan rakyat, tetapi lebih menguntungkan pihak-pihak yang memiliki modal besar.
Untuk mewujudkan sistem kesehatan yang ideal, diperlukan perubahan mendasar dalam cara negara mengelola layanan kesehatan. Negara harus mengambil peran utama dalam penyediaan layanan kesehatan, bukan hanya sebagai regulator yang menyerahkan layanan kesehatan kepada mekanisme pasar.
Pengelolaan sumber daya alam sebagai kepemilikan umum harus dikembalikan ke tangan negara, sehingga hasilnya dapat digunakan untuk membiayai layanan publik, termasuk kesehatan. Selain itu, perlu ada reformasi dalam pendidikan kedokteran dan distribusi tenaga medis agar tidak terjadi ketimpangan antara daerah perkotaan dan pedesaan.
Kesimpulannya, layanan kesehatan merupakan hak dasar yang harus dijamin oleh negara. Sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini telah terbukti gagal dalam menyediakan layanan kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh rakyat.
Sebaliknya, Islam menawarkan konsep kesehatan yang berbasis pada kesejahteraan rakyat dengan pembiayaan yang berasal dari kepemilikan umum, serta penekanan pada upaya promotif dan preventif.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan layanan kesehatan yang berkualitas, gratis, dan merata, diperlukan penerapan sistem Islam dalam pengelolaan layanan kesehatan.
Hanya dengan sistem yang benar, rakyat dapat memperoleh hak mereka tanpa terbebani oleh biaya yang tidak seharusnya mereka tanggung.[]
Comment