Kebijakan Cukai Bagi Minuman Berpemanis, Solusi atau Ilusi?

Opini610 Views

 

Penulis: Eva Arlini, S.E |Pengurus Rumah Quran al Aqsho

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Siapa yang tak suka minuman manis. Terbukti konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) meningkat dalam 20 tahun terakhir. Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mencatat peningkatan sekitar 15 kali lipat yakni dari 51 juta liter pada 1996 menjadi 780 juta liter pada 2014. (tirto.id/05/02/2024).

Pada tahun 2020, Indonesia ada di peringkat ke 3 sebagai negara pengonsumsi MDBK tertinggi di Asia Tenggara. Kebiasaan minum minuman manis di masyarakat pun berujung tragis. Jutaan orang kini mengidap penyakit diabets. International Diabetes Federation (IDF) melaporkan bahwa orang usia 2- -79 tahun yang mengidap diabetes di Indonesia berjumlah 19,5 juta jiwa pada 2021. (https://tirto.id/05/02/2024).

Celakanya, dari total penderita diabetes, sebanyak 73,7 persen adalah kasus yang tidak terdiagnosa secara resmi oleh dokter. Artinya lebih dari 50 persen penderita diabets tidak menyadari penyakitnya dan tetap menjalankan gaya hidup seperti biasa tanpa ada penganan sejak awal.

Di samping itu sekitar 8,6 juta anak di bawah usia 19 tahun diketahui mengalami diabetes tipe 1 yang merupakan kondisi akut. Organ pankreas mereka telah rusak, tak mampu lagi memproduksi insulin, sehingga harus berada dalam perawatan seumur hidup.

Solusi Rancu Bagi Masalah Diabetes

Ada dua tujuan pemerintah menetapkan cukai bagi MBDK. Pertama, untuk menekan salah satu faktor risiko dari banyaknya penyakit tidak menular yang terjadi di masyarakat, seperti diabetes. Menurut World Health Organization (WHO), pajak atas minuman berpemanis bisa menajdi alat ampuh mencegah penyakit diabetes karena dapat mendorong perusahaan memformulasi ulang produknya untuk mengurangi kadar gula. https://www.cnnindonesia.com/02/08/2023

Namun berbeda dengan analisis WHO terkait hal tersebut, pemerintah Indonesia memandang penetapan cukai akan mendorong perusahaan untuk merombak ulang produknya guna mempertahankan pendapatan.

Diprediksi respon perusahaan antara lain menaikkan harga jual, mempertahankan harga jual tapi memperkecil atau mengurangi isi dalam kemasan, atau mengorbankan margin demi mempertahankan pasar.

Diperkirakan demikian karena secara logis perusahaan yang tulang punggung pendapatannya dari minuman berpemanis pasti merasa rugi dan takkan tinggal diam dengan kebijakan yang menggerus pendapatan mereka. Tampaknya prediksi seperti ini dianggap positif bagi pemerintah.

Karena ada tujuan kedua dari penetapan cukai bagi MBDK, yakni adanya potensi penerimaan cukai ke kas negara yang bisa mencapai Rp 6,25 triliun. Hal ini pernah disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani di hadapan Komisi XI DPR RI pada Februari 2020. (https://www.cnbcindonesia.com/23/02/2024).

Bukankah menjadi rancu bagi kita dua tujuan tersebut. Di satu sisi, jika analisis WHO yang benar, negara akan gagal meningkatkan pendapatannya dari cukai MBDK. Namun jika prediksi pemerintah Indonesia yang terjadi, maka permasalahan diabetes tetap ada bahkan semakin meningkat. Jadi sebenarnya pemerintah kita ingin menyelesaikan masalah penyakit diabetes atau meningkatkan pendapatan negara?

Di sisi lain kondisi masyarakat yang sebagian lemah ekonomi serta rendah tingkat pendidikannya, meniscayakan minimnya literasi tentang kesehatan dan keamanan pangan. Perusahaan dan pemerintah yang berorientasi materi, serta masyarakat yang kurang peduli soal kesehatan dan keamanan pangan menjadikan penanganan masalah diabetes serasa ilusi.

Diabtes Butuh Solusi Mendasar

Begitulah, solusi permasalahan ala kapitalis sekuler kerap tak solutif menuntaskan masalah. Sebab pemisahan agama dari kehidupan yang menjadi dasarnya meniscayakan manusia mengutamakan kepentingan dirinya sendiri, sehingga pemimpin tak maksimal memikirkan jalan terbaik untuk rakyatnya.

Terlebih agama yakni Islam adalah aturan hidup yang Allah swt turunkan untuk menyelesaikan masalah manusia. Allah swt tidak menciptakan manusia melainkan sepaket dengan tuntunan hidup Islam bagi mereka. Maka merujuk pada syariat Islam dalam menyelesaikan masalah seperti diabetes ini adalah tindakan yang tepat.

Islam memandang bahwa negara wajib menjaga kesehatan rakyatnya. Maka negara harus melakukan upaya yang mendasar dan menyeluruh agar kesehatan rakyatnya terjaga. Penguasa pun menjalankan tugasnya dengan dasar iman, sehingga memandang jabatan sebagai amanah, bukan sarana mencari keuntungan.

Rasulullah saw bersabda: “Imam itu adalah pengurus. Dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya. (HR. Ahmad).

”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Muttafaqun ’Alayh).

Sejumlah hal akan dilakukan oleh negara.

Pertama, negara menetapkan kebijakan dalam industri makanan dan minuman yang menjamin kesehatan rakyat dalam prinsip halal dan thayyib. Akan ada sanksi yang dikenakan pada pelaku industri yang menjual produk yang tidak thayyib.

Kedua, penguasa juga akan menyediakan sarana kesehatan yang memadai ssecara gratis maupun memaksimalkan edukasi pada masyarakat mengenai pola hidup yang berkualitas.

Ketiga, pemerintahan pun akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang menjamin kemampuan rakyat untuk hidup sejahtera, bisa makan dan minum yang bergizi hingga kesehatan mereka terjaga.

Keempat, penguasayang berdasarkan Islam tak menjadikan cukai sebagai sumber pendapatan negara serta cara mengatur distribusi barang di dalam negeri. Islam telah menetapkan sumber – sumber pendapatan negara sebagaimana disebutkan dalam Kitab Nizhamul Iqtishadiyah karya Syekh Taqiyuddin an Nabhani.[]

Comment