Kasus Stunting dan Peran Negara

Opini877 Views

 

 

Oleh: Hasriyana, S.Pd, Pemerhati Sosial Asal Konawe

__________

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Kasus stunting masih saja menjadi problem yang belum bisa diselesaikan oleh negara. Bahkan menurut data survei BKKBN kasus stunting di Indonesia telah mencapai 24,4 persen, Angka ini justru masih berada di atas standar yang telah ditetapkan oleh WHO yaitu 20 persen. Padahal Indonesia dikenal dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, namun mengapa bisa mengalami banyak gizi buruk?

Dikutip dari Antaranews.com (23/9/2022), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menggandeng sejumlah mitra swasta dan asing untuk memperkuat penanganan penurunan prevalensi stunting. Kini masalah yang kita hadapi adalah ketika bangsa kita menghadapi bonus demografi, tapi di satu sisi kita punya angka stunting yang masih 24,4 persen, kata Kepala BKKBN dalam acara penandatanganan MoU BKKBN bersama Mitra di Jakarta.

Kerja sama tersebut dituangkan dalam Nota Kesepahaman (MoU) yang ditandatangani oleh BKKBN bersama Tanoto Foundation, PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMMAN), Yayasan Bakti Barito, dan PT Bank Central Asia Tbk serta Amerika Serikat, melalui United States Agency for International Development (USAID).

Meningkatnya kasus angka stunting, negara kini memberikan solusi dengan berkolaborasi pada beberapa pihak terkait demi tercapainya target penurunan angka gizi buruk tersebut. Bahkan bukan hanya kolaborasi dengan perusahaan yang berada di dalam negeri, agency dari negara Paman Sam pun jadi mitra. Namun bukankah kolaborasi tersebut bisa menjadi pintu masuknya program asing yang dapat mengeksploitasi potensi generasi muda, mengingat dalam pandangan sekuler hari ini tidak ada makan siang yang gratis.

Pun, dengan wacana pemerintah memberikan bapak asuh terhadap anak-anak yang stunting justru solusi yang tidak solutif, mengapa? Karena hal ini seolah berlepas tanggung jawabnya orang tua terhadap anak. Bahkan hal yang lebih menakutkan jika bapak asuh itu dari kalangan LGBT. Maka anak asuh tersebut kemungkinan akan diasuh sesuai paradigma berpikir bapak asuh tersebut, yang bisa saja anak tersebut juga akan menjadi penurus para LGBT. Astagfirullah.

Padahal Indonesia dengan sumber daya alam yang dimilikinya begitu melimpah, namun masih saja kita dapatkan anak anak di berbagai daerah tidak mendapatkan asupan gizi dan nutrisi yang baik. Semua itu karena SDA yang ada lebih banyak dikuasai swasta dari pada negara. Padahal tidak terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat dengan baik menjadi salah satu faktor anak-anak tidak mendapatkan gizi yang baik.

Hal ini justru berbeda dengan Islam. Dalam Islam, penguasa bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Bahkan negara tidak akan memberikan peluang terhadap asing untuk ikut campur pada persoalan negara, mengingat bisa jadi mereka akan mengintervensi kebijakan, apalagi hingga mengeksploitasi generasi muda.

Rasulullah Saw. bersabda: “Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan diminta pertanggung-jawaban perihal rakyat yang dipimpinnya” ( HR. Muslim).

Selain itu, negara akan memenuhi kebutuhan pokok hidup masyarakat, jikapun tidak gratis diberikan, harganya dapat dijangkau oleh masyarakat. Sehingga pemenuhan gizi dan nutrisi bagi keluarga dapat dipenuhi oleh kepala rumah tangga. Sebab sumber daya alam yang ada dimaksimalkan manfaatnya oleh negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Sehingga tidak akan kita temukan anak dengan kondisi stunting. Wallahu a’lam.[]

Comment