Karhutla dan Dampak Orientasi Materialis Masyarakat

Opini373 Views

 

 

Oleh : Widya Soviana, Dosen dan Pemerhati Masalah Sosial Masyarakat

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) terus saja terjadi di sejumlah wilayah Indonesia. Kegiatan pembakaran hutan dilakukan dalam rangka membuka dan memperluas lahan perkebunan. Langkah ini dianggap paling efisien tanpa harus menggunakan sumber daya lainnya untuk menebang dan membersihkan lahan yang ingin digunakan.

Tidak hanya masyarakat, kegiatan pembakaran hutan terkadang dilakukan oleh perusahaan yang telah mengantongi konsesi untuk penebangan hutan, seperti yang terjadi di Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan oleh banyak perusahaan pada tahun 2022 (menlhk.go.id, 22/01/22).

Meskipun sanksi hukum telah dijatuhkan kepada dua perusahaan tersebut, namun kasus Karhutla masih terjadi setelahnya. Menurut berita yang dilansir dari Kompas.id (20/01/23), kebakaran hutan bahkan akan meningkat di sepanjang tahun 2023.

Dampak Karhutla

Kegiatan pembakaran hutan telah mengancam keberlangsungan hidup flora dan fauna. Hutan yang menjadi habitat bagi sejumlah spesies terancam kelaparan dan punah. Tidak sedikit pula satwa yang harus meregang nyawa akibat api yang membakar diri mereka (merdeka.com, 19/09/19).

Kebakaran lahan yang berdampak pada 10 hektar habitat gajah Sumatera juga terjadi di Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis pada pertengahan Juni 2023 (medcom.id, 25/06/23).

Hilangnya habitat bagi satwa telah menyebabkan mereka turun ke perkebunan masyarakat untuk mencari makanan dan menyelamatkan diri. Belum ada informasi secara rinci terhadap jumlah satwa yang terdampak oleh Karhutla di Indonesia.

Adapun berdasarkan hasil studi World Wide Fund for Nature (WWF), setidaknya 3 milyar satwa mati akibat kebakaran hutan yang terjadi di Australia pada tahun 2019 dan 2020 (liputan6.com, 30/07/20).

Klaim ini dapat dijadikan rujukan bahwa karhutla yang terjadi senantiasa menyebabkan kematian bagi satwa yang berada di habitatnya.

Tidak hanya satwa, Karhutla juga berdampak pada kehidupan masyarakat. Asap yang ditimbulkan oleh Karhutla berdampak pada kesehatan dan berbagai aktivitas manusia.

Tidak sedikit satwa liar yang merusak perkebunan warga karena semakin sedikitnya ruang gerak bagi mereka. Seperti yang terjadi di Riau pada bulan Februari tahun 2022, gajah Sumatera telah merusak kebun sawit warga sehingga menurunkan tim penyisir gajah guna mengatasi konflik antara masyarakat dan satwa liar (ksdae.menlhk.go.id, 10/02/22).

Materialisme melunturkan kesadaran manusia untuk menjaga keseimbangan lingkungan.

Pandangan kehidupan pada keuntungan semata (materialisme) telah menyebabkan manusia menghalalkan segala cara. Praktik Karhutla yang dilakukan oleh masyarakat secara individu dan kelompok telah menyebabkan rusaknya keseimbangan alam.

Karhutla tidak hanya menghilangkan rumah tinggal bagi satwa, namun dampak dari penggundulan hutan juga mengancam berbagai potensi bencana seperti hilangnya kestabilan tanah yang dapat menyebabkan banjir dan longsor. Ketiadaan hutan sebagai peyangga alami secara langsung telah merugikan kehidupan masyarakat secara luas.

Meskipun ada sanksi undang-undang yang ditetapkan pada pelaku Karhutla, namun pembakaran lahan tetap saja terjadi. Ini mengindikasikan bahwa tidak cukup hanya dengan hukuman denda dan penjara untuk menghentikan kejadian Karhutla. Perlu edukasi secara tersistem dan terus menerus untuk menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengelola dan menjaga lingkungan secara bersama-sama.

Penting untuk menjadi renungan terhadap berbagai bencana yang melanda berbagai negeri. Sebagaimana firman Allah Ta’ala di dalam surah Ar Rum ayat 41 yang artinya “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

Oleh karena itu, pandangan materialisme telah menjauhkan manusia dari tuntunan fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi, yakni sebagai makhluk yang diberikan amanah tanggung jawab oleh Allah Ta’ala untuk mengelola dan menjaga alam dan lingkungannya.

Pandangan Islam terhadap hutan.

Islam menetapkan hutan sebagai satu dari tiga kepemilikan umum, di samping sumber air dan pertambangan. Dalam hadits Rasulullah Shalallahu’alaihi wa salam bersabda “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api”. (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Artinya secara individu dan kelompok ketiga hal tersebut tidak dapat dimiliki dan dikuasai. Oleh karenanya setiap masyarakat dapat memanfaatkannya sebagaimana udara yang dihirup oleh setiap individu dan matahari yang bersinar di seluruh permukaan bumi.

Kerusakan hutan oleh sekelompok orang telah merampas hak masyarakat terhadap pemanfaatan hutan sebagai salah satu kepemilikan umum. Yang mana dengan hutan tersebut, masyarakat seharusnya memperoleh banyak manfaat secara bersama-sama seperti udara yang bersih, menjaga keseimbangan permukaan air tanah dan berbagai manfaat lainnya dari flora dan fauna yang tersedia di dalam hutan.

Dengan mengelola dan memanfaatkan hutan secara bijaksana, maka anugerah hutan sebagai sumber daya alam akan menjadi rahmat tidak hanya bagi manusia namun juga untuk seluruh alam semesta.[]

Comment