Kapitalisme dan Nasib Buruh Pekerja Migran Indonesia 

Opini373 Views

 

 

Oleh: Adzkia Tharra, Aktivis Muslimah

__________


RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Secara fitrah, manusia memiliki kebutuhan jasmani yang harus dipenuhi seperti kebutuhan pokok atau basic human needs sebagai kebutuhan utama demi keberlangsungan hidup manusia. Manusia harus bekerja agar memiliki pemasukan ekonomi guna terpenuhi kebutuhan pokok tersebut.

Namun lapangan kerja saat ini semakin sulit didapat yang berdampak pada meningkatnya jumlah pengangguran.
Di Indonesia, setiap tahunnya ratusan hingga ribuan lulusan universitas yang saling berlomba mencari pekerjaan.

Hal ini terjadi karena ketidak-seimbangan antara SDM yang ada dengan lapangan pekerjaan yang tersedia. Akibat keterbatasan kesempatan bekerja di Indonesia ini membuat masyarakat berfikir untuk keluar dari keterbatasan lapangan dan kesempatan kerja dengan keputusan pergi ke luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia atau sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI), baik laki-laki maupun perempuan. Mereka yang memutuskan bekerja di luar negeri karena ingin mendapatkan gaji yang besar dan syarat untuk bekerja yang mudah.

Hal ini menggambarkan bahwa kondisi kemiskinan masih banyak terjadi di dalam negeri. Tak jarang, mereka berangkat hanya dengan modal nekat merubah nasib untuk menafkahi anak istri atau membantu perekonomian keluarga.

Keamanan migrasi nyatanya hanya isapan jempol belaka. Bahkan, selama sistem ekonomi kapitalisme yang digunakan, maka keamanan pekerja mustahil terwujud. Dalam kapitalisme perempuan di dorong untuk ikut bekerja guna menopang perekonomian keluarga, bahkan sebagai devisa negara namun dalam relasi dan proses ini, yang lebih diuntungkan adalah para kapitalis.

Pemerintah selalu memperingati setiap tanggal 1 Mei sebagai peringatan hari buruh International. Namun, setiap tahun buruh tetap menuntut kesejahteraan dan tuntutan mereka tidak pernah terealisasi. Nasib mereka masih saja memprihatinkan.

Laman bbcindonesia.com (3/3/2023) menulis bahwa buruh perempuan mengalami nasib yang lebih memprihatinkan. Sebagaimana yang dialami oleh Meriace, seorang mantan pekerja migran Indonesia asal Nusa Tenggara Timur. Dia mengaku mendapatkan penyiksaan kejam oleh majikannya selama bekerja di negeri Jiran sekitar delapan tahun delapan bulan lalu. Ribuan kasus yang sama juga menimpa pekerja rumah tangga Indonesia di Malaysia, ratusan di antaranya mengalami kasus penganiayaan termasuk penyiksaan fisik.

Kasus yang terjadi di Malaysia ini hanya salah satu dari sekian banyak fakta yang ada saat ini. Banyak kasus serupa yang terjadi di belahan bumi lain, bahkan berujung dengan hilangnya nyawa pekerja migran. Berbagai gerakan serta organisasi dibentuk untuk melindungi para pekerja migran. Upaya dan berbagai cara terus dilakukan. Namun, selama gerakan tersebut berdasarkan asas kapitalisme, realitas yang ada sulit di hentikan. Sebab tolok ukur gerakan ini adalah kapitalisme liberal yang sangat bebas tanpa batas – mengenyampingkan keadilan dan lebih mengutamakan asas kepentingan.

Selain itu, kapitalisme juga menguasai sumber daya alam di negeri ini. Kapitalisme mengakibatkan sumber daya alam dikuasai segelintir orang. Akibatnya, rakyat menderita di negeri yang kaya raya. Ibarat itik mati di lumbung padi. Pengangguran di mana-mana, kemiskinan pun merajalela. Dengan demikian, kapitalisme telah melahirkan nasib buruk bagi masyarakat, termasuk pekerja migran.

Tentu, hal ini sangat berbeda dengan Islam. Islam menjamin keamanan bagi pekerja, baik laki-laki ataupun perempuan. Allah menetapkan penganiayaan juga pembunuhan sebagai dosa besar. Al Qur’an telah menetapkan bahwa pembunuhan tanpa alasan yang telah dibenarkan oleh syara’, berarti telah membunuh seluruh manusia. Islam memberi hukuman yang tegas dan keras berupa qishosh bagi pembunuh atau membayar diyat 100 ekor unta jika pihak keluarga terbunuh mau memaafkan.

Sanksi hukum Islam, akan memberikan efek jera bagi pelaku dan sebagai peringatan kepada orang lain yang akan memunculkan rasa takut untuk coba coba melakukan kejahatan yang sama.
Islam menjamin nafkah seorang perempuan juga anak-anak yang tidak memiliki wali yang bisa menanggung nafkahnya. Perempuan tidak perlu banting tulang sebagai tulang punggung keluarga, terlebih harus migrasi meninggalkan kewajibannya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga untuk sesuap nasi.

Islam mengelola sumber daya alam berdasarkan syariat sehingga mampu membuka lapangan pekerjaan Untuk rakyat banyak. Negara membantu para kepala keluarga memenuhi kebutuhan pokok berupa sandang, pangan dan papan tanpa perlu bersusah payah menjadi butuh di negeri asing. Selain itu, negara juga menjamin kebutuhan pokok publik, yaitu pendidikan, kesehatan dan keamanan secara berkualitas dan gratis.

Dengan mekanisme Islam, perempuan bisa memainkan perannya yang begitu mulia, sebagai istri dan juga ibu generasi, yang siap membangun peradaban Islam ke depan.

Hanya dengan implementasi nilai nilai Islam saja akan terwujud sistem kehidupan yang saling terkait. Keadilan, kesejahteraan dan keberkahan dapat diraih. Wallahu a’lam bisshowab.[]

Comment