Oleh : Vinda Puri Orcianda, Aktivis Muslimah
_________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Di tengah kondisi perekonomian dunia yang Kian carut marut saat ini, kabar terdengar bahwa seorang hakim tertangkap kasus korupsi.
Tidak cukup hanya satu orang namun dalam kasus ini pihak Komisi Pemberantasan Korupsi menahan tersangka kedelapan dalam kasus suap pengurusan perkara yang menyeret hakim agung nonaktif Sudrajad Dimyati. Tersangka itu adalah Ivan Dwi Kusuma Sujanto selaku debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana.
Ivan merupakan tersangka pemberi suap kepada Dimyati dkk. Karyoto mengatakan Ivan ditahan di Rumah Tahanan Polres Jakarta Timur. Dia akan menjalani penahanan 20 hari pertama sejak 4 Oktober hingga 23 Oktober 2022. Dengan penahanan ini, berarti semua tersangka dalam kasus suap Sudrajad Dimyati telah resmi ditahan, (tempo.co, 4/10/22).
Para pemangku amanah hukum di Indonesia, yang diberi gelar tangan Tuhan, karena notabene nya merekalah yang memegang dan mengatur hukum tegak di negeri ini, namun mereka pulalah yang mempermainkan hukum.
Miris melihat angka korupsi dan suap menyuap di badan hukum dan berbagai instansi pemerintahan di Indonesia semakin hari malah semakin subur dan tidak mampu dibendung oleh berbagai kebijakan yang diambil oleh para pemangku kebijakan.
Mafia peradilan dan hukum hari ini bertebaran di mana-mana, fenomena korupsi pun kini bukan menjadi sesuatu yang langka untuk ditemui di negeri tercinta ini. Para pelaku korupsi juga sudah tak malu-malu lagi untuk melakukannya seolah korupsi adalah hal yang biasa.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyoroti sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia. Dia menilai korupsi akan terus ada apabila sistem demokrasi tidak dievaluasi.
Menurut Bamsoet, sekalipun ada lima Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia, korupsi tidak akan berhasil diberantas jika masih mempertahankan sistem demokrasi yang ada.
“Lima lembaga KPK pun saya yakin tidak mampu berantas korupsi kalau sistem demokrasi tidak kita evaluasi,” ujar Bamsoet saat menerima kunjungan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di Gedung MPR, Senayan, sebagaimana dikutip kompas.com, (10/10/2022).
Inilah gambaran pemberantasan korupsi di Indonesia yang tidak pernah berujung. Penerapan sistem demokrasi yang diusung oleh oligarki tidak akan mampu untuk menegakkan keadilan secara sempurna.
Dalam sistem kapitalisme para pemegang modal yang memiliki kekuasaan, sehingga mampu membuat peraturan dan kebijakan yang menguntungkan diri dan kelompoknya.
Kondisi ini sangat umum terjadi di dalam negara sekuler yang memisahkan antara agama dan aturan kehidupan dan membuat dunia politik jauh dari aturan agama. Bahkan sering kita mendengar komentar mereka agar tidak membawa-bawa agama ke dan di dalam politik.
Orientasi para pejabat bukanlah kepentingan rakyat dan karena Allah semata, namun hanya kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Hal ini dikarenakan kedudukan politik sangatlah mahal harganya, mulai dari saat mengiklankan diri, sogok menyogok agar jalan menuju jabatan lebih mulus dan demi membeli suara rakyat. Para pejabat sudah barang tentu disokong oleh para pemilik modal demi menarik keuntungan bagi sang pemodal setelah pionnya berhasil menjadi penjabat.
Begitulah sistem kapitalis sekuler ini, tidak heran praktik korupsi akan selalu terjadi.
Sistem seperti ini berbeda jauh dengan sistem politik dalam Islam. Syariat atau aturan Allah menjadi pijakan dan tolak ukur bagi seorang Pemimpin membuat sebuah kebijakan.
Para khalifah (pemimpin) terdahulu sangat amat paham bahwa menjadi periayah (pengurus) adalah sebuah tanggung jawab yang sangat besar dan teramat berat. Sebab konsekuensi dari kepemimpinannya di dunia Akan diminta pertanggung-jawaban di akhirat kelak. Oleh karena itu mereka sangat berhati-hati menjalankan tugasnya, terutama dalam mengelola kekayaan negara.
Sebagaimana masa pemerintahan Khalifah Umar Bin Khathab pada saat muncul pertanyaan di sebagian kalangan kaum muslimin terkait harta yang halal bagi Amirul Mukminin dari harta (Baitul Mal).
Umar memberikan jawaban “Akan aku sampaikan kepada kalian apa yang halal bagiku dari harta tersebut; satu pakaian untuk musim dingin dan satu pakaian untuk musim panas, bekal yang aku perlukan untuk melaksanakan ibadah haji dan umroh, makananku dan makanan keluargaku sama seperti makanan seseorang di antara quraisy biasa, dan aku adalah orang biasa seperti kebanyakan kaum muslimin ( Konsep Kepemimpinan Dalam Islam, 2017, Prof. Dr. Abdullah Ad-Dumaiji)
Beginilah seorang pemimpin dalam Islam, tegas dan tetap teguh dalam pendirian berlandaskan syariat Allah, serta wara’ (berhati-hati) dalam setiap tindakannya.
Pemimpin dalam Islam memegang teguh aqidah Islam yang dia yakini dalam menjalankan hukum negara berdasarkan perintah Allah, takut akan murka Allah kepadanya karena apapun yang dia lakukan harus dipertanggung jawabkan bukan hanya di dunia namun juga di akhirat kelak.
Negara dalam Islam sangat ketat terkait masalah harta milik pejabat, maka Islam menerapkan aturan penghitungan harta milik para pejabat sebelum menjabat, saat menjabat dan bahkan setelah menjabat. Semua harus dihitung secara teliti apakah ada penambahan atau tidak, dan jika terbukti ada penambahan yang tidak sesuai dengan hak para pemangku jabatan, maka akan dilakukan tindakan pencegahan mulai dari penyitaan, nasehat, denda, hukum cambuk hingga hukuman mati.
Dengan sikap kesadaran terhadap kehadiran Allah (idrak silabillah) yang dimiliki oleh setiap pejabat dan penegakan hukum yang tidak pandang bulu serta tegas, maka para pejabat akan berfikir ulang untuk melakukan tindakan korupsi yang merugikan negara, dengan begitu tindakan korupsi akan semakin minim angkanya.
Maka dari itu sudah pantaslah kita mengambil sistem yang datang langsung dari Allah sebagai Penguasa sesungguhnya.
Islam mampumelaksanakan dan menyelesaikan seluruh perkara atau problem kehidupan manusia hingga akar akarnya termasuk korupsi, kolusi dan nepotisme yang tumbuh subur di dalam sistem kapitalis sekuler. Wallahu ‘alam bishawab.[]
Comment