Kanti Rahmillah, M.Si*: Maraknya Prostitusi Anak Di Bawah Umur, Di Mana Peran Negara?

Opini698 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Prostitusi online semakin mendapat tempat di era pandemi. Begitupun sosmed telah menjadi media yang menghantarkan bisnis esek-esek ini pada generasi milenial.

Metode pembelajaran dari rumah pun disinyalir menjadi penyebab para ABG ikut meramaikan bisnis haram ini. Luangnya waktu dan minimnya pengawasan orang tua adalah jalan mulus bagi mereka untuk “kreatif” dalam mencari tambahan uang saku.

Tim Unit PPA Subdit IV Dit Krimun Polda Kepulauan Bangka Belitung mengungkap praktik prostitusi yang melibatkan anak di bawah umur. Diamankan 4 tersangka yang kesemuanya di bawah umur. Yakni EL (17) sebagai mucikari dan Bunga (16), An (21), M(17). Disepakati untuk satu orang PSK meminta bayaran RP 1.500.000 sedangkan penyedia biayanya RP 600.000. Sehingga pelanggan harus merogoh kocek 2.100.000 untuk mendapatkan jasa PSK tersebut. (Bangka.tribun.com 21/07/2020)

Faktor Pemicu Prostitusi Anak

Kasus ini bukan lah kasus baru dan satu-satunya. Menurut psikolog anak Ghianina Yasira Armad, BSc Psychology, MSC Child development, sekitar 150.000 anak Indonesia dilacurkan dan diperdagangkan untuk tujuan seksual. Ada 3 faktor menurut Ghianina yang menjadi pemicu maraknya bisnis kotor ini.

Pertama, Faktor ekonomi. Tingginya permintaan terhadap PSK anak pun menggiurkan para mucikari untuk memburu anak-anak yang kesulitan ekonomi.

Untuk dijadikan PSK yang siap dihantarkan pada pemesan jasa. Bahkan ditemui banyak kasus orang tuanya lah yang menjadi mucikari anaknya sendiri. Sungguh menyayat hati, demi ekonomi mereka mengorbankan masa depan anak-anaknya.

Angka kemiskinan yang tinggi di Indonesia mendorong orang-orang untuk melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan norma. Prostitusi anak pun akhirnya menjadi pilihan untuk menutupi kebutuhan keluarga yang semakin besar.

Disamping itu, habits anak-anak yang terbiasa menghambur-hamburkan uang. Fashion, “kongkow” di cafe-cafe juga budaya konsumtif mereka, telah menggelapkan mata anak “bau kencur” untuk mau terjun di bisnis ini. Padahal sejatinya mereka sedang mengganti masa depan yang cerah menjadi suram dan gelap gulita.

Kedua, Faktor Pendidikan. Pendidikan yang berorientasi pada akademik telah mengesampingkan pelajaran utamanya yaitu agama. Padahal agama adalah pedoman hidup manusia agar bisa selamat dalam mengarunginya. Akhirnya, sekolah hanya mencetak orang-orang yang siap kerja tapi tak mencetak orang-orang yang berakhlakul karimah.

Tak berbeda dengan sekolah, fungsi keluarga sebagai madrosah pertama tak berjalan. Keluarga sibuk menyelesaikan kebutuhan jasadiah. Ayah dan Ibu sibuk masing-masing, sehingga tumbuh kembang anak tak terpantau dengan optimal.

Ditambah belajar online di masa pandemi yang menjadikan anak “kurang kerjaan”. Bosan dengan pelajaran online dan stres dengan targetan kurikulum.

Akibat minimnya pemahaman agama, masyarakat jadi sulit membedakan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Apalagi anak-anak milenial yang tersuguhi budaya liberal.

Tontonan mereka penuh dengan syahwat dan bagaiman cara untuk mengejar kepuasan jasadiah. Nilai yang berkembang lalu diadopsi masyarakat pun keliru. Yaitu uang adalah sumber kebahagiaan. Karena uang adalah alat untuk mencapai kebahagiaan itu sendiri.

Ketiga, Faktor Lingkungan. Jika seorang anak tumbuh di lingkungan tempat tinggal yang permisif tehadap pelacuran. Misalnya tinggal di daerah yang banyak PSKnya, atau anggota keluarganya ada yang terlibat, atau teman-teman sepermainannya pun memiliki hubungan yang dekat dengan bisnis ini.

Akhirnya merasa ini adalah sesuatu yang biasa, bukan dosa. Banyaknya pelaku akhirnya membuat orang-orang tidak ragu dalam mengikutinya.

Budaya liberal yang menjangkiti sebagian besar masyarakat Indonesia juga dunia telah menghantarkan mereka pada kebebasan bertingkah laku. Tak peduli norma agama, yang penting rupiah mengalir untuk memenuhi keinginan mereka.

Ketiga faktor di atas menunjukan pada kita bahwa permasalahan prostitusi anak adalah masalah yang kompleks. Haruslah segera diselesaikan. Agar masyarakat bisa hidup terbebas dari problematika ini, setidaknya ada beberapa hal yang harus diperbaiki. Yaitu cara pandang individunya haruslah berasaskan Islam. Karena cara pandang sekuler telah menempatkan agama hanya di ranah ritual saja.

Selain individunya harus diperbaiki, ada peran kontrol masyarakat yang harus dijaga. Karena kejahatan terjadi bukan hanya sekedar ada niat, tapi juga ada kesempatan. Jika masyarakatnya kompak untuk menghalau tidakan prostitusi ini, maka pelaku pun akan malu dan takut untuk melanjutkkan bisnisnya.

Peran Negara Menyelesaikan Permasalahan Prostitusi Anak

Selanjutnya adalah negara yang merupakan benteng utama dalam upaya penyelesaian masalah prostitusi anak ini.

Negara harus mempunyai sistem ekonomi yang pro rakyat, agar kesejahteraan bisa dinikmati seluruh warga negara. Sehingga mereka tidak harus mengorbankan anak atau dirinya untuk terlibat bisnis prostitusi.

Negara pun harus mempunyai sistem pendidikan yang sejalan dengan agama. Agama dijadikan tolak ukur dalam setiap perbuatannya. Bahwa segala perilaku kita dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah Swt. di yaumil akhir.

Sehingga bisnis haram ini akan tidak laku. Permintan menurun karena mayoritas masyarakat paham bahwa Zina haram hukumnya. Penyedia pun akhirnya turun, selain tak ada permintaan, mereka pun paham bahwa menyediakan jasa untuk terjadinya perzinahan pun adalah dosa.

Selain itu, negara harus mempunyai sistem peradilan yang menjerakan pelaku. Misalnya, kasus mucikari ABG, yang pada akhirnya tidak diberi sanksi karena dibawah umur. Padahal 17 tahun adalah usia baligh yang pelakunya harus sudah dihukum sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku.

Negara pun bertindak tegas terhadap bisnis haram ini. Menghukum yang berzina sesuai ketentuan syariat, yaitu jilid dan rajam. Bagi penyedia jasa diberikan sanksi layaknya kriminal karena telah melakukan kejahatan.

Negara pun harus menerapkan nilai-nilai yang bermuatan Islam dalam kehidupan bersosial. Bahwa norma yang berlaku haruslah sesuai dengan syariat. Begitupun media harus diatur sedemikian rupa agar menjadi wasilah tersampaikannnya pemahaman islam dan terkondisikannya jawil iman di tengah-tengah umat. Bukan tersampaikannya stimulus syahwat.

Itulah gambaran peran pemerintah terhadap terselesaikannnya kasus prostitusi anak. Peran negara yang seperti demikian akan sulit jika pemerintahan kita berasaskan sekuler.

Maka dari itu, segera terapkan pemerintahan syarait islam secara kafah dalam bingkai Daulah Khilafah Islam. Agar prostitusi anak tak lagi ada dan masyarakat diliputi keberkahan dalam hidupnya.[]

Comment