Kanti Rahmillah, M.Si*: Cinta Muhammad Taat Syariat

Opini749 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Bulan Rabiul awal adalah bulan kelahiran Baginda besar Rasulullah SAW. Seorang manusia yang telah Allah SWT sematkan dalam dirinya suri tauladan.

Dialah yang mengubah masyarakat jahiliah menjadi masyarakat bermartabat. Menghilangkan perbudakan yang tak berkeprimanusiaan. Melarang keras budaya sadis, mengubur bayi-bayi perempuan. Membasmi praktek kotor mengurangi timbangan di pasar.

Lalu dengan keimanannya, Rasul dan para sahabat menyampaikan bahwa menyembah berhala Latta dan Uza adalah bentuk kesyirikan yang akan mendatangkan kemudhorotan. Menyeru agar umat manusia beriman kepada Allah SWT yang dengannya akan tercipta ketentraman dalam kehidupan mereka.

Perjalanan Rasul dan para sahabat menyebarkan Islam, bukan tanpa rintangan. Cacian, hinaan hingga penyiksaan fisik telah menjadi darah perjuangan mereka. Namun, kecintaan mereka pada Allah telah meneguhkan hati-hati mereka, agar istiqomah di jalan dakwah. Hingga sampailah Islam ketangan-tangan kita, kaum muslim akhir zaman yang memegang keimanan bagai menggenggam bara api panas.

Seseorang tidaklah mungkin bisa memegang Islam, melainkan dengan memiliki kesabaran yang ekstra di tengah kesulitan hidup yang merongrong keimanan mereka.

يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ

“Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi no. 2260. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Bulan Wafatnya Rasul

Bukan hanya bulan kelahirannya manusia mulia, bulan ini pun adalah bulan kesedihan terdalam umat muslim, wafatnya Rasulullah SAW. Bahkan seorang Umar bin Khatab, tak percaya akan kabar meninggalnya Rasulullah SAW. Hingga Abu Bakar membacakan surat yang menyadarkan Umar, bahwa Rasul adalah seorang manusia yang kematiannya telah dicatat di lauful mahfudz.

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ ۚ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا ۗ وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ

Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang maka dia tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada Allâh sedikit pun. Dan Allâh akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. [Ali ‘Imrân/3:144]

Allah telah memberi dua pilihan kepada umat muslim saat itu, tetap teguh dengan keislamannya atau berbalik kebelakang dengan maksud meninggalkan agama ini. Sungguh berpalingnya mereka dari agama Allah, tak akan mampu menghancurkan agama ini.

Akan terus hadir dan tumbuh para penjaga Islam yang terpercaya. Merekalah orang yang mendedikasikan hidupnya untuk menolong agama Allah. Maka jangan heran terhadap para ulama yang tak takut di penjara, hanya karena menyampaikan kebenaran. Bahkan, nyawa pun akan mereka korbankan demi tersampaikannya syariat Allah SWT.

Bulan Hijrah, dari Mekah munuju Madinah

Pada bulan Robiul awal pun, ada peristiwa besar dalam sejarah umat Islam, yaitu hijrahnya kaum muslim dari Mekkah ke Madinah. Saat dakwah di mekkah diselimuti hujan siksaan, maka turunlah perintah Allah bagi kaum muslim untuk hijrah ke Yatsrib (Madinah).

Sesampainya Rasulullah di Madinah Al Munawaroh, beliau disambut dengan hangat oleh mayoritas penduduk Madinah. Bergotong royong membangun masjid dan tempat tinggal untuk Rasululullah, itulah awal mula peradaban Islam tertancap sempurna.

Rasulullah mempersaudarakan kaum Ansor (penduduk Madinah) dan kaum Muhajirin (penduduk Mekah yang hijrah ke Madinah). Lalu membuat perjanjian dengan seluruh masyarakat Madinah, termasuk di dalamnya kepada masyarakat non muslim. Semua tertuang dalam piagam Madinah.

Dari piagam Madinah, Rasulullah telah mengajarkan pada kita arti toleransi beragama. Bersatu bahu membahu dalam kehidupan bermasyarakat. Tak memandang apakah dia muslim atau bukan. Namun toleransi bukan bermakna mencampuradukan yang hak dan batil. Toleransi adalah menghormati, tidak mengganggu dan tetap dalam koridor syariatNya.

Oleh karena itu, marilah kita memaknai maulid nabi dengan makna sebenar-benarnya. Bukan hanya seremonial terhadap kelahiran Rasulullah. Harus lahir kecintaan yang semakin tinggi pada Allah dan Rasulnya. Mencintai Nabi dengan segenap hati. Karena sesungguhnya, mencintai nabi adalah syariat yang Allah turunkan pada kita.

Adapun tanda-tanda mencintai Nabi adalah dengan mengikuti syariat yang dibawanya. Meyakini bahwa aturan yang Rasulullah bawa adalah sebenar-benarnya aturan yang Allah wahyukan kepadanya

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰإِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [An-Najm: 3-4]

Sebuah renungan bagi kita semua tentang arti cinta pada Allah dan Rasulnya. Sudahkah kita mencintai Allah dan Rasulnya dengan mentaati semua perintahNya? Karena Allah telah memerintahkan pada umat manusia, agar Kaffah dalam melaksanakan syariatNya.

Begitupun Rasulullah, telah memberikan contoh yang sempurna, bagaimana manusia menjalankan kehidupannya. Rasul telah mendeskripsikan dari mulai tata cara beribadah, sampai tatacara bernegara. Kesemuanya harus diterapkan dengan sempurna. Agar kehidupan umat manusia berlimpah keberkahan dari sang penggenggam turbin semesta, Allah SWT.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS Al Baqoroh : 208)

*Anggota Revowriter Purwakarta

Comment