Joni Hermana: Yerussalem Antara Sopronius dan Umar Bin Khattab

Berita436 Views
Alquds/google
RADARINDOESIANEWS.COM, JAKARTA – Al-Quds atau yang juga dikenal dengan nama Jerusalem,, menjadi topik pembicaraan hangat akhir-akhir ini, terutama setelah Trump secara terbuka menyampaikan pengakuannya sebagai Ibukota Israel. Pernyataan yang menyulut kemarahan banyak pihak, karena seolah menafikkan sejarah peradaban umat manusia bahwa kota itu merupakan tempat suci bagi 3 penganut agama samawi, yaitu Islam, Kristen dan Yahudi. Daerah inilah yang menjadi tempat tinggalnya banyak Nabi dan Rasul serta juga tempat yang menjadi awal perjalanan menuju Sidratul Muntaha oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam saat peristiwa Isra’ dan Mi’raj.
Mungkin Trump perlu belajar sejarah, setidaknya ia perlu meneladani bagaimana Khalifah Umar bin Khattab, menunjukkan kebesarannya sebagai seorang pemimpin, penguasa sekaligus negarawan yang mulia. 
Saat terjadi pertempuran pembebasan wilayah utara Timur Tengah, mulai wilayah Palestina, Yordania, pesisir Levantina, dan Suriah oleh pasukan Islam dari penguasaan tentara Byzantium (Kekaisaran Romawi-Yunani) yang berakhir dengan pengepungan Jerusalem pada tahun 637 M, terjadi perdebatan antara pimpinan pasukan Byzantium, Artavon dengan Uskup Agung Gereja Jerusalem yaitu Patriarch Sophronius. Artavon tidak ingin bila Jerusalem diserahkan pada pasukan Islam. Di lain sisi, Sophronius menginginkan Jerusalem diserahkan pada pasukan Islam dengan damai. Dia yakin kedatangan pasukan Islam sebagai bentuk kehendak Tuhan. 
Keputusan akhir inilah yang kemudian diambil, dan hal itu lalu disampaikan kepada pasukan Islam dengan syarat bahwa yang harus menerima “kunci kota” adalah Khalifah Umar bin Khatab sendiri dari tangan Sophronius. Menerima kabar ini, maka berangkatlah Sang Khalifah dari Madinah memenuhi undangan itu menuju Jerusalem.
Yang ingin diceritakan disini adalah bagaimana reaksi kekaguman dan rasa hormat Uskup Sophronius kepada Khalifah Umar ketika beliau tiba di kota Jerusalem.
Pertama, beliau sudah menyiapkan penyambutan arak-arakan yang meriah, namun terkejut ketika melihat kenyataan bahwa yang datang adalah hanya dua orang berpakaian sederhana bersama seekor keledai. Yang satu naik di atas punggung keledai, sedangkan satunya menuntun keledainya. Banyak orang yang menyambut saat itu mengira bahwa Khalifah Umar adalah yang di punggung keledai. Dugaan itu keliru, sebab justru Sang Penguasa lah yang menuntun keledai, sebab ia memberlakukan pengawalnya secara manusiawi, artinya mereka bergantian menunggangi keledai itu selama menempuh perjalanan panjang ke kota Jerusalem. Saat itu, kebetulan giliran sang pengawal lah yang menunggangi keledai.
Keduanya, beliau juga terkesima ketika mengajak Khalifah Umar berkeliling kota Jerusalem, termasuk mengunjungi Gereja Makam Suci (dalam keyakinan Kristen, Nabi Isa dimakamkan di gereja ini). 
Karena sudah tiba waktu shalat, Uskup Sophronius mempersilakan Khalifah Umar untuk shalat di dalam gereja, namun beliau serta merta menolaknya, lalu memilih shalat di luar gereja. Khalifah Umar khawatir kalau seandainya ia shalat di dalam gereja tersebut, nanti umat Islam yang tidak paham di masa depan akan merubah gereja ini menjadi masjid dengan dalih Khalifah Umar pernah shalat disitu. Ini dikhawatirkan akan menzalimi hak umat Nasrani. Kelak sebagai bentuk penghormatan atas kemuliaan hati sang Khalifah, di tempat beliau shalat lalu dibangunlah Masjid Umar bin Khattab r.a.
Ketiga, ketika kemudian Khalifah Umar minta diantar ke Kuil Sulaiman di kompleks Al Aqsha, beliau mendapati bahwa lokasi itu telah berubah menjadi tempat penimbunan sampah yang sengaja dibuang disana sebagai bentuk penghinaan kepada orang Yahudi yang telah membunuhi tawanan Nasrani di wilayah Persia (namun dalam kitab Yahudi dituliskan bahwa penimbunan sampah, bahkan kotoran bulanan wanita pun sengaja dibuang kesana, karena rasa kemarahan umat Kristen kepada umat Yahudi yang dianggap bertanggungjawab terhadap kematian Nabi Isa Al Masih). 
Sang Khalifah kemudian dengan tangannya sendiri dan dibantu pasukannya, serta masyarakat Yahudi, membersihkan lokasi tersebut dan lalu merenovasi Komplek Al Aqsa sehingga suci kembali. Dalam penguasaan muslim selama 462 tahun kemudian, Jerusalem berubah menjadi tempat peribadatan yang aman bagi 3 agama samawi, termasuk didirikannya Dome of Rock (Qubatu Shakhrah) di komplek tersebut pada tahun 691 M.
Keempat, perlakuan adil yang diberlakukan oleh Khalifah Umar dan penerusnya Bani Umayyah di wilayah Jerusalem, merupakan pengejawantahan dari perjanjian tertulis yang telah ditandatangani Khalifah Umar saat menerima kunci kota dari Uskup Sophronius, yang bunyinya antara lain adalah sbb:
“Bismillahirrahmanirrahim.
Ini adalah jaminan keamanan dari hamba Allah, Umar, amirul mukminin, kepada penduduk Jerusalem. Umar memberikan jaminan terhadap jiwa mereka, harta, gereja-gereja, salib-salib, orang-orang yang lemah, dan mereka tidak dipaksa meninggalkan agama mereka. Tidak ada seorang pun diantara mereka yang merasa terancam dan diusir dari Jerusalem….”
Dari semua hal di atas, kita bisa belajar bagaimana seharusnya berlaku adil dalam menghormati keyakinan agama yang berbeda-beda. Bahkan pada saat berkuasa pun, ia akan menjamin hak masing-masing sepenuhnya secara adil, termasuk pihak minoritas sekalipun. 
Kemuliaan tidak diperoleh dari sikap kesewenang-wenangan, terutama pada saat kekuasaan dan kekuatan di tangan kita, tetapi justru digunakan untuk melindungi hak-hak setiap orang yang berada di bawah kekuasaannya. Trump harus belajar dari sikap elegan ini, agar ia tidak terkubur oleh sikap arogansi dan kesewenang-wenangannya sendiri di masa yang akan datang. Sebab keyakinan adalah sesuatu yang tidak perlu digugat apalagi dihinakan, kecuali untuk saling dihormati dan diterima apa adanya. Semoga.
Penulis: Joni Hermana – ITS
(Dari berbagai sumber)

Comment