Jeratan Judi dan Pinjaman Online dari Sisi Psikologis, Harapan dan Persepsi Palsu

Opini179 Views

 

Penulis: Dr. H. J. Faisal | Dosen Prodi Pendidikan Agama Islam UNIDA Bogor/ Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Anggota PJMI

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Lagi-lagi bangsa ini telah menunjukkan jatidirnya sebagai bangsa yang sangat rapuh dalam hal mempertahankan pendiriannya sebagai bangsa yang beragama, beradab, dan bermartabat.

Mengapa saya katakan demikian? Perhatikan saja, maraknya kasus judi online dan pinjaman online yang telah menjerat hampir 3 juta rakyat Indonesia saat ini, telah menunjukkan bahwa betapa rapuhnya persepsi, pemahaman, dan pendririan rakyat Indonesia terhadap nilai-nilai kebenaran di dalam agama, khususnya agama Islam, tentang haramnya berjudi dan haramnya memakan riba.

Menurut catatan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), total perputaran uang dari judi online sepanjang tahun 2023 saja telah mencapai Rp 327 triliun.

Begitupun dengan jumlah total total perputaran uang dari pinjaman online sepanjang tahun 2023 yang mencapai Rp21 triliun lebih. Parahnya lagi, kedua jenis ‘kenikmatan dan kemudahan, serta harapan’ jeratan syetan tersebut, justru dilakukan oleh mereka yang termasuk ke dalam golongan ekonomi kelas menengah ke bawah.

Ini menurut data yang disampaikan oleh Ketua Gugus Tugas Pemberantasan Judi Online Nasional, yang juga menjabat sebagai Menkopolhukam, Hadi Tjahjanto pada bulan Mei 2024 yang lalu di Jakarta.

Di tengah kesulitan ekonomi yang sedang menghantui 270 juta rakyat Indonesia saat ini, sepertinya judi online (judol) dan pinjaman online (pinjol) memang sangat memberikan ‘harapan’ kepada rakyat, untuk dapat membantu mereka keluar dari segala macam himpitan kebutuhan hidupnya.

‘Harapan-harapan’ palsu inilah yang digunakan menjadi persepsi semu, yang terus dimainkan oleh para perusahaan-perusahaan (baca: bandar) judi dan pinjaman online tersebut, untuk memancing rakyat agar terus menggunakan jasa platform keuangan online mereka.

Ya, persepsi bahwa dengan memainkan judi online, maka rakyat atau memiliki ‘harapan’ untuk menang dan memiliki uang banyak dalam sekejap. Padahal kemenangan-kemenangan tersebut sifatnya sangat semu atau palsu, karena ‘kemenangan-kemenangan’ palsu tersebut sebenarnya memang sudah dipersiapkan oleh para bandar judi online, agar para pemain yang bermain judi online tersebut akan semakin bersemangat dan tidak ingin berhenti bermain, tanpa harus menyadari bahwa sesungguhnya jeratan hutang judi sudah menanti mereka.

Begitupun dengan pinjol. Persepsi yang dibentuk dan dimainkan oleh para pengusaha aplikasi pinjol atau bandar pinjol tersebut adalah mendapatkan uang banyak secara mudah dan cepat, tanpa perlu jaminan (collateral) apapun, sehingga dapat mengeluarkan si peminjam dari himpitan kesulitan ekonomi atau keuangan, dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara cepat dan mudah.

Tetapi sesungguhnya, di balik ‘kemudahan-kemudahan’ yang ditawarkan tersebut, ada sebuah perangkap yang sangat tajam, yang siap merobek leher dan jantung si peminjam pinjol tersebut.

Bagaimana tidak? Ada berbagai macam jeratan atau perangkap yang sangat mematikan di sana. Mulai dari tingkat suku bunga pengembalian pinjaman yang sangat tinggi, bisa mencapai 50 sampai dengan 60 persen dari total pinjamannya. Padahal di negara komunis seperti China saja, para bandar pinjol dilarang untuk menarik bunga ponjaman di atas 36 persen per tahun (atau 3 persen per bulan).

Belum lagi waktu pengembalian cicilan pinjaman yang sempit (ada yang hanya diberi waktu pengembalian seminggu, dua minggu, dan satu bulan), yang kemudian akan memasang denda bunga pengembalian yang berlipat ganda dari setiap hari keterlambatan pinjamannya, belum lagi ditambah dengan kata-kata kasar dan tidak beradab (baca: bi-adab) dari para penagihnya, yang biasanya akan sangat membuat depresi si peminjam.

Jika si peminjam atau si penghutang dari kedua aplikasi tersebut (baik judol maupun piinjol) sudah menjadi depresi, maka seperti yang kebanyakan sudah terjadi di masyarakat kita, hanya ada dua jalan selanjutnya, yaitu pertama, melakukan tindakan kriminal untuk melunasi hutang-hutangnya, dan yang kedua, bunuh diri.

Skema Persepsi Semu dan Gagalnya Pemerintah Untuk Mensejahterakan Rakyatnya Sendiri

Berbagai macam kesulitan ekonomi yang sedang terjadi saat ini, memang sangat dirasakan dampaknya oleh mayoritas rakyat bangsa ini dari seluruh macam golongan, terutama golongan rakyat yang berpenghasilan menengah ke bawah, terlebih lagi golongan rakyat yang berpenghasilan lebih bawah dan paling bawah lagi (80 persen rakyat Indonesia).

Terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sedang terjadi besar-besaran (menurut laporan dari CNN Indonesia, per Juni 2024 saja, sudah hampir 35 ribu pekerja atau buruh yang sudah di-PHK di Jakarta), tingginya harga barang kebutuhan pokok dikarenakan inflasi dan ketidakbecusan pemerintah dalam menanganinya, dan anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, yang membuat harga dari berbagai macam kebutuhan rakyat meningkat tajam.

Lagi-lagi, hal ini disebabkan oleh ketidakbecusan pemerintah dalam meredam kejatuhan nilai tukar rupiah tersebut, sehingga tidaklah aneh jika rupiah mendapatkan julukan sebagai “The Weakest Currency in The World”.

Semua keadaan yang sedang diderita oleh seluruh lapisan rakyat Indonesia saat ini, sejatinya memang menjadi waktu panen (Harvest Time) dan menjadi musim puncak (Peak Season) bagi para bandar judi online, bandar pinjaman online, dan bandar penipu-penipu keuangan (Fintech Scammer) lainnya, untuk mengambil keuntungan (memancing di air keruh) di balik semua kesulitan ekonomi rakyat Indonesia.

Cara yang paling ampuh yang digunakan oleh mereka, tidak lain adalah dengan memainkan persepsi dan logika rakyat bangsa ini, bahwa dengan mengambil segala macam jenis ‘kesenangan dan bantuan keuangan’ yang mereka sodorkan, maka segala macam kesulitan ekonomi dan keuangan untuk memenuhi kebutuhan hidup, akan segera teratasi.

Celakanya, rakyat pun ternyata dapat dengan mudah terjerat jebakan-jebakan tersebut, dengan harapan bahwa mereka akan mampu mengembalikan semua hutang-hutang yang diambil dari para bandar keuangan tersebut.

Padahal sejatinya, hutang-hutang tersebut tidak akan dapat terlunasi, dikarenakan tidak adanya perbaikan pendapatan yang mereka dapatkan, bahkan yang ada hanyalah keadaan yang semakin memburuk karena gulungan hutang yang semakin menumpuk.

Sekali lagi, terjeratnya rakyat dan masyarakat Indonesia oleh para bandar judi online dan pinjaman online tersebut, terlepas dari semua golongan penghasilan yang ada, sejatinya tidak terlepas dari peran pemerintah yang memang terbukti tidak serius memberi kesejahteraan kepada rakyatnya sendiri, sehingga rakyat tidak lagi mendapatkan harapan atas perbaikan ekonomi diri mereka, apalagi harapan dari perbaikan ekonomi bangsa.

Apalagi platform-platform jasa keuangan berbasis teknologi tersebut, khususnya platform pinjaman online justru malah mendapatkan legalitas dari pemerintah, melalui pendaftaran keanggotaannya di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) negara ini.

Dengan kata lain, sesungguhnya pemerintah saat ini harus bertanggung jawab atas kesengsaraan yang sedang diderita oleh rakyat, atas jeratan hutang judi online dan jeratan hutang pinjaman online, karena rakyat sudah terlanjur menggantungkan ‘harapan’ mereka kepada kedua bandar keuangan rentenir legal tersebut.

Ya, bandar keuangan rentenir legal yang tetap ‘dipelihara’ oleh pemerintah karena mereka terus membayar pajak kepada negara (menurut laporan Direktorat Jenderal Pajak, sebesar 2 trilliun,per April 2024), meskipun sesungguhnya sangat menjerumuskan rakyat bangsanya sendiri.

Jadi apakah anda yakin bahwa praktik Judol dan Pinjol (baca: rentenir legal) dapat dihapus di negara yang rakyatnya sedang menderita krisis ekonomi dan keuangan akut seperti saat ini Wallahu ’alam bishawab.[]

Comment