Jerat dan Bahaya Utang Terhadap Kedaulatan Negara

Opini208 Views

 

 

Penulis: Nur Azizah | Aktivis Muslimah Balikpapan

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA–  Polemik utang negara dari waktu ke waktu seperti tak pernah menemui titik akhir. Jumlah yang semakin meningkat di setiap tahunnya memberi kekhawatiran tersendiri pada masyarakat Indonesia. Alih-alih berupaya menyelesaikannya  pemerintah belum lama ini justru mengeluarkan sebuah pernyataan yang terkesan membawa angin segar.

Dikutip dari Gatra.com (31/12/2023) Direktur Pinjaman dan Hibah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Dian Lestari menyatakan pinjaman pemerintah, baik dari dalam maupun luar negeri, masih dalam posisi wajar dan aman. Ia menjelaskan, posisi utang pemerintah secara keseluruhan per 30 November 2023 adalah Rp8.041,01 triliun. Itu didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp7.048,9 triliun (88,61% dari total utang) dan Pinjaman sebesar Rp 916,03 triliun (11,39% dari total utang).

Khusus utang melalui Pinjaman terdiri dari pinjaman luar negeri sebesar Rp886,07 triliun dan pinjaman dalam negeri sebesar Rp29,97 triliun. Pinjaman luar negeri paling banyak berasal dari pinjaman multilateral (Rp540,02 triliun) disusul pinjaman bilateral (Rp268,57 triliun).

Utang tersebut dinilai memberi dampak positif bagi masyarakat Indonesia karena dapat membiayai proyek prioritas nasional sekalipun dengan mekanisme melalui pinjaman. Diantaranya, pembangunan infrastruktur jalan tol yang dirasa mampu memperkuat konektivitas antar daerah sehingga akan mempercepat jalur distribusi.

Hal ini akan merangsang pertumbuhan perekonomian di daerah-daerah sekitarnya. Selain itu ada pembangunan Pelabuhan Patimban, MRT Jakarta, pembangunan fasilitas kesehatan juga Pendidikan.

Di Indonesia, kebolehan pemerintah memiliki utang dilindungi oleh UU nomor 17 tahun 2013 tentang keuangan negara. Dalam undang-undang tersebut, rasio utang terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) harus dijaga dan tidak boleh melebihi batas, yakni lebih dari 60 persen. Sedangkan, saat ini rasio utang terhadap PDB tercatat sebesar 38,15 persen.

Namun jika terus menerus dibiarkan tanpa adanya penyelesaian maka kemungkinan rasio utang terhadap PDB akan terus bertambah dan bahkan bisa melebihi 60 persen. Sebagai negara yang telah merdeka selama 78 tahun tentu kita tidak ingin berakhir seperti negara lain yang masukijurang krisis ekonomi terdalam akibat hutang luar negeri seperti halnya sri lanka, Venezuela hingga Zimbabwe.

Meluruskan Paradigma Utang

Utang merupakan pinjaman yang diberikan oleh pihak lain kepada peminjam dengan jumlah tertentu dan harus dikembalikan dalam tempo waktu yang telah disepakati. Hutang ini tidak bisa dinilai sebagai asset sebab negara tetap harus mengembalikan sejumlah yang dipinjam.

Jika dilihat dari fakta yang ada, utang Indonesia telah mencapai jumlah yang mengkhawatirkan. Namun, apa yang menjadi kekhawatiran ini justru tidak dirasakan oleh negara. Padahal bila suatu negara berutang kepada negara lain, negara debitur tersebut akan sulit untuk menjalankan roda pemerintahan secara mandiri – karena baik langsung atau tidak, negara kreditur akan intervensi terhadap setiap kebijakan dan keputusan negara. Lantas jika sudah demikian mau dibawa kemana kedaulatan negeri ini?

Dalam sistem kapitalis sekuler yang menepikan nilai nilai agama dari berbagai sendi kehidupan, utang dan riba dipandang sebagai hal yang biasa saja. Karena dalam sistem kapitalis, asas yang dipakai bukan halal dan haram, melainkan asas manfaat dan materi semata.

Utang dianggap berdampak positif karena dipergunakan untuk biaya pembangunan. Padahal sesungguhnya utang sebagai pemasukan utama negara menunjukkan pengaturan ekonomi yang keliru. Hal ini menggambarkan bahwa negara tidak mengoptimalkan pengelolaan potensi sumber daya alam yang melimpah menjadi pemasukan negara. Padahal jumlahnya sangat besar, sehingga pemasukan negara hanya diambil dari utang dan pajak sedang SDA diprivatisasi ke kantung-kantung para pemilik modal dan asing.

Utang luar negeri dalam kondisi seperti ini memberi dampak yang besar pada perekonomian dan kehidupan rakyat secara umun, yang berefek pada tingkat kesejahteraan rakyat di dalam negeri.

Akibat lainya yang tidak kalah berbahaya adalah ketika utang luar negeri makin besar, maka uang yang dibayarkan untuk membayar utang tersebut juga semakin besar, baik utang pokok dan bunga utang tersebut.

Hal ini jelas akan berdampak pada keuangan negara, sehingga banyak sekali subsidi yang harus ditiadakan untuk kesejahteraan rakyatnya. Belum lagi, untuk menggenjot pemasukan negara biasanya akan ada kenaikan pajak yang otomatis akan menambah daftar panjang beban rakyat. Sehingga jelas bahwa utang ini memang benar memberi dampak positif alias positif berbahaya bagi bangsa dan negara.

Hutang Dalam Pandangan Islam

Sebagai seorang muslim tentu kita tidak boleh lepas dari kacamata islam ketika memandang suatu persoalan termasuk terkait dengan utang. Kehidupan kapitalis sekuler menjadikan kaum muslim terbiasa hidup dalam belenggu hutang ribawi baik dalam skala individu maupun negara, seolah kehidupan tidak akan bisa berjalan tanpanya. Padahal jelas di dalam utang terdapat riba yang haram hukumnya sebagaimana tertera dalam Qs. Al Baqarah:175:

” … Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”.

Walaupun syariat Islam memperbolehkan utang, namun tidak dengan riba. Negara boleh melakukan pinjaman bila negara benar-benar dalam keadaan krisis dengan syarat dan ketentuan yang sesuai dengan syariat. Islam memiliki sistem ekonomi yang sahih yakni bersandar kepada hukum Allah Swt. Sumber pemasukan negara bukanlah berasal dari hutang tapi dari harta kepemilikan umum dan harta milik negara.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad, Rasulullah Saw bersabda: “Kaum muslim berserikat dalam 3 perkara, yaitu padang rumput, air, dan api”

Harta kepemilikan umum ini dikelola oleh negara dan manfaatnya dikembalikan untuk kesejahteraaan warga negara. Negara dalam sistem Islam, mengelola sumber daya alam yang dimiliki tanpa menyerahkannya kepada swasta atau bahkan asing. Dengan kas negara yang memadai, negara bisa menjamin kebutuhan  sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

Oleh karenanya sudah seharusnya kita mencampakkan sistem ekonomi kapitalis yang menghalalkan ribawi dan menjauhkan berkah bagi negeri serta kembali kepada islam yang menghadirkan solusi hakiki.

“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs. Al A’raf :97). Wallahu ‘alam Bishawab.[]

Comment