Jelang Pemilu Tak Perlu Berseteru!

Opini172 Views

Penulis: Nanik Farida Priatmaja, S.Pd | Pegiat Literasi

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Pesta demokrasi (pemilu capres-cawapres) seolah ajang pertarungan dimana sangat menentukan hidup dan mati negara lima tahun ke depan. Suara rakyat diperebutkan para kandidat melalui berbagai “rayuan politik”. Rakyat pun terbuai rayuan maut sang kandidat hingga secara suka rela berjuang demi kemenangan sang kandidat.

Akibat emosi setitik, rusaklah sepeda motor dan rumah warga. Bentrokan antara dua kelompok terjadi di Muntilan, Magelang, Jawa Tengah pada Ahad (15-10-2023). Bentrokan diduga melibatkan Laskar PDIP Jogja (BSM dan Bregodo Wirodigdo) yang baru saja menghadiri acara di Mungkid dengan Gerakan Pemuda Kabah (GPK) Militan. Kerusuhan tersebut mengakibatkan 11 sepeda motor rusak dan 3 rumah warga jendelanya pecah.

Tak dimungkiri konflik jelang pemilu seringkali tak bisa dihindari. Misal pada pilpres 2019 silam, muncul perang opini kubu kampret dan cebong yang begitu viral di dunia maya.

Ketika jelang pemilu memang rawan terjadi konflik antara pendukung yang fanatik buta terhadap kandidat idolanya. Saat sang kandidat dihujat atau dikritik oleh kubu yang berseberangan, hal ini akan memunculkan kegaduhan.

Kekaguman berlebihan pada kandidat atau parpol akan memunculnya konflik seharusnya tidak boleh terjadi. Pasalnya sangat menguras energi dan tidak bermanfaat. Pemilu yang hanya sesaat namun menimbulkan konflik yang berkepanjangan.

Pilpres 2019 seharusnya menjadi pelajaran. Kandidat yang begitu diharapkan oleh para kampret (sebutan bagi pendukung Prabowo Subianto) jelas-jelas merapat ke penguasa yang selama ini telah dikritik habis-habisan. Yang awalnya lawan akhirnya jadi kawan. Begitulah realitas pesta demokrasi. Tak ada lawan atau kawan abadi.

Di saat rakyat “terlenakan” pesta demokrasi yang penuh konflik, di satu sisi para elite parpol justru berbahagia menikmati kursi kekuasaan yang memuluskan tujuan dan kepentingan daripada menyelesaikan konflik dampak pemilu di tengah masyarakat. Meski ada masyarakat yang menjadi oposisi, namun hal itu tidak berlaku bagi parpol. Parpol akan menyesuaikan posisinya sesuai kepentingannya.

Parpol dalam sistem demokrasi seringkali bersifat pragmatis jauh dari idealis. Idealisme tak menjadi pertimbangan parpol dalam menentukan kebijakan. Asas manfaat lah yang menjadi dasar parpol dalam menentukan keputusan politik.

Menjadi “kutu loncat” alias pindah-pindah kubu adalah hal lumrah terjadi dalam sistem demokrasi. Dalam seluruh ajang pesta demokrasi parpol hanya fokus meraih suara sebanyak-banyaknya demi mencapai kekuasaan. Aktivitas sebagian besar parpol pun hanya terlihat menjelang pemilu dan tak ada aktivitas yang berkorelasi terhadap rakyat secara konsisten.

Dalam Islam parpol didirikan bukan sekedar demi memuaskan kekuasaan semata. Parpol memiliki peran strategis dalam melakukan perubahan di tengah masyarakat, yakni membentuk kesadaran dan pemahaman politik yang benar.

Parpol dalam Islam bertujuan untuk membina dan mendidik umat dengan pemahaman yang benar sesuai pandangan Islam, bukan sekadar sebagai wadah menampung aspirasi umat. Partai juga harus mengoreksi kebijakan penguasa, bersikap adil/tidak membela kezaliman, dan bersikap tegas terhadap penguasa.

Keberadaan parpol harus bisa dirasakan umat yakni membela kepentingan dan kemaslahatan umat.[]

Comment