Jasli La Jate*: Gurita Korupsi, Islam Solusi

Opini638 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Bagai jamur tumbuh di musim penghujan. Kiranya demikian peribahasa yang tepat untuk menggambarkan gurita korupsi di Indonesia. Setiap waktu tumbuh subur. Tidak hanya di pusat, di daerah pun tidak mau kalah.

Jika di pusat, ada Edhy Prabowo, Menteri Kelautan dan Perikanan yang ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan atas tuduhan korupsi ekspor benih lobster. Di daerah ada bupati Banggai Laut, Sulawesi Tengah, Wenny Bukamo dalam kasus suap proyek dinas PUPR anggaran 2020. Terbaru, Menteri Sosial Juliari Batubara, tersangka penerima suap terkait bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19.

Korupsi sudah menggurita di negeri ini. Tidak mengenal tempat, waktu maupun daerah. Menggurita seantero negeri. Mencengkram kuat bagi yang lemah iman. Pejabat yang seharusnya memprioritaskan dirinya untuk memenuhi kebutuhan rakyat, melayani setulus hati, malah sibuk memenuhi syahwat kantong pribadinya.

Mengapa koruptor terus bermunculan? Apakah sanksi hukumnya tidak membuat jera? Atau ada yang salah dengan sistem di negeri ini? Bagaimana keluar dari gurita korupsi ini?

Demokrasi Biang Korupsi

Suburnya korupsi di negeri ini, tentu tak lahir begitu saja. Ada akar masalah yang kuat mencengkram kokoh didalamnya. Menjalar ke seluruh jajaran sudut negeri. Bak penyakit akut yang sulit diobati. Menggerogoti tubuh yang telah renta dan sakit.

Tumbuh suburnya korupsi biang keroknya adalah demokrasi. Mahalnya biaya politik dalam sistem demokrasi, membuat kontestan politik menggandeng korporasi. Tak heran politik transaksional tak bisa dielakkan. Jual beli jabatan, jual beli kebijakan adalah sesuatu yang diniscayakan.

Tak ayal ketika terpilih fokus utamanya bukan rakyat. Namun para korporat yang telah memberikan suntikan dana saat konstetasi politik. Sehingga, penguasa terpilih bukan bekerja untuk rakyat tetapi untuk para relasi dan kroni. Mengembalikan modal yang telah diberikan. Imbasnya, bukannya memberikan kesejahteraan pada rakyat, yang ada malah bekerja untuk mengisi kantong-kantong pribadinya.

Kasus penangkapan Wenny Bukamo yang juga sekaligus sebagai kontestan calon kepala daerah tahun ini, menjelaskan secara gamblang bahwa suap yang diterima diduga akan digunakan untuk kampanye dan serangan fajar. Sehingga seakan menegaskan bahwa pemilihan yang bebas _money politic_, suap menyuap adalah pepesan kosong belaka. (detiknews.com)

Selain itu, sanksi hukum yang tidak tegas, tidak menjerakan, penjara bak hotel berbintang. Bisa izin keluar masuk penjara. Potongan remisi tahanan dan sederet kemudahan lainnya. Membuat para tikus-tikus berdasi tak malu-malu untuk terus melakukan tindakan haram ini.

Ditambah lemahnya iman. Ketakwaan individu yang kurang. Akhirnya, bila ada kesempatan, seketika langsung gayung bersambut. Terbujuk rayuan setan. Terperangkaplah dalam kenikmatan fatamorgana.

Islam Solusi Tuntas Atasi Korupsi

Keluar dari gurita korupsi harus betul bersumber dari sumber solusi. Tidak bisa hanya berasal dari produk hukum buatan manusia. Sebab manusia lemah, terbatas dan dipenuhi kepentingan. Ketika membuat sebuah hukum, pasti penuh celah didalamnya dan sarat kepentingan.

Lihat saja, korupsi terus subur. Padahal sudah banyak payung hukum yang membahas tentangnya. Bongkar pasang aturan juga sudah dilakukan. Namun, hasilnya nihil. Gurita korupsi terus mencengkram kuat.

Islam adalah solusi untuk keluar dari semua masalah ini. Islam menjadi problem solving bagi setiap persoalan. Dalam kasus suap menyuap maupun korupsi, Islam sudah mempunyai mekanisme penyelesaian. Baik pencegahan (preventif) maupun penindakan (kuratif).

Langkah-Langkah preventif, diantaranya: Pertama, perekrutan SDM harus berintegritas dan wajib profesionalitas. Ketika SDM berkualitas dan handal di bidangnya, pekerjaan akan memuaskan hasil. Sebaliknya bila diserahkan bukan pada ahlinya, tunggulah kehancuran.

Rasul Saw. bersabda, “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat.” (HR Bukhari)

Maka sangat dilarang merekrut SDM berasaskan koneksitas atau nepotisme. Dalam istilah Islam, mereka yang menjadi aparatur peradilan wajib memenuhi kriteria kifayah (kapabilitas) dan berkepribadian Islam (syakhsiyah Islamiyah).

Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Khalifah Umar bin Khaththab selalu memberikan arahan dan nasihat.

Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Ketika gaji dan fasilitas terpenuhi, suap maupun korupsi tidak akan terjadi.

Sabda Nabi Saw. bersabda, “Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Kalau tak punya isteri, hendaklah dia menikah. Kalau tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR. Ahmad)

Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar, “Cukupilah para pegawaimu, agar mereka tidak berkhianat.”

Keempat, Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi aparat negara.

Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.” (HR. Abu Dawud)

Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Nabi Saw. berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR. Ahmad)

Kelima, Islam melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Hal ini akan mudah mengetahui kekayaan pejabat sebelum dan sesudah menjabat. Ketika berbeda maka negara berhak mengambil kelebihan kekayaannya. Khalifah Umar bin Khaththab pernah menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya.

Keenam, adanya teladan dari pimpinan. Tidak bisa dipungkiri, manusia selalu cenderung mengikuti orang terpandang dalam masyarakat termasuk pimpinannya.

Maka teladan pimpinan sangat diperlukan. Ketika pimpinan memberikan teladan yang bagus, bawahannya mengikuti, ia akan mendapatkan pahala dari bawahan yang mengikutinya. Sebaliknya, jika memberikan teladan buruk, dia juga akan mendapatkan dosa dari yang mengikutinya.

Ketujuh, pengawasan oleh negara dan masyarakat. Kontrol ketat sangat diperlukan. Sekalipun sudah banyak usaha yang lakukan agar aparat negara tidak menyimpang. Namun, keterlibatan kontrol masyarakat sangat diperlukan.

Kalau memang korupsi pun tetap terjadi, syariah Islam mengatasinya dengan langkah kuratif dan tindakan represif yang tegas, yakni memberikan hukuman  tegas dan setimpal bagi pelaku.

Hukuman bagi koruptor masuk dalam kategori ta’zir. Yakni hukuman yang jenis dan kadarnya ditetapkan oleh hakim. Besarnya hukuman tergantung berat ringannya kejahatan.

Bentuknya pun beragam. Dari yang paling ringan seperti nasihat atau peringatan (teguran), sampai yang paling tegas yaitu hukuman mati. (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78-79).

Maka bila negeri ini ingin keluar dari masalah korupsi dan problem lainnya, Islam menjadi keniscayaan yang harus diimplementasikan.

Karena hanya Islam satu-satunya yang mampu menyelesaikan permasalahan negeri ini dan dunia.Wallahu a’lam bishshawab.[]

*Member AMK

Comment