Oleh: Ummu Khansa, Muslimah Bangka Belitung
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi. Selain mutu proteinnya yang tinggi, daging mengandung asam amino esensial yang lengkap serta beberapa jenis mineral dan vitamin. Daging merupakan protein hewani yang lebih mudah dicerna dibanding dengan protein nabati.
Di Indonesia, kebutuhan daging terus meningkat dari waktu ke waktu. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, tentu saja daging yang dibutuhkan adalah yang halal.
Maka dari itu, ada pihak khusus yang bertugas memastikan bahan pangan tersebut halal juga mengawasi beredarnya pangan yang non halal. Namun, bagaimana jika ternyata beredar daging non halal yang bebas diperjualbelikan di pasar?
Sebuah video viral yang menampilkan praktik penjualan daging anjing di Pasar Senen, Jakarta Pusat, tersebar melalui media sosial (medsos). Video itu direkam Animal Defenders Indonesia (ADI). Dalam video viral tersebut, ADI menyertakan penjelasan tentang hasil penelusuran mengenai perdagangan daging anjing di Pasar Jaya Senen.
Pihak Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Pasar Jaya membenarkan adanya oknum pedagang yang menjual daging anjing di Pasar Senen Blok III, Jakarta Pusat. Manajer Umum dan Humas Perumda Pasar Jaya, Gatra Vaganza menjelaskan penjualan daging anjing tersebut tidak sesuai dengan peraturan Perumda Pasar Jaya.
Dalam peraturan tersebut, daging anjing tidak termasuk dalam komoditas yang dapat diperjualbelikan di jaringan pasar milik Pemprov DKI Jakarta tersebut.
PD Pasar Jaya pun menjanjikan akan mengevaluasi operasional pasar sehingga penjualan komoditas di luar peraturan yang ada tidak terulang kembali. (republika.co.id, 12/09/2021)
Menanggapi hal itu, Pakar Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Suparji Ahmad mengatakan jual beli hewan untuk dikonsumsi harus memenuhi unsur keselamatan, kehalalan dan kesehatan. Jual beli anjing berpotensi merugikan kesehatan konsumen.
Salah satunya memungkinkan adanya penularan penyakit rabies. Pun sindikat pencurian hewan anjing untuk dijual kembali dengan tujuan mendapatkan keuntungan, telah melanggar hak konsumen atas keselamatan dan kesehatan konsumen.
Menurutnya, negara wajib hadir untuk menjamin kepastian hukum baik pelaku usaha maupun konsumen yang menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen. (rri.co.id, 10/09/2021)
Lagi, kejadian ini terulang kembali. Bukan hanya daging anjing, dulu daging babi, celeng dan tikus pun pernah beredar di pasaran. Seperti kasus yang terjadi di Jawa Barat pada tahun 2020 lalu.
Daging babi diolah dengan sedemikian rupa sehingga tampilannya sama dengan daging sapi. Daging yang sudah diserupakan tersebut kemudian dijual di pasar dengan harga yang sangat terjangkau. Masyarakat tidak curiga dan tergiur harga murah, terlebih karena adanya krisis saat pandemi corona.
Ibarat pemadam kebakaran, pemerintah bertindak ketika kasus sudah merebak dan merugikan masyarakat. Undang-undang jaminan halal dan lembaga perlindungan konsumen pun tidak bisa menjadi penjamin pangan halal di masyarakat.
Sebab undang-undang tersebut dibalut oleh sistem kapitalisme sekuler yang hanya fokus pada keuntungan materi. Pemerintah memberikan label atau sertifikat halal bukan didorong oleh keimanan kepada Allah SWT, namun karena faktor ekonomis dan materialistik.
Wajar saja jika negara tidak memantau kehalalan produk dari hulu ke hilir dengan sungguh-sungguh. Sehingga seringkali ditemukan kecurangan oleh pelaku usaha. Terbukti, negara gagal melindungi rakyat dari produk haram yang merugikan kesehatan.
Ironi, hidup di dalam sistem kapitalisme yang menghegemoni negeri ini. Mudahnya makanan yang haram beredar ini disebabkan adanya aturan dan sanksi yang tidak tegas. Sehingga pelaku perdagangan akan cenderung mencari aturan yang longgar demi mendapatkan keuntungan yang besar dan abai terhadap penjaminan halal suatu produk yang dijual.
Seharusnya, negara menjamin kepastian hukum bagi pelaku perdagangan maupun konsumen. Sanksi berupa penutupan dan penarikan produk di pasaran dan memberikan pemahaman kepada konsumen bahwa daging anjing tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan terutama UU Pangan, yang mengamanatkan bahwa pelaku usaha harus menjamin bahwa barang yang dijual harus memenuhi unsur halal dan tidak melanggar norma agama yang berlaku.
Persoalan halal-haram bukan perkara yang main-main karena menyangkut barang yang dikonsumsi ratusan juta muslimin di negeri ini. Islam telah menjadikan perhatian utama kebijakan adalah kesesuaian dengan syariat dan kemaslahatan publik.
Dalam Islam hukum makanan halal adalah wajib. Karena segala sesuatu yang dimakan oleh seorang muslim haruslah halal, baik itu berasal dari tumbuhan maupun hewan sebelum ada dalil yang mengharamkan. Kehalalan pangan sangat penting karena merupakan bentuk ketaatan kepada Allah SWT.
Sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (QS. Al-Maidah: 88)
Allah SWT juga berfirman:
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)
Untuk mewujudkan ketakwaan warga negaranya, diperlukan peran negara. Negara harus menetapkan aturan dan sanksi tegas sehingga melindungi segala sesuatu atau apapun yang akan dikonsumsi warga negaranya yang muslim. Hal ini hanya dapat diterapkan oleh negara yang menerapkan Islam secara kaffah.
Rasulullah SAW telah mencontohkan saat menyembelih hewan dengan menyebut nama Allah SWT. Inilah yang menjamin kehalalan daging dari hewan yang disembelih.
Tidak hanya makanan, pelarangan peredaran minuman beralkohol atau minuman haram seperti Khamr telah diberhentikan sejak Rasulullah SAW di Madinah pada tahun 622 atau 623 M. Pada masa Khulafaur Rasyidin juga diberlakukan hukuman bagi peminum khamr dengan dicambuk.
Setiap warga negara akan diedukasi dengan menanamkan pondasi akidah Islam. Memberikan pemahaman terkait makanan halal seperti halal zatnya, cara mendapatkannya, cara menyembelih dan mengolahnya sesuai syariat Islam. Masyarakat juga siap turut serta melakukan amar ma’ruf nahi munkar untuk mengontrol pelaksanaan syariat Islam.
Kepala negara (Khalifah) juga memastikan warga negaranya memiliki pekerjaan. Bahkan menyediakan lapangan kerja agar rakyat tidak mencari uang dengan cara yang haram.
Agar tidak ada praktik curang dalam bermuamalah, Khalifah menempatkan seorang hakim (Qadhi) untuk melakukan patroli dan menyelesaikan permasalahan di pasar.
Sehingga tidak ada lonjakan harga pangan atau penimbunan barang, juga mencegah pedagang menjual barang haram pada kaum muslim dan aktivitas curang lainnya.
Tidak hanya itu, biaya sertifikasi halal pun didanai oleh negara menggunakan dana dari baitul mal. Jaminan kehalalan sebuah produk akan ditentukan dari awal mulai proses pembuatan bahan, proses produksi hingga distribusi akan senantiasa diawasi, pengawasan ini untuk memastikan seluruh produk dalam kondisi aman.
Dalam hal makanan, ahlu dzimmah (orang kafir yang menjadi warga negara Khilafah) berhak mengikuti aturan agama mereka tentang tata kehidupan publik. Selama hal tersebut dilakukan dalam ranah kehidupan pribadi dan tidak dilakukan di tempat umum.
Namun bila seorang ahlu dzimmah membuka toko yang menjual bebas produk haram, maka dia akan dihukum berdasarkan aturan syariat Islam.
Imam Abu Hanifah menyatakan:
“Islam membolehkan ahlu dzimmah meminum minuman keras, memakan daging babi, dan menjalankan segala aturan agama mereka dalam wilayah yang diatur oleh syariat.”
Dengan demikian negara sungguh-sungguh berupaya menjamin kehalalan pangan dengan pengawasan yang ketat. Mekanisme yang dijalankan oleh pemerintahan Islam tidak hanya memberikan rasa aman kepada warga negara muslim tapi juga menjamin terpenuhinya hak-hak warga non muslim.
Sungguh, rakyat sangat membutuhkan peran negara yang mampu melindungi mereka.Wallahu a’lam bish shawab.[]
Comment