RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Saya justru heran ketika media memberitakan pabrik beras digerebek karena membeli gabah dari petani dengan harga mahal. Menurut KPPU, pembelian gabah dengan harga di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) telah merugikan Negara dan pelaku usaha lainnya. Logika yang menurut saya: cacat. Sebab, membeli gabah petani dengan harga di atas HPP dengan tanpa paksaan apalagi karena kualitas di atas rata-rata tentu bukan tindakan pidana. Alasan lain bahwa hal tersebut merugikan penggilingan padi lainnya juga mengada-ada.
Lalu, Mentan memberikan tambahan argumentasi bahwa beras jenis IR 64 adalah jenis yang disubsidi sehingga pabrik telah menjual beras subsidi dengan harga premium. Bukan apa-apa, beras disubsidi bukan karena jenisnya. Menurut Kementan pemerintah telah mensubsidi puluhan Triliun untuk benih, pupuk dan sehingga. Disitulah makna subsidinya. Tapi gabah tersebut dijadikan beras premium oleh pabrik dan dijual mahal kepada konsumen.
Ini aneh, sebab beras premium atau bukan ditentukan oleh SNI (Standar Nasional Indonesia). Pemerintah bisa memaksa dengan menggunakan mekanisme Harga Eceran Tertinggi (HET). Jika beras premium yang dijual dipasar modern tetap mahal, bisa menggunakan operasi pasar. Tapi sekali lagi, pemerintah bertanggung jawab atas harga beras medium alias beras yang rata-rata dikonsumsi masyarakat secara luas.
Tambahan tuduhan lainnya adalah pabrik telah mencampur beras subsidi yang dioplos dengan beras lainnya kemudian dijual sebagai beras premium. Kementerian Sosial bereaksi keras atas tuduhan ini. Sebab menurut mereka tidak mungkin beras subsidi bisa diserap pabrik. Beras subsidi menurut Kemensos adalah beras Beras Sejahtera (Rastra) yang beredar ke penerima melalui jenjang non pasar.
Terungkaplah bahwa subsidi yang dimaksud oleh Mentan adalah subsidi produksi di tataran petani. Sebenarnya ini juga subsidi tidak langsung, sebab yang dapat subsidi adalah pabrik pupuk dan pabrik benih. Selain itu, makna subsidi tersebut bukanlah untuk membeli harga gabah petani dengan harga murah, bukan?
Sebagian lagi memberi argumentasi tambahan, bahwa beras premium hanya boleh dipasarkan oleh pabrik yang mempunyai lahan tanam sendiri. Bukan membeli dari petani. Sehingga pabrik tidak memakai subsidi pemerintah dalam komponen biaya produksinya. Saya khawatir logika semacam ini juga bisa menyasar jenis kerjasama petani dengan koperasi, perusahaan atau lainnya jika disamaratakan. Adakah regulasi soal beras premium dengan kewajiban semacam ini?
Harga Beras
Bicara formula harga beras, kita harus merujuk ke belakang sekali di tahun 1970an. Saat itu, Alm. Prof Mubyarto dari UGM mengusulkan “Rumus Tani” yang terkenal. Formula ini diterapkan pemerintah melalui Bulog, kemudian dipreteli oleh LOI (Letter of Intent) antara IMF dan Pemerintah sebagai syarat mendapatkan hutang.
Pada saat itu, formula yang ditawarkan oleh Prof. Mubyarto adalah jalan tengah antara production approach yang memperhatikan kepentingan petani pangan dan consumption approach yang mempertimbangkan kepentingan konsumen khususnya buruh kecil dan rakyat miskin perkotaan yang membeli beras. Rumus Tani yang termasyhur tersebut adalah harga dasar atau harga jual minimum gabah kering giling dari petani yang ditetapkan oleh pemerintah kepada Bulog. Rumus tersebut berdasarkan harga pupuk urea dan koefisien harga perdagangan beras internasional.
Sejak tahun 2002 rumus ini berubah menjadi Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang berisi harga pagu atas dan harga tertinggi. Dua pilihan harga ini membuat Bulog tidak dapat menyerap gabah dengan maksimal.
Regulasi semacam inilah yang membuat kartel beras merajalela. Apakah strategi UU Pangan telah benar-benar dijalankan sehingga harga beras tidak dapat dikontrol. Ketika harga beras di tingkat masyarakat mahal, strategi yang dijalankan adalah operasi pasar melalui beras impor bukan cadangan beras yang diserap dari petani.
Menteri Amran Sulaiman, saya kira langkah terburu-buru semacam ini, tanpa argumentasi kuat dan refleksi ke dalam justru merugikan petani. Sebab, membeli gabah di atas HPP tidak dapat dipidanakan.
Karena itu, politik pangan nasional kita yang memperhatikan petani yang berlahan sempit, buruh tani dan juga konsumen khususnya masyarakat ekonomi lemah yang harus diutamakan. Langkah memberantas mafia pangan tentu akan didukung luas masyarakat. Tentu dengan cara yang benar.
Penulis adalah:
Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
Comment