RADARINDONESIANEWS. COM, JAKARTA – Saat ini persoalan muslim Uighur Cina sedang mencuat di kancah internasional setelah bocornya dokumen setebal 403 halaman berisi pengawasan dan pengendalian populasi Uighur.
Sebelumnya kelompok HAM seperti dikutip cnnindonesia.com mengatakan ada lebih dari 1 juta warga Uighur dan minoritas muslim lainnya dikumpulkan dalam kamp-kamp di wilayah Barat Cina. Mereka diperlakukan secara tidak manusiawi.
Hal tersebut menuai banyak kritik dari berbagai belahan dunia. Kamp tersebut berkembang pesat setelah pengangkatan Ketua Partai Komunis dari di xinjiang pada tahun 2016.
Pemerintah Cina awalnya menyangkal adanya kamp penahanan tersebut namun akhirnya mengakui dan menyebutnya sebagai sekolah kejuruan yang memberikan pendidikan dan pelatihan kerja untuk meredam isu ektremisme.
Bocornya dokumen tersebut menunjukkan kejelasan dalam isu-isu penahanan massal di luar hukum yang dilakukan secara terencana dan sistematis terhadap muslim di Xinjiang.
Di tengah kepedihan saudara muslim di Uighur nampaknya tak membuat pemerintah Indonesia yang notabene telah resmi menjadi anggota tidak tetap dewan keamanan PBB untuk turut ambil bagian dalam konflik Uighur.
Terlebih, hubungan Cina yang saat ini tengah terjalin dengan Indonesia melalui berbagai investasi dan kerja sama menguatkan sikap pemerintah yang tak mau ambil pusing dengan konflik muslim di Cina.
Dilansir laman Liputan6.com, gegap gempita justru dirasakan oleh Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan, saat berkunjung ke Beijing guna membahas peningkatan kerja sama di bidang pertahanan.
Prabowo disambut oleh Duta Besar RI untuk Cina Djauhari Oratmangun, Atase Pertahanan Kedutaan Besar RI di Beijing Brigadir Jenderal TNI Kuat Budiman. Kedatangannya juga disambut oleh pemerintah Cina, Jenderal Song Yanchao dari Direktorat Kerja Sama Militer Internasional Cina. (16/12)
Hal yang dilakukan pemerintah Indonesia justru sangat menyakitkan umat Islam mendapati saudara semuslim di Uighur tengah mendapat perlakuan biadab Cina. Prabowo justru melakukan kunjungan selama tiga hari di Beijing Cina. Urusan yang dibahas tidak lebih sebatas kerjasama Indonesia dan Cina.
Padahal, Prabowo dahulu adalah harapan umat Islam dan ulama untuk menjadi pembela Islam di garda terdepan. Namun, harapan tersebut makin padam setelah posisinya makin mantap di istana.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Hubungan Luar Negeri, KH Muhyiddin Junaidi, menuturkan pemerintah Indonesia perlu bersuara lantang terkait masalah Uighur di Xinjiang, Cina.
Menurutnya pemerintah jangan terlalu menggunakan ‘constructive engagement diplomacy.
“Tapi sedikitlah naik ke atas (megaphone diplomacy), agar lantang. Tapi karena kita punya protocol of ASEAN, yang memang jelas mengatakan tidak boleh intervensi. Makanya kita tidak menggunakan megaphone diplomacy,” katanya, Kamis (19/12/2019) di Jakarta. (Khazanah.republika.co.id)
Jelas, nasionalisme telah memberi sekat kepada negara untuk saling terlibat dalam suatu konflik sekali pun sudah jelas melanggar HAM.
Jargon Umat Islam satu tubuh nampaknya tak berlaku bagi Indonesia yang notabene negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia.
Padahal dalam Islam, Rasulullah telah mewasiatkan kewajiban seorang muslim untuk menjaga nyawa, harta, dan kehormatan saudaranya sesama muslim.
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, kehormatan kalian telah diharamkan atas kalian (untuk dilanggar), seperti haramnya hari kalian ini, pada bulan kalian (Dzulhijjah) ini, di negeri kalian (Mekkah) ini.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Maka dari itu, kita lantangkan suara kita untuk meminta pemerintah agar bersuara dan mendesak pemerintah Cina segera akhiri tindakan represif mereka terhadap umat Islam di Uighur. Sebab, sikap kita saat ini kelak akan dipertanggunjawabkan di hadapan Allah SWT. Wallahualam bi Shawab []
*Penulis adalah seorang guru
Comment