Isra Mi’raj, Momentum Tegaknya Islam Kafah

Opini365 Views

 

Oleh: Amnina el Humaira, Pegiat Opini Islam

__________

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA—-Bulan Rajab adalah bulan mulia sekaligus bulan istimewa. Di mana, pada bulan ini terjadi peristiwa Isra Mi’raj, sebuah perjalanan spiritual yang Allah Swt. hadiahkan kepada Nabi Muhammad saw. Perjalanan spiritual penuh berkah ini tak lain adalah untuk menghibur hati baginda Nabi saw. yang tengah dilanda duka cita mendalam setelah wafatnya orang-orang terkasih di sisi beliau. Di antaranya, Abu Thalib, paman beliau dan Khadijah binti Khuwailid ra. istri beliau.

Tak hanya kehilangan orang-orang tercinta, beliau pun mendapat penolakan bahkan pengusiran dari penduduk Thaif. Namun, semua itu tidak pernah menyurutkan semangat dan langkah dakwah Rasulullah saw.  menebarkan risalah Islam yang mulia.

Perjalanan Spiritual Penghibur Hati

Di tengah tahun duka cita setelah wafatnya Abu Thalib dan Khadijah, dua sosok mulia yang menjadi pelindung dan pendukung utama dakwah baginda Nabi saw, Allah Swt suguhkan sebuah jamuan yang istimewa teruntuk beliau yakni perjalanan Isra Mi’raj.

Isra adalah perjalanan pada malam hari dari Masjidil Haram di Makkah menuju Masjidil Aqsha di Palestina. Sebuah perjalanan yang tak biasa. Perjalanan penuh mukjizat bersama Malaikat Jibril dan Buraq yang telah Allah Swt hadiahkan teruntuk manusia pilihan, Rasulullah Muhammad saw. Bagaimana tidak, perjalanan yang idealnya membutuhkan waktu lebih dari satu bulan tersebut, bisa ditempuh kurang dari semalam.

Allah Swt. berfirman, yang artinya:
“Maha Suci Allah Yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami memperlihatkan kepada Muhammad sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami. Sungguh Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (TQS Al-Isra [17]: 1).

Sementara Mi’raj adalah jalan menuju ke langit, sebuah tempat naik yang dikhususkan bagi para malaikat  menjalankan tugasnya, baik saat turun ke bumi, maupun saat naik ke langit. Sebagaimana digambarkan dalam surah Al Maarij, bahwa Allah adalah pemilik tempat-tempat naik. Para malaikat naik menghadap Allah swt dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.

Dalam perjalanan Mi’raj, Rasulullah saw, diperlihatkan oleh Allah Swt beragam siksaan kepada para penghuni neraka. Beliau saw, menyaksikan siksaan terhadap orang-orang yang tamak akan kekuasaan, siksaan terhadap para penebar fitnah, siksaan terhadap para pezina, dan pemakan riba.

Selanjutnya Rasulullah Saw, dinaikkan ke langit ke tujuh, ke Sidratul Muntaha yaitu tempat yang paling tinggi, batas para malaikat menerima perintah dari Allah. Saat Mi’raj ini pulalah Rasulullah saw, menerima wahyu terkait kewajiban shalat lima waktu.

Seluruh peristiwa yang dialami oleh Rasulullah saw. adalah dimensi spiritual yang menguji keimanan kaum Muslim. Apakah mereka menerima dengan sepenuh hati atau justru berpaling mengingkarinya. Ketika itu, tak sedikit kaum muslim yang kembali murtad karena merasa peristiwa ini di luar nalar manusia. Namun, peristiwa ini  memperlihatkan pula siapa orang yang paling kukuh keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni tak lain adalah Abu Bakar ra. Karena itulah beliau diberi gelar kehormatan oleh Nabi saw. sebagai ash-shiddîq.

Pesan Ideologis Baginda Nabi saw.

Imam Muslim meriwayatkan bahwa pada malam peristiwa Isra Mi’raj, Nabi saw diberi dua bejana minuman berisi khamar dan susu. Beliau lalu memilih untuk meminum susu, bukan memilih khamar.

Peristiwa ini menegaskan bahwa Islam adalah agama yang lurus dan benar, bahkan tak menyelisih fitrah manusia. Semuanya sejalan atas fitrah penciptaan, dari sisi akidah, akhlak, ibadah, muamalah hingga politik. Di mana, seluruhnya akan mendatangkan kemaslahatan bagi umat manusia jika dijalankan sesuai dengan petunjuk dari Allah Swt yang termaktub dalam Al-Qur’an dan sunah.

Begitu juga sebaliknya, manusia akan dilingkupi berbagai kesempitan dan penderitaan hidup tatkala mereka berpaling dari petunjuk dan peringatan Allah Swt. sebagaimana firman-Nya:

“Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (Al-Qur’an), sungguh baginya kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkan mereka pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thaha [20]: 124).

Dimensi Politik Peristiwa Isra Mi’raj

Dalam perjalanan ke Baitul Maqdis, Baginda Nabi saw melewati beberapa tempat bersejarah. Di antaranya, Yastrib, sekarang Madinah, cikal bakal Daulah Islam. Setelah Madinah, Nabi saw. menuju Madyan, tempat para nabi dan rasul sebelumnya. Lalu beliau saw. bertolak ke Thur Sinai, bukit tempat nabi Musa as. menerima wahyu pertama.

Dari Bukit Sinai, Nabi saw. menuju Bethlehem, tempat kelahiran nabi Isa as. Hingga akhirnya beliau saw, tiba di Baitul Maqdis setelah sebelumnya menunaikan shalat sunnah dua rakaat di setiap tempat yang beliau singgahi.

Peristiwa tersebut memuat pesan dan dimensi politik bagi perkembangan dakwah dan risalah Islam yang agung. Benar saja, tidak lama berselang setelah peristiwa Isra Mi’raj tersebut, angin sejuk berembus dari Yastrib dengan berimannya Suku Aus dan Khazraj. Mereka berbaiat kepada Rasulullah saw. di Bukit Aqabah tanpa sedikit pun keraguan. Berselang satu tahun, Yatsrib dipilih sebagai tempat strategis untuk hijrah kaum Muslim setelah Rasulullah saw, melihat besarnya peluang dakwah dan penerimaan penduduk di sana terhadap Islam. Setelah hijrahnya Rasulullah dan para sahabat, Yastrib pun berganti nama menjadi Madinah al-Munawarah, kota yang berseri-seri.

Madinah adalah negara Islam pertama di dunia yang dipimpin langsung oleh Rasulullah saw. Di sana syariat Islam diterapkan secara sempurna tanpa pilah-pilih. Negara Islam di Madinah sekaligus menjadi titik pusat perkembangan dakwah dan penyebaran Islam ke seluruh penjuru alam; termasuk ke Thur Sinai di Mesir, kemudian ke Yerusalem di Palestina, dan meliputi seluruh negeri Syam. Bahkan hari ini, dakwah Islam merambah hingga ke penjuru nusantara di Indonesia.

Menelisik peristiwa menarik terkait bermakmumnya para nabi dan rasul kepada Rasulullah saw dalam shalat di Masjidil Aqsa sejatinya adalah isyarat bahwa kepemimpinan umat manusia telah diserahkan seutuhnya kepada baginda Nabi saw. dan kaum Muslim. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa tak ada umat yang layak didaulat sebagai pemimpin dunia ini selain umat Nabi Muhammad saw. dan tidak ada pula ideologi yang layak untuk memimpin umat manusia dan dunia seluruhnya, melainkan ideologi Islam.

Tidak bagi asing dan aseng. Tidak bagi IMF, apatah lagi bagi PBB yang telah nyata permusuhannya terhadap Islam dan kaum Muslim. Seperti yang terjadi di Pattani, Uighur, Rohingya, Suriah dan Palestina.

Hanya Islam dan kaum Muslim yang layak dan pantas untuk memimpin dunia. Karena, Islam tak sekadar agama ritual yang hanya mengutamakan akhlak semata. Akan tetapi, Islam adalah agama sekaligus ideologi paripurna yang mengatur seluruh sendi kehidupan. Seperti masalah sosial, ekonomi, hukum, pendidikan, kesehatan, politik dan kenegaraan sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan para Khalifah setelahnya.

Bahkan kelak akan tiba masanya kekuasaan Islam akan menjangkau seluruh bagian dunia dan umat manusia seluruhnya akan berada dalam naungannya. Pada saat itulah, Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam akan benar-benar dirasakan oleh dunia seisinya.

Sejatinya, peringatan Isra Mi’raj 1444 Hijriyah ini adalah momentum terbaik untuk berjuang menegakkan kembali syariah Islam kafah sebagai institusi pemersatu umat. Mari bergerak bersama menjemput kemenangan. Semoga masa berjaya itu segera kembali. Semoga syariat Islam bisa diterapkan secara sempurna dalam seluruh aspek kehidupan di dunia.

Cukuplah bagi kita janji baginda Nabi saw sebagai kabar gembira sekaligus penguat langkah perjuangan.

“Sungguh Allah telah mendekatkan bumi untukku. Kemudian aku melihat bagian timur dan baratnya. Sungguh, nanti kekuasaan umatku akan meliputi seluruh wilayah yang diperlihatkan kepadaku itu.”(HR Abu Dawud). Wallahu a’lam bishawwab [SP]

Comment