RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Entah apa yang merasuki Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Yasonna Laoly telah mengeluarkan dan membebaskan 30.432 narapidana dan Anak ditengah pandemic virus corona di indonesa. Melalui Peraturan Menkumham (Permenkumham) Nomor 10 Tahun 2020 tentang syarat pemberian asimilasi dan hak integrasi bagi narapidana dan anak. Kebijakan itu diambil dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran virus corona.
Setidaknya ada 4 point alasan terkait Permenkumham 10/2020 dan Kepmenkumham Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020. Diantaranya, pertama khusus napi yang sudah menjalani masa dipdana 2/3 pidana dan anak yang sudah menjalani ½ masa pidana. Kedua, narapidana kasus narkotika masa pidana 5-10 tahun dan telah menjalani masa pidana 2/3 masa pidana sekitar 15.482 napi, dan narapidana tindak pidana korupsi yang sudah berusia 60 tahun keatas yang menjalani masa pidana 2/3 masa pidana sebanyak 300 orang.
Ketiga, over kapasitas Lapas. Bahwa kapasitas lapas 130rbu. Jumlah penghuni lapas sebelum Permenkumham dan Kepmen 2020 sejumlah 260rbu. Setelah ada Permenkumham dan Kepmen 2020 lapas masih dihuni 230 ribu (over kapasitas 100 ribu) dan terakhir pemerintah yang ingin mengurangi over kapasitas lapas dengan Revisi PP 99/2012. (merdeka.com 5/4/2020)
Sungguh kebijakan yang membingungkan, di saat masyarakat diminta memutus mata rantai penyebaran virus corona dengan upaya physical distancing dengan tidak keluar rumah atau menghindari kerumunan. Namun, di sisi lain napi dibebaskan karena alasan pencegahan virus corona. Jika karena alasan over kapasitas penghuni lapas, maka harus diperbaiki mekanisme keadaan lapas agar sesama penghuni lapas tetap melakukan physical distancing di dalam lapas tanpa harus membebaskan mereka.
Wajar saja, di Indonesia angka kriminalitas terus naik. Tak ayal, narapidana kian bertambah jumlahnya. Bayangkan saja, di tengah masa pandemi seperti ini, masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan pangan. Sehingga mengakibatkan banyak pekerja yang di PHK. Tapi kini Napi dibebaskan ditengah pandemi, padahal kebutuhan pangan mereka terjamin ketika didalam lapas. Saat dibebaskan tentu tidak menjamin mereka akan berbuat kriminal kembali.
Mengenai overkapasitas lapas, pemerintah harus mengkaji ulang terkait tingginya angka kriminalitas di Indonesia, yakni dengan menerapkan sanksi tegas bagi mereka, terutama para pencuri uang rakyat. Tikus-tikus berdasi atau para koruptor yang semakin banyak dan merugikan negara. Alih-alih membebaskan napi dengan alasan hemat anggaran negara sebesar Rp.260 miliar (tirto.id), pembebasan napi semakin mengukuhkan bahwa rezim yang berkuasa hari ini adalah rezim yang enggan mengurusi rakyatnya.
Bayangkan saja, mereka dibiarkan mencari kebutuhan hidup sendiri ditengah pandemi dimana masyarakat harus berdiam diri di rumah dalam rangka memutus penyebaran virus corona.
Adalah islam yang memiliki sistem pemerintahan terbaik. Sebagai solusi atas problematika yang terjadi dinegeri ini. Islam memiliki seperangkat aturan yang sempurna dan paripurna dalam mengatur kehidupan hingga bernegara. Dalam mengatasi suatu wabah sebelum menjadi pandemi, digunakan kebijakan lockdown untuk memutus penyebaran wabah di suatu wilayah. Kebutuhan pangan terjamin karena Khalifah (pemimpin) yang bertanggungjawab memenuhinya.
Sanksi tegas juga diberikan kepada pelaku kriminalitas. Seperti misalnya potong tangan bagi pencuri, qishash dll. Apalagi bagi pengkhianat rakyat. Pencuri kelas kakap tanpa iman yang dengan tega merampok uang rakyat demi kepentingan mereka, sanksi tegas akan diberikan Khalifah kepada mereka bukan memberikan keringanan hukuman hingga melepaskan mereka dari penjara. Ini tentu obat yang salah resep.
Sungguh, saat ini kita membutuhkan pemimpin yang beriman yang takut kepada hari pembalasan, tidak haus kekuasaan sehingga kebijakan yang diambil tidak menguntungkan elit politik semata.
Kita butuh hadirnya para pejuang islam yang mampu memberi keamanan dan kenyamanan sebagaimana yang pernah diberikan para pemimpin islam saat kejayaan islam.Wallahu a’lam bishowab.[]
* Penulis tinggal di Palembang
Comment