Islam dan Jaminan Layanan Kesehatan

Opini430 Views

 

 

Penulis:  Fitriani, S.H.I | Guru dan Aktivis Dakwah

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Tahun 2023, Hari Kesehatan Nasional mengangkat tema Transformasi Kesehatan Untuk Indonesia Maju. Sungguh tema yang sangat Indah, dan tentu saja ini menjadi harapan bersama untuk mewujudkan standar kesehatan yang layak dan tentunya bisa dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

Karena sejatinya kesehatan adalah hak seluruh masyarakat, apalagi itu adalah bagian dari kebutuhan primer yang pastinya seluruh masyarakat sangat berharap mendapatkan pelayanan kesehatan yang setidaknya jika tidak bisa gratis tapi murah namun berkualitas.

Apalagi kaitannya dengan mewujudkan Indonesia maju, tentu saja kemajuan suatu bangsa salah satu ukurannya adalah masyarakat yang sehat serta SDM yang berkualitas.

Namun jika kita perhatikan, masih banyak persoalan yang dihadapi dalam hal payanan kesehatan di negeri ini. Belum lagi layanan kesehatan yang sulit untuk didapatkan terutama bagi rakyat miskin.

Tidak ada yang gratis – jika ingin mendapatkan layanan kesehatan yang bagus dan memadai maka rakyat harus rela membayar mahal. Jika tidak, maka akan dipastikan hanya mendapatkan layanan yang ala kadarnya bahkan tidak mendapatkan diagnosa secara sempurna dan obat yang tepat. Apalagi jika menggunakan layanan BPJS, bisa dipastikan beda layanan yang didapatkan dengan pasien umum dengan bayaran yang lebih mahal.

Seperti yang pernah terjadi beberapa waktu lalu ketika ada tenaga kesehatan yang dikecam publik karena memberikan pelayanan yang berbeda antara pasien yang menggunakan BPJS dengan pasien umum.

Lembaga BPJS Watch melaporkan bahwa tindakan diskriminasi terhadap pasien BPJS Kesehatan hampir terjadi di seluruh fasilitas kesehatan tingkat pertama hingga lanjutan atau dari puskesmas sampai rumah sakit. Tapi kasus yang paling sering muncul ada di rumah sakit. Salah satu kasus yang saat ini sedang diadvokasi terjadi di Surabaya, Jawa Timur.

Catatan BPJS Watch sepanjang 2022 terdapat 109 kasus diskriminasi yang dialami pasien BPJS terkait pemberian obat, re-admisi, dan kepesertaan yang dinonaktifkan.

Di puskesmas, tindakan diskriminasi yang biasa dilaporkan ke lembaganya seperti pemberian obat yang tidak sesuai jatah sehingga pasien harus membeli kekurangan obat dengan kocek sendiri.

Sedangkan di rumah sakit, seperti ditulis bbc.com (203/2023), kasus yang paling banyak diadukan adalah re-admisi di mana pasien yang sedang dalam perawatan dan belum sembuh total disuruh pulang ke rumah. Setelah itu, pasien akan masuk kembali ke rumah sakit untuk berobat.

Belum lagi kasus-kasus penangan yang lambat terhadap pasien sehingga ada yang meninggal. Maka didapati animo di masyarakat saat ini bahwa orang miskin dilarang sakit. Hal ini disebabkan karena mahalnya biaya berobat, dan diskriminasi pelayanan antara pasien dengan bayaran murah dan mahal.

Namun di tengah pelayanan diskriminasi kesehatan seperti itu pemerintah justru hanya sibuk memperbaiki masalah tekhnis saja. Seperti hari ini pemerintah melakukan tranformasi ekosistem digital.

Direktur Medis IHC dr Lia Gardenia Partakusuma – berkaitan dengan momentum Hari Kesehatan Nasional 2023 – seperti ditulis laman jpnn.com, (12/11/2023) mengatakan bahwa Pemanfaatan ekosistem digital dapat meningkatkan inovasi bisnis dan daya saing di bidang kesehatan.

Transformasi kesehatan seharusnya lebih mengarah pada terselesaikannya persoalan kesehatan yang belum terselesaikan, bukan memprioritaskan transformasi ekosistem digital. Bukan masalah tekhnis yang harusnya menjadi prioritas untuk diselesaikan, namun persoalan pelayanan, bagaimana seluruh masyarakat bisa mendapatkan pelayanan kesehatan secara adil tanpa adanya diskriminasi.

Transformasi ekosistem digital belum tentu akan memudahkan masyarakat, karena keterbatasan sarana dan prasarana ditambah kondisi masyarakat yang juga masih gaptek alias gagap tekhnologi. Butuh berapa banyak biaya lagi untuk memenuhi kelengkapan fasilitas IT, sementara banyak kebutuhan masyarakat yang tidak terpenuhi secara langsung.

Belum lagi didapati bahwa dalam system kapitalis hari ini berbagai kebijakan pemerintah berkaitan dengan urusan administrasi sangat ribet dan berbelit-belit. Digitalisasi bukan memudahkan tapi malah semakin menyulitkan.

Untuk kebutuhan makan saja masyarakat sudah susah apalagi ditambah harus mengeluarkan biaya membeli kuota. Maka harusnya bukan hanya masalah wasilah saja yang menjadi perhatian namun bagaimana kehidupan masyarakat bisa berjalan normal dengan system yang akan memberikan kemudahan rakyat mendapatkan berbagai pelayanan terutama kesehatan. Karena kesehatan itu termasuk perkara vital yang dibutuhkan masyarakat.

Berbeda dengan sistem kapitalis, Islam menjadikan layanan kesehatan sebagai kebutuhan dasar yang menjadi tanggung jawab negara, sehingga umat dapat mendapatkan layanan berkualitas. Tidak gratis namun murah dan terjangkau. Dalam Islam, kesehatan dijamin oleh negara karena merupakan bagian dari kebutuhan publik yang wajib diberikan . Rasulullah SAW bersabda: Imam (penguasa) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang ia urus. (HR Al-Bukhari).

Jaminan kesehatan dalam Islam itu memiliki tiga sifat. Pertama, berlaku umum tanpa diskriminasi, tidak ada pengkelasan dalam pemberian layanan kesehatan kepada rakyat, baik muslim maupun nonmuslim semuanya sama. Kedua, bebas biaya alias gratis. Rakyat tidak boleh dikenai pungutan biaya apapun untuk mendapat pelayanan kesehatan oleh negara. Ketiga, seluruh rakyat harus diberi kemudahan untuk bisa mendapatkan pelayanan kesehatan oleh negara.

Pengadaan layanan, sarana dan prasarana kesehatan tersebut wajib senantiasa diupayakan oleh negara bagi seluruh rakyatnya. Pasalnya, jika pengadaan layanan kesehatan itu tidak ada, maka akan dapat mengakibatkan terjadinya bahaya, yang mengancam jiwa rakyatnya. Menghilangkan bahaya yang dapat mengancam rakyat itu jelas merupakan tanggung jawab negara. Rasulullah saw. bersabda:

“Tidak boleh menimbulkan mudarat (bahaya) bagi diri sendiri dan juga mudarat (bahaya) bagi orang lain di dalam Islam.” (HR Ibnu Majah dan Ahmad).

Dengan demikian, negara wajib senantiasa mengalokasikan anggaran belanja untuk pemenuhan kebutuhan kesehatan bagi seluruh rakyatnya. Negara tidak boleh melalaikan kewajibannya tersebut. Negara tidak boleh mengalihkan tanggung jawab tersebut kepada pihak lain, baik kepada pihak swasta, maupun kepada rakyatnya sendiri.

Pemberian jaminan kesehatan seperti itu tentu membutuhkan dana besar.  Negara mengelolanya dengan anggaran Baitul Maal. Baitul Maal tersebut bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh Islam. Di antaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum, termasuk hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas, dan sebagainya; dari sumber-sumber kharaj, jizyah, ghanîmah, fai, usyur; dari hasil pengelolaan harta milik negara dan sebagainya.

Semua itu akan lebih dari cukup untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan secara memadai dan gratis untuk seluruh rakyat, tentu dengan kualitas yang jauh lebih baik daripada yang berhasil dicapai di beberapa negara saat ini.

Kuncinya adalah dengan menerapkan syariat Islam secara kafah (menyeluruh).
Mendapatkan layanan kesehatan yang tidak diskriminasi dan adil tidak akan pernah kita dapatkan dalam system kapitalis ini.

Kita hanya bisa berharap pada negara yang menerapkan syariat Islam secara kafah sebagaimana yang diamanahkan oleh Rasulullah saw dan dilanjutkan oleh Khulafaurasyidin yang akan mampu mewujudkan itu.

Maka inilah yang seharusnya diperjuangkan oleh seluruh kaum muslim saat ini. Wallahu`alam bisshawab.[]

Comment