RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Belum usai kasus covid-19 yang kian bertambah dari segi kuantitas, kini kita gemparkan dengan munculnya kasus kejahatan seksual terhadap anak alias pedofilia yang dilakukan oleh seorang WNA asal Prancis terhadap 305 anak.
Dilansir laman liputan6.com (14/07/2020), Francois Abello Camile alias Frans (65) menjadi tersangka dan jumlah anak yang menjadi korban eksploitasi seksual ini didasarkan pada temuan video tidak senonoh oleh penyidik dalam laptop miliknya, meskipun pada akhirnya meninggal akibat mencoba aksi bunuh diri di dalam sel tahanan.
Hal ini semakin memperpanjang rentetan kasus pedofilia di Indonesia. Maraknya kasus pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak tentu menjadi perhatian khusus sekaligus membuka mata betapa rentannya anak menjadi korban kasus asusila.
Predator seksual bukan hanya berasal dari luar negeri bahkan pelakunya bisa saja berada di sekitar kita.
Di Bilangan Desa Pagedangan, Kecamatan Pagedangan Kabupaten Tangerang, seperti dikutip kompas.com, 08/07/2020).
Dalam laman yang sama, sebanyak 22 anak diduga menjadi korban aksi bejad pedofilia oleh seorang sekuriti. Sungguh sangat disayangkan, mereka yang seharusnya menjamin keamanan malah menjadi pelaku. Sebagaimana kejadian di Lampung, siswi SMP (NF) korban pemerkosaan yang dititipkan di rumah aman Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) diduga dicabuli oleh (DA) yang merupakan Ketua P2TP2A Lampung Timur. Bukannya mendapatkan perlindungan yang layak, NF malah menjadi pelampiasan nafsu bejat DA. (Kompas.com, 08/07/2020)
Adanya predator-predator seksual ini tentu sangat membuat khawatir bagi para orangtua dan menjadi ancaman tersendiri bagi anak-anak. Pelecehan seksual pada anak akan memberikan dampak yang panjang terhadap psikologis dan biologis mereka.
Hal ini menjadi PR bersama dan mengharuskan semua pihak untuk lebih ekstra bekerja keras agar lebih serius memberantas para predator-predator seksual.
Lantas apakah bisa terselesaikan ketika aturan dan sanksi yang diterapkan dalam sistem kapitalisme ini tak memberikan efek jera kepada pelaku? Bagaimana nasib anak-anak yang menjadi korban kebiadaban pedofilia ini ketika masih bercokol pemahaman individualistik di tengah-tengah masyarakat?
Pedofilia Merupakan Persoalan Sistemik
Meningkatnya kasus pelecehan dan kekerasan seksual pada anak menandakan masih lemahnya aturan terkait sanksi bagi pelakunya. Adanya kejadian yang berulang ini semakin membuktikan bahwa kita belum serius menangani permasalahan ini sampai ke akarnya.
Bukan tidak mungkin, persoalan sistemik yang harus dituntaskan agar tidak menjadi lingkaran setan yang terus menghantui anak-anak kita ke depannya.
Perlu dipahami bahwa peningkatan pelecehan dan kekerasan seksual pada anak sangat identik dengan meningkatnya kasus pornografi terutama melalui internet dan media sosial. Adanya kemudahan untuk mengakses konten-konten pornografi menjadi salah satu faktor yang mendukung peningkatan kasus ini.
Para ahli neuroscience dan neuropsychology menyatakan ada bukti klinis bahwa seks dan pornografi sebagai adiksi (DSM/ Diagnostic Statistical Manual of Mental Disroder).
Jika seseorang mulai kecanduan hal-hal yang berbau porno, maka dengan mudah akan melakukan pelecehan seksual. Pada kasus pedofilia yang menjadikan anak kecil sebagai objek seksual. Korban yang paling mudah disasar adalah anak kecil karena mereka mudah dibujuk, diancam, atau dibunuh sekalian.
Tentu ini menjadi catatan besar bagi para orangtua untuk meningkatkan lagi pengawasan dan penjagaan terhadap anak-anaknya. Terlebih dalam hal mengakses internet, perlu pengontrolan khusus terhadap apa yang ditonton anak-anak.
Menjadi orang tua yang berperan sebagai penanggung jawab yang pertama dan utama tentu bukanlah perkara yang mudah di tengah gempuran budaya ala barat yang semakin hari menggerogoti moral generasi.
Bahkan adanya pemahaman individualistik pada masyarakat berdampak kepada ketidakpedulian pada kasus seperti ini. Mengganggap bahwa bukan urusan mereka ketika yang menjadi korban bukan anak ataupun keluarganya. Sehingga hanya berusaha untuk menjaga orang-orang terdekatnya tanpa ada pengontrolan sosial. Bersikap acuh tak acuh dengan orang lain tanpa ada rasa empati yang akhirnya membuat hati tidak peka bahkan mati.
Lebih dari itu, hal yang paling penting menekan jumlah kasus pedofilia ini adalah sanksi yang diberikan kepada pelaku. Melihat dalam beberapa kasus, sanksi yang diberikan tak memberikan efek jera pada pelaku, bahkan memungkinkan untuk mengulangi perbuatannya.
Hal ini membuktikan lemahnya hukum yang diterapkan dan tampak ketidakseriusan pemerintah menangani kasus pedofilia ini. Tentu sangat wajar ketika sistem yang diterapkan masih terkait dengan sistem kapitalisme demokrasi. Paham liberalisme yang dijunjung tinggi dalam ideologi kapitalisme ini menjadikan seseorang bebas untuk melakukan apa saja.
Bagi para korban kekerasan seksual tentu sangat berdampak terhadap psikologis maupun biologisnya. Hal ini membekas di ingatan sehingga menjadi trauma tersendiri bagi mereka.
Lenore Terr yang berlatar belakang sebagai psikiater handal dari Michigan University menjelaskan bahwa efek trauma itu muncul sebagai akibat dari ketidakmampuan anak dalam melakukan perlawanan terhadap pihak yang telah melakukan tindakan yang tidak menyenangkan terhadapnya.
Bahkan bisa jadi si anak yang menjadi korban akan melakukan hal yang sama kepada anak yang lain ke depannya.
Sungguh sangat tragis, ketika hal ini tak mampu diatasi. Diperlukan penanganan khusus para korban agar efek trauma akibat kekerasan seksual bisa hilang.
Karena ini merupakan persoalan sistemik tentu peran dari berbagai pihak sangat diharapkan. Mulai dari keluarga, masyarakat hingga pemerintah.
Islam Solusi Tuntas Memberantas Pedofilia
Pemberantasan secara tuntas terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak bisa terealisasi ketika negara menerapkan norma norma Islam secara kaffah di tengah umat. Dalam hal ini, negara sebagai benteng yang melindungi dan menjamin keamanan warga negaranya.
Negara dalam konteks Islam, memberi sanksi berat yang membuat efek jera para pelaku sehingga ketika ada yang berniat melakukannya akan berpikir seribu kali. Norma Islam telah menetapkan hukuman untuk pelaku pedofilia sesuai rincian fakta perbuatannya. Rincian hukumnya sebagai berikut :
1. Jika yang dilakukan pelaku pedofilia adalah perbuatan zina, hukumannya adalah hukuman untuk pezina (had az zina), yaitu dirajam jika sudah muhshan (menikah) (HR Bukhari no 6733, 6812; Abu Dawud no 4438) atau7 dicambuk serratus kali jika bukan muhshan (QS An Nuur :2);
2. Jika yang dilakukan pelaku pedofilia adalah liwath (homoseksual), maka hukumannya adalah hukuman mati, bukan yang lain;
3. Jika yang dilakukan adalah pelecehan seksual (at taharusy al jinsi) yang tidak sampai pada perbuatan zina atau homoseksual, hukumannya ta’zir. (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm.1480; Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm.93)
Selain sanksi berat yang ditetapkan, sebab munculnya potensi pelecehan dan kekerasan seksual juga dihilangkan seperti memblokir situs-situs pornografi dan konten-konten yang memicu syahwat serta membuat regulasi yang melarang produksi dan peredaran pornografi dan pornoaksi tersebut.
Peran masyarakat sebagai pengontrol sosial akan terlaksana. Adanya rasa kepekaan yang tinggi membuat cepat tanggap ketika ada potensi pelecehan seksual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Bagi keluarga yang menjadi pertahanan pertama akan mengawasi dan mengontrol anak-anaknya dalam mengakses internet, dan membentengi keluarga dengan iman serta memberi pemahaman tentang cara dan pengendalian syahwat.
Sejatinya semua peran akan terlaksana secara sempurna melalui penerapan norma norma Islam secara menyeluruh.{}
*Muslimah Peduli Generasi, berdomisili di Papua
Comment