Penulis: Dr. Hayu Prabowo | Ketua LPLH-SDA MUI sekaligus Fasilitator Nasional IRI Indonesia
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Pada tanggal 30 November, para pemimpin dari seluruh penjuru dunia berkumpul di Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim di Dubai untuk menangani masalah-masalah mendesak.
Pertemuan penting yang dikenal sebagai COP 28 ini diadakan di tengah upaya kita melawan perubahan iklim.
Urgensinya sangat jelas. Meskipun kita telah mengakui kerentanan iklim selama hampir 30 tahun, kita masih belum berhasil mengendalikan kenaikan suhu hingga 1,5°C di atas suhu pada masa pra-industri.
Laporan dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyoroti keparahan situasi ini, sehingga menjadikan tahun 2023 berpotensi menjadi tahun terpanas dalam sejarah.
Meskipun telah ada peringatan mengenai keadaan darurat iklim, masih ada harapan untuk mengendalikan perubahan iklim dan mengurangi dampak buruknya. Kunci dari solusi-solusi ini adalah pelestarian hutan tropis, sebuah strategi yang efektif dan efisien.
Penebangan hutan tropis tidak hanya melepaskan karbon yang tersimpan pada hutan tersebut tetapi juga melemahkan kemampuan alam untuk menyerapnya. Meskipun janji dan komitmen global mengakui pentingnya peran hutan tropis, deforestasi masih terus terjadi, yang memperburuk krisis iklim.
Krisis lingkungan hidup dan krisis iklim dengan berbagai manifestasinya, sejatinya adalah krisis moral, karena manusia memandang alam sebagai obyek untuk dimanfaatkan semata bukan sebagai obyek yang perlu dipelihara untuk kelangsungan kehidupan manusia.
Aktifitas manusia yang tidak ramah lingkungan tersebut, berdampak langsung pada lingkungan dan kehidupan manusia itu sendiri. Penanganan krisis lingkungan yang bermuara pada krisis moral tersebut, perlu ditangani pendekatan moral. Pada titik inilah agama harus tampil berperan melalui bentuk tuntunan keagamaan serta direalisasikan dalam bentuk nyata dalam kehidupan sehari-hari umat manusia.
Pemerintah dan masyarakat di seluruh dunia, termasuk Indonesia, memiliki kewajiban untuk memperjuangkan perlindungan hutan. Inisiatif Prakarsa Lintas Agama untuk Hutan Tropis Indonesia adalah bukti dan langkah nyata atas kewajiban moral ini, dengan menyatukan agama, komunitas adat, ilmuwan, dan masyarakat Indonesia dalam sebuah koalisi yang menuntut tindakan tegas.
Sekarang saatnya Indonesia memimpin. COP 28 memberikan peluang penting untuk menunjukkan kepemimpinan dalam menjaga hutan tropis.
Kelangsungan hidup umat manusia bergantung pada komitmen etika dan politik untuk melestarikan hutan tropis Indonesia, sehingga membentuk masa depan yang berkelanjutan bagi semua orang.[]
Comment