Ir.Farida Ummu Alifia: Kemuliaan Guru Di Era Kapitalis Dan Islam

Opini592 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Eti Maryati, 49 tahun, guru honorer di SD Negeri 4 Sukahurip Kecamatan Pamarican, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, yang sudah puluhan tahun, wafat di hari Jumat (17/1/2020), saat mengajar di kelas, karena memaksakan diri untuk tetap berdinas meski dalam kondisi sakit.(suara jabar.id,19/1/2020).

Sebelumnya alharhumah mengaku tidak enak badan, namun begitu, bu guru Eti tak meminta izin pulang, melainkan langsung ke kelas untuk melanjutkan mengajar.yang akhirnya limbung terjatuh ke lantai. Masyaa Allah, betapa muliahnya seorang guru yang syahid demi mengemban amanah menyampaikan ilmu kepada muridnya sekaligus menopang kehidupan rumah tangga.

Fakta diatas hanya salah satu kisah romantika kehidupan guru di negri ini. Memang ajal tidak bisa ditawar-tawar, namun bagaimana kondisi saat kehidupan dan berakhirnya kehidupan.seseorang sebelum ajalnya datang.

Jika melihat nasib guru honorer ini sungguh sangat mengharu biru. Banyak kisah dan cerita yang sudah beredar didunia maya nasib guru honorer ini bak pahlawan tanpa jasa, dipuji saat hari guru dan diupah dibawah UMR (Upah Minimum Regional).

Saat ini  gaji guru honorer SD dan SMP yang berada di provinsi ujung barat Pulau Jawa ini sebesar Rp 300 hingga Rp 500 ribu per bulan. Lebih besar gaji pembantu yang bisa mencapai Rp 1 juta se bulan,” kata Ketua Forum Guru Honorer Banten Martin Al Kosim kepada BantenNews.co.id-jaringan Suara.com pada Senin (25/11/2019).

Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005,tentang jaminan kesejahteraan guru dan dosen.

Bahwa Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga professional, bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Sehingga seharusnya guru menempati posisi terhormat karena keluhuran profesi, namun sejauh ini belum mendapat perlakuan layak. Faktanya seringkali guru menghadapi kesenjangan sikap yang luar biasa yang ditujukan kepada mereka: ketika guru dianggap salah, urusanya langsung ke pengadilan.

Namun, ketika berhasil mendidik anak, maka penghormatan pada mereka kurang diberikan. Yang banyak justru dilupakan.

Ini tak terlepas dampak sistem pendidikan di era sekuler kapitalis. Di mana pendidikan dan ilmu tidak dberbasis denga aqidah islam yang mendalam yang dihubungkan dengan hakekat tujuan kehidupan yang diciptkan oleh Alah SWT.

Jadi sejauh mana penghargaan dan kemuliaan guru akan tercermin dari perlakukan murid, orang tua dan Negara kepada gurunya.

Meskipun setiap bulan Oktober selalu diperingati ‘Hari Guru Sedunia’. Tapi benarkah penghormatan itu sepadan dengan amal dan jerih payah yang telah mereka lakukan?

Forum Guru Honorer Banten berharap momentum Hari Guru Nasional kekini bukan sekadar hanya seremonial belaka. “Butuh kebijakan pemerintah yang konkret, bukan cuma seremonial saja .

Dalam Islam, Para Khalifah Sangat Besar Penghormatannya Pada Guru
Di masa kejayaan Islam, guru begitu dihormati baik oleh negara dan masyarakat.

Mehdi Nakosteen misalnya, dalam buku “Kontribusi Islam atas Intelektual Dunia Barat” (1996: 76-77) mencatat bahwa guru dalam pendidikan muslim begitu dihormati. Para pelajar muslim (mahasiswa) mempunyai perhatian besar terhadap gurunya. Bahkan, sering kali lebih suka hubungan intelektual secara langsung dengan gurunya daripada dengan tulisan-tulisan mereka.

Raghib As-Sirjani dalam kitab “Mādza Qaddama al-Muslimūna li al-‘Ālām” (2009: 1/244) menyebutkan beberapa contoh penghormatan itu. 

Terkait pemerintah kepada guru, dari Abdullah bin Mubarak Rahimahullah menuturkan ia belum pernah menjumpai guru, ahli Qur`an,  orang-orang yang berlomba-lomba melakukan kebaikan dan menjaga diri dari larangan-larangan Allah sejak masa Rasulullah hingga sekarang melebihi apa yang ada di zaman Harun Ar-Rasyid.

Pada masa anak kecil usia 8 tahun hafal al-Qur`an atau anak usia 11 tahun menguasai fiqih dan ilmu lain, meriwayatkan hadits, berdialog dengan guru sudah hal lumrah pada saat itu.  Apa rahasianya? Ini tidak lain karena kepedulian Khalifah Harun kepada ilmu, guru serta murid sejak dini.

Untuk menggapai tujuan itu, banyak sekali dana yang dikeluarkan olehnya. Marwah guru di mata beliau sangat agung sehingga diperlakukan dengan rasa hormat dan martabat tinggi.

Perhatian negara terhadap guru juga diwujudkan dalam bentuk mencukupi kebutuhan anak-anak guru, kebutuhan pokok dan biaya sekolah ditanggung oleh pemerintah sehingga membuat hidup mereka menjadi nyaman.

Pada masa Daulah Abbasiyah, tunjangan kepada guru begitu tinggi seperti yang diterima oleh Zujaj pada masa Abbasiyah. Setiap bulan beliau mendapat gaji 200 dinar. Sementara Ibnu Duraid digaji 50 dinar perbulan oleh al-Muqtadir. (I/231).

Contoh lain yang tak kalah menarik, terjadi pada masa Panglima Shalahuddin Al-Ayyubi Rahimahullah, guru begitu dihormati dan dimuliakan. 

Syekh Najmuddin Al KhabusyaniRahimahullah misalnya, yang menjadi guru di Madrasah al-Shalāhiyyah setiap bulannya digaji 40 dinar dan 10 dinar (1 dinar sekitar setara dengan Rp. 2.200,000 jadi setara Rp 110,000,000) untuk mengawasi waqaf madrasah. Di samping itu juga 60 liter roti tiap harinya dan air minum segar dari Sungai Nil.

Orang tua pun demikian juga melakukan penghormatan tinggi kepada guru.  Pada masa keemasan Islam,  mereka sangat antusias menyekolahkan anak-anak mereka kepada para guru. Mereka memberikan dukungan dan membiasakan untuk mengajarkan anak-anak kepada mereka.

Suatu ketika Sulaiman bin Abdul Malik bersama pengawal dan anak-anaknya mendatangi Atha’ bin Abi Rabah untuk bertanya dan belajar sesuatu yang belum diketahui jawabannya. Walau ulama dan guru ini fisiknya tak menarik dan miskin, tapi dia menjadi tinggi derajatnya karena ilmu yang dimiliki dan diajarkannya.

Di hadapan anak-anaknya ia memberi nasihat, “Wahai anak-anakku! Bertawalah kepada Allah, dalamilah ilmu agama, demi Allah belum pernah aku mengalami posisi serendah ini, melainkan di hadapan hamba ini [Atha’] (Aidh Al-Qarny, Rūh wa Rayhān, 296).

Ini menunjukkan betapa terhormatnya guru atau orang yang berilmu. Sampai-sampai sekelas khalifah atau kepala negara masa ini harus mendatanginya untuk mendapatkan ilmu serta menasihati anak-anaknya untuk belajar dan menghormati guru. Wallahu a’lam bishshawab.[]

Comment