Intransparansi RKUHP, Boomerang Bagi Demokrasi

Opini538 Views

 

 

Oleh : Vindy W. Maramis, S.S, Pegiat Literasi dan Kontributor Opini Islam

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Bila berjalan sesuai rencana, maka pengesahan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) akan dilakukan dalam waktu dekat.

Pengesahan RKUHP yang sempat ditunda pada tahun 2019 – karena beberapa pasal dinilai berbahaya dan bisa menjadi pasal karet – hingga saat ini masih terus dilakukan penggodokan dan penyempurnaan.

Namun sampai saat ini, Pemerintah bersama DPR masih enggan membeberkan draf terbaru dari RKUHP tersebut.

Publik pun mendesak agar draf terbarukan segera dipublish, serta pembahasan RKUHP agar dilakukan secara transparan. Mengingat pada draf RKUHP versi 2019 lalu ditemukan pasal-pasal yang ‘mencurigakan’, beberapa diantara nya ialah pasal Penyerangan Martabat Presiden dan Wakil Presiden dan Pasal Penghinaan Terhadap Pemerintah.

Pasal tersebut dinilai berpotensi multitafsir. Penafsiran secara sepihak bisa saja dilakukan oleh pemerintah. Seperti ketika rakyat melakukan kritik dan koreksi terhadap kebijakan pemerintah, tapi justru dinilai melakukan suatu penghinaan.

Bukan sembarang tuduh, sepak terjang pemerintahan yang berkuasa saat ini telah menoreh ‘catatan buruk’ bagi Demokrasi yang katanya mengusung kebebasan dalam menyampaikan pendapat.

Seringkali yang terjerat kasus penghinaan adalah mereka yang vokal mengkritisi kebijakan ‘nyeleneh’ pemerintah.

Melalui UU ITE misalnya, sudah banyak menjerat korban, padahal kebanyakan korban adalah mereka yang menyampaikan kritik, bukan hinaan.

Bahkan, Shoutheast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mengungkapkan ada sekitar 35,92% pejabat negara seperti menteri, kepala daerah, kepala instansi dan aparat keamanan melaporkan warga negara dengan memanfaatkan UU ITE.

Jika, RKUHP yang ditutup-tutupi ini masih terdapat pasal-pasal serupa dalam draf nya, lalu disahkan sepihak oleh pemerintah dan DPR, maka pemerintahan saat ini akan menjadi otoriter dan semakin sulit dikritik.

Hal ini juga merupakan upaya membungkam suara kritis masyarakat atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang sering tidak memihak masyarakat.

Inilah ilusi dalam demokrasi yang mengklaim bahwa kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat, namun rakyat saja tak boleh bersuara. Akhirnya, kenyataan seperti ini hanya menjadi boomerang bagi pemerintahan demokrasi.

Padahal, kritik terhadap kebijakan pemerintah merupakan sesuatu yang penting bahkan wajib. Dalam Islam, aktivitas ini disebut dengan dakwah muhasabah atau mengamar makruf penguasa dalam upaya mengoreksi kebijakannya.

Kebijakan pemerintah seperti menaikkan harga bahan pangan, minyak, gas, pajak dan sejumlah komoditi pokok lainnya di tengah keadaan ekonomi masyarakat yang sulit, menjual aset negara berupa sumber daya alam kepada asing, haruslah di kritik, bukan di diamkan, karena itu merupakan kebijakan yang zalim.

Bahkan, dalam sebuah hadis Rasul mengatakan, “Jihad yang paling utama adalah menyatakan keadilan di hadapan penguasa zalim”. (HR. Abu Daud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan ad-Dailami).

Salah satu teladan pemimpin dalam Pemerintahan Islam yang terbuka dan toleran bahkan pada rakyat biasa sekalipun, ialah kepemimpinan Umar bin Khattab. Ia pernah berpidato di atas mimbar dan mengatakan bahwa batas mahar pada wanita adalah sebesar 400 dirham. Namun beleid ini tak disetujui oleh sebagian wanita, kemudian salah seorang wanita menyampaikan keberatannya dengan menyebutkan dalil:

“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya…(QS. An-Nisa’ 4: Ayat 20).

Umar pun kaget dan menyadari kekeliruannya lalu kembali menaiki mimbar dengan menyampaikan pernyataan yang telah dikoreksi sesuai kritik wanita tersebut.

Sikap kepemimpinan seperti inilah yang patut diteladani. Karena sejatinya penguasa adalah pelayan dan pelindung rakyatnya.

Oleh karena itu, persoalan RKUHP ini harus benar-benar di kawal oleh masyarakat agar pembahasannya dilakukan secara terbuka dan melibatkan suara masyarakat.

Jangan sampai rakyat tidak lagi dapat menyuarakan kritikan dan koreksi terhadap pemerintah dan kebijakannya, karena menyampaikan pendapat juga merupakan hak masyarakat.[]

Comment