Inpres Efisiensi Anggaran, Layanan Publik Jadi Korban?

Opini273 Views

 

 

Penulis: Agustin | Aktivis Muslimah

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang dikeluarkan oleh Presiden Prabowo Subianto  berdampak terhadap layanan masyarakat yang telah disusun oleh pemerintah daerah. Dalam Inpres mengamanatkan seluruh daerah untuk melakukan penghematan dalam penggunaan anggaran.

Ketua DPRD Kota Balikpapan, Alwi Al Qodri mengatakan bahwa dampaknya sangat besar terkait berjalannya program pelayanan masyarakat yang sudah dibuat.

“Dampaknya sangat besar. Beberapa program yang sudah disusun untuk 2026 bisa terdampak, bahkan program 2025 yang sudah berjalan pun mungkin ada yang harus dikurangi. Ini yang masih akan kami bahas lebih lanjut dengan Pemerintah Kota,” ujarnya seperti dikutip kaltim.tribunnews.com, (08/02/2025).

Kota Balikpapan sebenarnya sudah mulai melakukan efisiensi anggaran sebelum instruksi tersebut diterbitkan. Namun, salah satu tantangan terbesar yang kini dihadapi adalah pembiayaan program makan gratis yang menjadi beban pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Balikpapan.

Seperti disampaikan Presiden di berbagai media massa nasional, kebijakan efisiensi anggaran ini dilakukan untuk menutupi kebutuhan beberapa program, khususnya Program Makanan Bergizi Gratis atau MBG. Sayangnya, realitanya MBG banyak masalah, maka tujuan efisiensi berpotensi tidak menyelesaikan masalah.

Efisiensi Kebijakan Kurang Matang

Kebijakan ini nampak seperti tanpa pemikiran yang matang, karena faktanya ada anggaran lain yang seharusnya dipangkas namun malah tidak dipangkas, misalnya anggaran Kementrian Pertahanan untuk pengadaan Alutsista. Makin nyata yang dibela bukan kepentingan rakyat, namun pihak yang punya kepentingan, bahkan makin menguatkan korporatokrasi.

Sebenarnya jika kita cermati, kebijakan pemangkasan anggaran tidak akan mengubah apa pun, selama sistem ekonomi yang diterapkan tetap kapitalisme sekuler. Dalam aturan sistem ekonomi kapitalisme sekuler, sumber pendapatan utama negara berasal dari pajak dan utang.

Dengan mengandalkan pendapatan negara dari pajak, kehidupan rakyat akan semakin sulit sebab segala aspek kehidupan rakyat dipajaki, mulai dari penghasilan, bumi dan bangunan, kendaraan, pembelian barang, dan lainnya. Sedangkan, pengaturan pengeluaran negara tidak disandarkan pada kemaslahatan rakyat tapi berdasarkan kepentingan politik yang berkuasa.

Kapitalisme sekuler juga yang menyebabkan pemimpin tidak amanah dalam menjalankan tanggung jawabnya. Lihat saja porsi gaji dan tunjangan para pejabat yang masih tetap besar dan susunan kabinet gemuk yang mengeluarkan belanja tidak terkait dengan kemaslahatan rakyat. Imbasnya kemaslahatan rakyat yang dikorbankan.

Pengaturan Pengeluaran Negara Menurut Islam

Islam sebagai agama dan sistem kehidupan yang sempurna, memiliki sudut pandang yang berbeda dengan kapitalisme sekuler. Islam telah menetapkan bahwa sumber pemasukan negara berasal dari 3 pos yaitu pos zakat, pos pengelolaan kepemilikan umum dan pos lain-lain. Sedangkan alokasi pembelanjaannya wajib sesuai dengan syariat dan demi kemaslahatan rakyat.

Berdasarkan Kitab Nizhamul Islam karya Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, halaman 80, bahwa negara mengambil kewajiban zakat atas harta yang dimiliki baik berupa uang, tanah, hasil pertanian, atau ternak, dengan menganggapnya sebagai ibadah. Harta tersebut dibagikan hanya kepada delapan ashnaf yang tercantum dalam Al-Quran, dan tidak digunakan untuk urusan administrasi negara.

Sementara untuk urusan administrasi dan pelayanan bagi umat, negara mengambil harta hanya berdasarkan syari’at Islam saja. Mengambil kharaj (atas tanah), jizyah (dari rakyat non muslim), cukai perbatasan yang dipungut karena negara bertanggung jawab mengatur perdagangan luar dan dalam negeri.

Pendek kata perolehan harta tidak pernah dilakukan kecuali sesuai dengan hukum syari’at Islam. Sedangkan distribusi harta, negara mengeluarkannya sesuai dengan hukum-hukum yang menyangkut pengeluaran (negara), diberikan bagi pihak yang lemah (tidak mampu) dan larangan pengelolaan harta bagi orang-orang terbelakang mental dan berperilaku mubazir, lalu negara mengangkat orang yang bisa mengaturnya.

Pemimpin dalam Islam (khalifah) memiliki tanggung jawab atas pengelolaan urusan rakyatnya dengan melaksanakan syariat pada seluruh aspek kehidupan manusia berlandaskan dorongan ketaqwaan. Bukan mengejar popularitas kepuasan di tengah masyarakat.

Pemimpin dalam Islam juga memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi seluruh rakyat seperti kebutuhan pangan bergizi, sandang, dan papan dengan mekanisme lapangan pekerjaan yang luas bagi para lelaki dan ketersediaan pangan berkualitas di pasar serta jaminan pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara langsung.

Sedangkan pajak dalam pandangan Islam merupakan opsi pemasukan terakhir negara dan hanya berlaku pada orang-orang kaya. Sifatnya juga tidak permanen secara terus menerus. Kebijakan pajak ada hanya saat dibutuhkan dikarenakan urgensi pengeluaran negara akibat kekosongan kas di Baitul Mal.

Khatimah

Terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, merupakan kekeliruan penguasa akibat menerapkan sistem kapitalisme sekuler. Efisiensi anggaran yang berdampak kepada pengurangan kualitas pelayanan publik membuat rakyat semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan asasiyah (mendasar) nya.

Anggaran untuk pendidikan, kesehatan bahkan subsidi untuk masyarakat dianggap sebagai beban yang merugikan negara. Hal ini berbanding terbalik dengan Islam yang menjadikan negara sebagai pengurus dan pelayan rakyat.

Oleh karena itu sudah saatnya rakyat campakkan sistem kapitalisme ini dan beralih pada sistem Islam yang Allah swt perintahkan sehingga terwujud sebuah negara yang memberikan kesejahteraan kepada rakyat tanpa kecuali dan mendapat ridho Allah SWT. Wallahu ‘alam biashowwab.[]

Comment